Aku Cemburu

Malam itu, seperti biasanya. Aku dan kamu menikmati sebuah makan malam untuk kita berdua. Dunia milik kita berdua dan segala isinya memusuhi kebersamaan yang kita nikmati. Sembari menunggu pesanan datang, kita berdua mengobrol hal-hal yang intim dan mesra... sampai pada akhirnya... di tengah kita berdua sedang asik bercakap-cakap.... kamu memutuskan untuk berdoa dan menghiraukan diriku, sebagai syarat mengucap syukur kepada Dia.

Seketika itu juga aku marah! Aku merasa dicampakkan dan kalah. Kamu bilang bahwa berdoa adalah ucapan rasa syukur atas pemberian yang dihidangkap di atas meja.

Tetapi, disaat itu kamu sedang bercakap ria denganku... kemudian mengacuhkan diriku untuk berdoa. Seraya aku tidak pernah nyata dalam kehidupan ini. Aku terbakar! Mengapa?

Lalu aku beralibi membela segala amarahku dengan berdalih:

"Sayang, hubungan itu ada dua jenisnya: 1. Hubungan vertikal, antara sebuah pribadi dengan Sang Pencipta, 2. Hubungan horizontal antara sesama manusia. Seperti segala hal di dunia ini, apabila tidak seimbang... maka semuanya akan runtuh. Berfokus pada kegiatan antar manusia, tidak akan mencapai langit yang tertinggi. Sedangkan mengutamakan hanya berhubungan khusus dengan Dia... akan berakhir seperti Menara Babel yang runtuh karena pondasi yang rapuh."

"Tapi sayang, aku tidak bermaksud untuk mengacuhkanmu. Aku selalu bersyukur atas segalanya. Aku bisa bertemu dirimu karena Dia dan segala yang tergeletak di atas meja ini adalah karunia milik Dia yang diberikan secara cuma-cuma."

"Tetap saja sayang, aku sedang bermesraan denganmu. Aku tidak rela dirimu untuk berbuat seperti itu."

Kemudian kamu mengucurkan air matamu, mengasihani diriku yang selalu hidup dalam kegelapan. Mengeluarkan banyak sekali wejangan untukku.

"Kenapa kamu menjadi orang asing? Ini bukan dirimu yang aku kenal. Aku mengasihani dirimu yang hidup dalam kegelapan."

Aku dengan mudahnya, tanpa rasa simpati... menjawab.

"Mungkin memang semua ini adalah semu dan selama ini kamu belum mengenal diriku."

"Kamu cemburu? Mengapa hal ini perlu dibesar-besarkan? Aku senantiasa berdoa karena aku ingin beribadah. Itulah salah satu caraku untuk berkomunikasi dengan Dia."

"Bukan saat ini sayang! Saat ini engkau sedang bersamaku! Jangan sekalipun memikirkan Dia."

"Tapi hal ini tidak akan membunuhmu, pembicaraan kita juga tidak begitu penting. Apabila dihentikan juga, toh tidak akan membuat jiwamu meledak dan mati... ataupun dunia ini kiamat. Kita sedang bercengkrama seperti biasa."

"Terserahmu!" Hanya itu yang bisa terlontar keluar dari mulutku.

Lalu, kalimat pemusnah itu keluar dari bibir manismu.

"Mengapa engkau merampas hak asasiku? Aku hanya ingin berdoa dan bersyukur atas semua ini. Tidak ada alasan lainnya. Maaf apabila membuat dirimu merasa diacuhkan."

Memang dasarnya aku keras kepala dan tidak mau mengakuinya. Perlahan-lahan aku meracuni pikiranmu dengan pendapatku yang subjektif tanpa dasar apapun.

"Ya! Aku cemburu dengan Dia!"

Aku teringat disaat dirimu senantiasa memberikan recehan untuk para pengemis. Kamu melihatnya seperti Dia yang sedang memberikan jalan untukmu, untuk melatih kasih yang ada dalam dirimu. Kamu melihat Dia dalam paras wajah sang pengemis itu, seperti Dia... yang sedang membutuhkan pertolongan. Memori itu berputar ulang dalam pikiranku, aku hanya tertawa. Lucu... kok Dia membutuhkan pertolongan. Lalu aku mengeluarkan itu sebagai langkah pertahananku yang berikutnya.

