Arah Perjalanan

Banyak orang bilang bahwa hidup ini adalah sebuah perjalanan. Aku selalu merasa pernyataan itu benar. Sebuah perjalanan yang berakhir di satu tujuan yang sama. Lalu semuanya akan menjadi lebih jelas tanpa bias.

Seperti manusia lainnya, aku... mahluk hina pejalan kaki di bumi biru ini, akan terus melakukan perjalanan dengan bantuan hasil ciptaan kreasi akal. Mengarungi laut, menyusuri rel, memacu jalan dan menembus awan. Semuanya menyenangkan, namun selalu ada si anak emas.

Pesawat terbang, burung besi besar. Setiap kali menaiki alat ini, aku selalu merasa seperti seekor burung yang sedang terbang namun terperangkap dalam ruang. Cepat sampai, cepat pula jatuh ke darat. Lagipula untuk menaikinya dibutuhkan persiapan yang cukup lama, mulai dari memesan tiket, mengantri, menunggu, menunggu, menunggu, masuk lalu melihat pramugari dan berfantasi liar. Kemudian menengok ke jendela untuk melihat segala dunia baru. Sayang, aku ini hanya mahasiswa pas-pasan yang malas keluar rumah.

Kapal laut, seonggok baja mengapung seperti paus tua yang tidak bisa menahan nafas untuk menyelam. Deru ombak yang terhempas membuat jiwa bergelora, terombang ambing di buritan. Persediaan air memang terbatas, namun selalu ada cara untuk memasak air dengan bantuan sinar dendam mentari serta jutaan ikan yang rela untuk dipancing. Jadi tidak perlu takut! Kecuali kalau engkau melakukan ekspedisi lalu menabrak sebuah gunung es dan mati tenggelam bersama cinta pertama. Bodoh! Besi lawan es, sudah jelas lebih kuat yang mana. Sayang, aku selalu benci melihat bekas muntah yang tercecer dimana-mana.

Kereta api, ulat bulu kaki seribu berlari sembari mengepulkan asap hitam. Harumnya dedaunan serta basahnya tanah memenuhi benak jikalau alat itu sedang melewati hutan dan gunung. Selalu berjalan dengan kecepatannya sendiri, tanpa gangguan... terus meluncur menuju stasiun berikutnya. Sayang tempat duduknya sempit, kelas ekonomi seperti kelas binatang dan berisik sehingga susah tidur, aku benci kepada pedagang asongan dan pengemis yang mengganggu tidur sejenakku di dalam gerbong.

Mobil, kuda mekanik hasil peradaban modern. Ini favoritku, karena memang perjalanan menggunakan mobil sangat menyenangkan. Melihat pemandangan apa yang ada di samping kiri kanan. Menyalakan AC jikalau matahari sedang berseri atau membuka jendela sekedar mencium hempasan kecepatan angin. Mendengar suara mesin atau menyalakan radio sebagai penghibur. Mengemudi atau menumpang, sama-sama nikmat. Tentu engkau juga bisa membantu menjadi seorang asisten pengemudi dengan selalu melihat lewat kaca depan sembari mengingatkan rute yang akan dilalui, tapi aku terlalu malas melakukan hal ini.

Jadi, apabila hidup adalah perjalanan...
Alat apa yang akan engkau pakai?

Berbicara tentang perjalanan, tidak akan lepas dari arah tujuannya. Percuma memakai alat apapun apabila kita tidak memiliki arah tujuan. Seperti kereta api yang berputar dalam lingkaran rel, kapal laut yang terus berlabuh tanpa tahu arah mata angin, pesawat yang diam di hanggar karena cuaca yang buruk atau mobil mengelilingi komplek rumah yang sama sebanyak sepuluh kali sampai bensin habis.

Arah selalu membingungkan.

Arah itu apa? Bagaimana arah muncul? Mengapa ada yang namanya arah? Siapa yang menciptakan arah? Kenapa ada arah? Dimana arah bisa ditemukan?

