Dimensiku

Di sebuah ruang tanpa dinding pembatas. Penuh kegelapan yang pekat, kelam melapisi kelam. Aku sendiri disana, tempat pribadiku yang terisolasi. Berdiri namun seperti terbang sambil duduk tertidur. Setiap aku kembali selalu saja ada yang berbeda muncul. Entah apa yang menanti di dalam sana, dan itu selalu membuatku penasaran.

Di kala itu, waktu aku kembali... untuk mencari sesuatu yang aku sendiri tidak mengetahuinya. Keadaannya masih sama, hanya sebuah ruang hampa. Lalu perlahan muncul berbagai bintang kecil dengan warna-warna yang berbeda. Mereka semua terlihat sangat indah, memancarkan warna-warna kehidupan dunia dan akhirat.

Ungu, merah, hijau, jingga, kuning dan ratusan ribu warna lain. Menari-nari di depanku. Beberapa ada yang berpijar terus tanpa henti, yang lain berpijar sebentar lalu hilang seperti kembang api di langit pada malam akhir tahun. Aku penasaran, sesungguhnya mereka itu apa?

Lalu, tiba-tiba beberapa berusaha untuk menyentuhku. Aku merasakan sebuah sengatan listrik yang mengejutkan ditambah rasa hangat di hati ini. Seberkas memori terpampang dalam pikiranku, entah itu memori siapa. Seorang anak kecil yang sedang bermain ayunan, menertawakan kebahagiaan tanpa beban.

Kemudian sebuah bintang berwarna merah dengan cepat menembus kepalaku. Tubuhku panas, membara. Memori kali ini adalah seorang pria paruh baya yang memaki seluruh tetangganya, lalu ia membantai seluruh isi desa. Dari kakek nenek sampai para balita, semuanya telah menjadi mayat. Aku gemetar melihatnya dan memutuskan untuk menjaga jarak dari bintang-bintang yang lain.

Mungkin para bintang kecil itu adalah perwakilan segala pengalaman hidup manusia, arwah gentayangan. Padahal aku tidak percaya pada sesuatu yang bersifat mistik seperti mereka. Kalau sudah mati ya mati saja, hitam. Ketika aku memikirkannya, tiba-tiba mereka semua bergerombol mengeroyok diriku yang kecil ini. Aku berlari, namun apa daya... langkahku seperti siput dalam dimensi itu. Aneh! Mengapa aku tidak bisa mengontrol dimensiku ini.

Jutaan bintang itu berusaha masuk kedalamku, merasuki sampai ke ujung sumsum tulang belakang. Aku hanya terengah-engah. Beberapa ada yang hanya sekilas menembus, yang lain telah berdiam dalam diriku. Hinggap seperti kutukan. Ataukah ini sebuah berkah?

Apakah karena mereka semua kesepian? Tidak mampu menyentuh satu sama lain. Tidak mampu berbicara dengan satu sama lain. Ah... kesendirian memang hal yang menakutkan. Atau mereka justru ingin bereinkarnasi di dalam diriku yang hina ini, sehingga mereka mencoba memaksa masuk kedalam nila hatiku yang penuh nestapa. Sialnya, aku juga tidak percaya akan hal itu.

Awalnya aku takut, lalu merasa nyaman dan membutuhkan mereka semua. Ingin aku menjadi sarang mereka, sebuah tempat bernaung bagi jutaan arwah penasaran. Lalu aku menyerahkan diriku sekali lagi, seperti sebuah sesajen. Menjadi korban untuk mereka.

"Ayo! Semua, masuk kedalam sini! Aku majikan kalian, aku ini pemilik dimensi ini! SEKARANG JUGA!"

Aku berteriak dengan keras, merentangkan tanganku setinggi pundak. Menahan nafas, menggigit geraham dengan keras dan mencoba bertahan melewati jutaan sengatan yang akan datang.

Arrrrgh, seperti disambar petir secara langsung. Mendekati kematian, semua memori hidup terlihat sekilas dalam pikiranku. Sayangnya, itu semua bukan kenangan milikku.

Ratusan berhasil masuk kedalam diriku, hatiku bersinar emas. Merasakan kehangatan mereka semua. Aku terpana, melihat diriku menjadi seperti mahluk asing luar angkasa, seluruh tubuhku kemudian bercahaya. Apakah aku telah menjadi matahari?

Aku tersenyum...

"Silahkan mencoba lagi wahai arwah gentayangan!"

Aku kembali bersiap, dan mereka mulai mencoba merasukiku kembali, para arwah yang tersisa. Jumlah yang tersisa masih berjuta-juta. Seluruh tubuhku kesemutan, gemetaran, tak mampu menampung mereka semua.

"Maaf... maaf. Maaf para bintang penghuni dimensiku."

... ... ... ... ... ... ... ...

"Wadahku ternyata belum cukup."

Seperti sebuah gelas yang berusaha menampung seluruh isi laut.



Sia-sia.