Seberapa seramnya pembimbing skripsi?

Mau tahu seberapa seram pembimbing skripsi yang berhasil membuat pusing tujuh keliling mahluk super jenius seperti aku ini? Baca saja curatan hati seorang teman seperjuangan.

--- Aku Berusaha Kuat, Tanpa Pernah Tahu Kapan Semua Ini Berakhir... ---

Aku masih ingat, saat usiaku menginjak angka 17, memakai baju serba pink diantara ratusan calon mahasiswa yang tengah ospek, aku berkata
"Aku akan lulus di saat umurku masih 20 tahun..."

4 tahun kemudian...

Seorang remaja beranjak dewasa, tidak... aku sudah cukup dewasa kupikir (haha...) menemukan bahwa hidup tak pernah semudah yang dibayangkan. Tak pernah bisa semulus yang aku harapkan. Selama hampir 4 tahun aku terlalu obsesif untuk mengejar sebuah kesempurnaan nilai, dan aku hampir mendapatkannya. Selama 20 tahun hidupku, aku tak pernah mengerti arti sebuah kekalahan. Karena aku hampir tak pernah mengalaminya. Selalu menjadi yang terdepan dalam banyak hal, yang tanpa sadari itu semua bukan semata karena aku kuat, aku pintar, atau aku hebat. Itu semua karena Allah kasihan padaku. Allah tahu bahwa aku belum cukup kuat untuk menerima kekalahan pada waktu itu...

Dan sekarang, aku baru mengerti rasanya kalah. Terpuruk dalam kekecewaan tanpa pernah mengerti bagaimana cara untuk kembali berdiri. Mungkin saat inilah Dia menganggap aku cukup kuat untuk menerima bahwa kekalahan yang justru akan membuat aku kuat di kemudian hari.

Aku tak pernah tahu kapan skripsi ini berakhir. Cum laude tak pernah berguna saat ini. 3,85 angka yang cukup baik bagiku, tapi seperti sampah sekarang di mataku. Skripsi tidak ada hubungannya dengan intelektual seseorang, kupikir... tapi lebih kepada sebongkah keberuntungan. Aku siap berargumen untuk hal itu.

Kupikir dosen pembimbing itu yang terbaik, ternyata malah menyesatkanku dalam putaran obat nyamuk yang tak pernah ada akhirnya. Aku lelah dengan semua ini. Otakku terperas habis untuk mengikuti kemauan sang dosen. Begitu banyak yang harus aku lakukan, tambahkan, sempurnakan,,,, dia menginginkan sebuah kesempurnaan skripsi yang aku tak pernah tahu, seperti apa wujud skripsi sempurna itu??

11 x revisi sebelum kolokium menurutku angka yang fantastis. Bosa dan lelah. Hampir setiap malam aku menangis, berfikir, apakah aku telah salah memilih jalan saat itu? Keputusanku untuk mencoba konsentrasi baru sepertinya malah membuatku menjadi kelinci percobaan. Aku ingin kembali ke masa itu, dimana aku memilih konsentrasi yang jelas-jelas bisa mengantarkanku ke gelar sarjana hanya dalam waktu 2 bulan saja.

Berulang kali mengganti topik, revisi di bagian-bagian yang tak terlalu penting, mementahkan kembali semua konsep, menyalahkan buku panduan sehingga kami kehilangan arah, tak menerima teori pakar lokal, tak memberi tahu saat kami membutuhkan jawaban, membiarkan kami kebingungan...

Tambahan penderitaan itu adalah kami hanya memiliki waktu 1 minggu untuk bertemu dengannya, semakin membuat kami tak berani berharap untuk memiliki target "kapan bisa lulus??"

Tambahan kedua adalah kami harus menguasai semua aspek manajemen beserta seluruh teorinya, heloooo..... berapa ratus halaman yang harus kami buat jika skripsi biasa saja hanya beberapa variabel dari aspek manajemen tersebut? Dan kami ada sekitar 30 variabel lebih...,

11 kali bimbingan, belum ada pencerahan berarti :(

Aku belum menjadi seorang wanita yang kuat, tapi aku berusaha untuk menjadi seperti itu. Selalu ada hikmah di balik setiap kesulitan. Bahkan pembimbing kedua aku berkata :

"Biasanya, kalau skripsi kamu dipersulit, berarti ada kemudahan lain yang Allah berikan. Dia Maha Adil. Bisa saja kemudahan itu diberikan pada bisnis kamu sekarang."