"Memang seperti itu apa adanya, aku melihat Dia dimana saja dan kapanpun."

Begitu jawabanmu yang sederhana namun tetap tegas bagai batu karang yang sulit diruntuhkan.

Aku masih keras kepala, kamu api aku juga api. Siapa yang akan membakar lebih besar dan memberikan cahaya yang lebih banyak? Aku terus mengeluarkan alibiku tentang jenis hubungan dua arah itu, dan berusaha menerangkan agar kamu mengetahui tempat dan saat melakukan hal itu diwaktu yang tepat.

Kita bertikai hebat saat itu juga, sampai pada ujung perdebatan.

"Kamu cemburu kepada Dia?"

"Ya! Aku cemburu kepada Dia, serta pada saat kita berdua bersama... hal itu yang paling penting disaat itu. Aku tidak akan mempedulikan yang lain."

"Bodoh! Dia yang seharusnya cemburu kepadamu, karena aku lebih sering menghabiskan waktuku bersamamu, karena dalam 24 jam aku lebih banyak mengingat dirimu daripada Dia. Apalah artinya 2 menit untuk bersyukur kepada Dia? Aku kasihan kepada dirimu, hidup tanpa pegangan."

Memang begitulah aku apa adanya, hidup tanpa sebuah pengangan. Bukankah itu lebih mengasyikkan? Aku tidak butuh asuransi selama aku bersamamu! Ya, aku benar-benar cemburu kepada Dia yang selalu dapat merenggut hatimu disaat terbaik... pada waktu kita hanya berdua saja tanpa menghiraukan apapun, namun kamu tetap dapat mengingat Dia. Aku akan meledak saat itu juga, karena kita sedang saling berkomunikasi --- yang kamu anggap biasa saja --- tetapi bagiku itu adalah hal yang paling penting melebihi apapun. Sedangkan kamu... lagi-lagi masih saja menyempatkan diri untuk mengingat Dia.

Kamu bilang bahwa apabila pembicaraan kita --- yang kamu anggap basa-basi biasa saja --- terpotong, dunia tidak akan meledak. Sayangnya, bukan seperti itu cara kerjanya dalam diriku ini. Jikalau itu semua telah terjadi, duniaku benar-benar meledak. Saat itu, kamu adalah yang paling utama. Entah mengapa.

Kemudian aku, diriku yang bodoh tanpa logika dan nihil empati meminta maaf kepada kamu secara habis-habisan. Untungnya kamu masih berlapang dada untuk menerimanya.

Sayangnya, masih ada yang mengganjal di hatiku yang hitam kelam ini. Jikalau dirimu bisa membayangkan sebuah pengemis sebagai salah satu jalan Dia. Apa yang bisa menjamin bahwa kamu tidak pernah sekalipun melihat Dia di dalam diriku? Aku tidak tenang. Apakah dirimu mencintai diriku... karena aku adalah aku, atau karena kamu melihat jalan Dia di dalam diriku?

Aku bertanya dalam diriku karena aku tidak tahu lagi harus bertanya ke arah mana dan kepada siapa.

"Mengapa menciptakan perbedaan? Mengapa tidak menciptakan Adam saja, bukankah itu cukup? Sedangkan apabila ia kesepian, mengapa menciptakan Hawa? Sebuah mahluk yang berbeda, diambil dari sebagian milik Adam... hasilnya adalah penuh perbedaan. Mengapa tidak menciptakan satu milyar Adam yang lain untuk menemani Adam yang pertama?"

Sampai saat ini semua masih belum terjawab. Mungkin, Dia milikku sedang pergi berlibur... dan Dia milikmu tidak akan pernah datang berkunjung. Itu sudah jalannya sayang. Mari kita nikmati saja semua ini sampai akhir yang telah ditentukan, toh kita sudah menganggap bahwa kita berdua telah berusaha semaksimal mungkin, bukan?