Jadi teringat percakapanku dengan seorang teman. Ia dianggap bijak oleh para adik angkatan. Waktu itu aku dan dia sedang mengobrol bersama para mahasiswa yang lebih muda di tempat nongkrong depan ruang jurusan, entah apa, lalu tiba-tiba ia bercerita tentang sebuah arah, perjalanan, dan pilihan hidup. Sayangnya cerita itu pernah aku baca, entah puisi, entah lirik, entah novel, entahlah... yang jelas itu kutipan dari seorang yang cukup terkenal, aku juga lupa siapa yang menuliskannya.

Inti cerita itu adalah:
Ada seorang manusia, yang terus melangkah di jalan setapak. Akhir dari perjalanannya, ia menemukan bahwa jalan itu bercabang. Kiri dan kanan. Setelah beberapa saat mengamati, ternyata ada bekas jejak langkah di tiap cabangnya. Di sisi kanan, ada banyak sekali jumlah jejaknya, jalanannya mulus dan tidak ada halangan. Di sisi kiri, ada jejak yang jauh lebih sedikit jumlahnya, jalanannya rusak dan penuh halangan. Meskipun keduanya sama-sama sebuah jalan, tentu Si Manusia tersebut akan bingung memilih yang mana.

Kedua jalan tersebut akan memberikan yang tak pasti, namun dilihat dari kondisinya tentu pilihan setiap orang akan berbeda.

Yang mulus atau yang rusak? Manakah yang akan engkau pilih?

Memang, sebutannya sebagai bijak dari pada anak bau kencur itu tidak salah. Ia pun menjawab sesuai teori. Sudah tentu yang dipilih adalah jalan yang rusak, karena lebih sedikit orang yang lewat situ, dan ia tidak suka main aman. Lebih menyenangkan, lebih berbahaya dan semua akan memberinya sebuah unsur kesenangan pribadi. Pemberontakan kecil dalam batinnya. Aku beri ia nilai 100 untuk jawabannya.

Aku hanya tertawa kecil melihat ia ceramah di depan anak baru gede yang sedang mencari jati diri. Kenapa? Karena itu jawaban standar dan teoritis. Aku bukan tipe seperti itu.

Mari lihat dari sisiku, dalam benak diriku dan analisisku. Dari aku. Dua jalan, kondisi yang bertolak belakang dan aku berada di posisi untuk memilih. Aku tidak mungkin akan putar balik menuju arah pulang lalu mati kebosanan melihat pemandangan yang sama lagi. Lalu aku akan pilih cabang yang mana?

Hmm... hmm... hmm....

Cabang yang mana ya? Kalau diteliti lebih lanjut, keduanya meninggalkan bekas tapak kaki para pengelana sebelum diriku. TIDAK SERU! Aku tidak akan memilih jalan kiri maupun kanan. Aku akan membuka cabang jalan baru, lalu meninggalkan jejak yang pertama. Agar pengelana yang datang setelahku, ikut tersesat bersamaku... atau menikmati serunya rute baru ini. Bagaimana?

Ah ya, setelah menentukan alat transport dan arah... silahkan menikmati hidup. Jadi mayat hidup atau menari setiap langkah dalam perjalanan. Semuanya kembali kepada intuisi dalam diri masing-masing.

Aku akan selalu menikmati perjalanan dengan mobil. Baik disaat surya berpijar, gerimis menangis, kabut memeluk... tidak peduli cuaca apapun, roda akan terus berputar. Tinggal pasang sabuk pengaman, berdoa lalu menikmati pemandangan atau tertidur dalam ketentraman yang nyaman. Sesekali aku akan menentukan arah, sama seperti jawabanku untuk cerita dari Si Bijak, tetapi mungkin lebih banyak akan diam tanpa harus menentukan. Biarkan misteri membuat jantung berdegup dengan kencang, biarkan rasa penasaran membawa imajinasi. Tanpa tahu kemana yang akan kita tuju, seperti masa depan yang penuh pertanyaan. Tidak usah pusing memikirkan apa yang akan terjadi, percayakan saja nyawaku kepada sang pengemudi.

Kemana semua perjalanan akan berakhir?



Hanya ada satu tujuan untuk kita semua, yaitu kematian.
Jadi nikmatilah perjalanan ini sesuai keinginanmu!