Amin ya Allah. Lega banget pembimbing kedua itu begitu mengerti perasaanku, meskipun dia tidak bisa berbuat apa-apa untuk menolongku.

Dalam shalat malamku semalam, aku menangis. Mengadu pada Sang Pencipta, jika memang ini yang terbaik, aku hanya ingin diberikan kelapangan hati untuk menerimanya. Aku ingin ditunjukkan pintu kebahagiaan lain jika memang kelulusan itu begitu sulit kugapai. Aku berharap "opportunity" itu segera kupahami.

Hari ini, dosen pembimbing itu lagi-lagi tak ada, padahal hanya hari kamis aku bisa menemuinya...hhh...

Aku memang tak terlalu peduli kapan aku bisa lulus. Toh aku tak terburu-buru harus mencari pekerjaan setelah ini. Well, aku memang tak ingin bekerja, aku ingin memilih jalan lain untuk sukses. Aku tahu, pikiranku sangat picik. Aku ingin cumlaude hanya untuk bahan cerita pada anak-cucu. That's it...

Hahaa....

Pasti Allah tahu apa yang lebih kubutuhkan saat ini, dan aku percaya pada-Nya. Mungkin... (setengah berharap), Allah mendengarkan doaku yang lain, yang mungkin akan menyulitkan aku jika aku cepat-cepat lulus saat ini. Doaku yang lain : Semoga Allah memberika kemudahan rezeki dalam usahaku, agar saat aku lulus, kemapanan itu telah aku raih.

Amin...


Aku tak ingin semakin terluka oleh kekalahan ini. Hidupku, tawaku, impianku, serasa dijungkirbalikan ketika fakta bahwa "kapan aku bisa lulus?" tak bisa aku jawab secara pasti. Aku berusaha menerima saat ini, mencari kebahagian lain agar aku bisa kuat dan tetap berkata pada mama papa :

"Ma,,, pa,,, maafin resti karena belum bisa menjadi sarjana dalam waktu dekat ini. Tapi res janji, res akan bahagian kalian dengan cara yang lain. Memperlihatkan bahwa aku telah hidup mandiri sekarang, kupikir aku ingin kalian tahu bahwa sebelum menjadi sarjana pun, aku telah semakin dewasai bahwa menjalani hidup itu gak semudah impian...

Bahwa selalu ada batu sandungan ketika kita berjalan...
Bahwa musuh dalam selimut itu selalu ada...
Bahwa orang di sekeliling kita tak selamanya sebaik wajahnya...
Bahwa kehilangan adalah hal yang biasa...
Bahwa ini... adalah dunia nyata. Dunia dimana tak selamanya aku bisa bergantung pada orangtua. Dimana mungkin saja ketika kalian pergi meninggalkan dunia, aku tetap harus bisa sekuat hari-hari biasa."

Semoga kekalahan ini segera berakhir. Aku ingin kuat, karena itu aku harus bertahan. Aku tahu Allah akan memberikan hadiah "sarjana" itu di waktu yang tepat, meskipun sekarang masih menjadi sebuah misteri. Kapan aku diberikan kemudahan untuk bisa segera lulus...

Oleh : Restiani Nur Fauzi

Sumber


Haduh, masih lama lagi 1 tahun buat ganti pembimbing. Dasar birokrasi institusi pendidikan tinggi negeri.

Kluizenaar

Malam itu, setelah melewati hari penuh rutinitas tanpa suatu hal yang spontan. Ia membaringkan tubuhnya di kasur yang tersusun rapi sempurna, tidak ada satu kerutanpun. Bau harum wewangian sintetis memenuhi ruangan itu, mulai dari seprainya sampai dinding dan segala perabotannya. Seperti biasa sebelum tidur, ia melakukan kebiasaan yang sudah seperti ibadah. Membuka seluruh pakaian dan biarkan kasur dingin memeluknya dalam kesendirian. Kemudian memandang langit kamarnya yang putih, dinding kamarnya yang bersih dan tidak pernah mematikan lampu neonnya. Kehidupannya sebatang kara, bukan karena ia tidak mau berteman atau mencari kekasih... namun karena ia memilih begitu. Karena ia tahu menjadi sendiri tidaklah mudah dan melawan kesepian adalah hal yang paling sulit di dunia ini.

Kamarnya yang serba putih, bersih dan tersusun rapi sempurna namun sayang tidak ada sebuah jendela maupun ventilasi udara. Hanya itu yang ia mampu untuk dapatkan, ditengah persaingan kerja Ibukota yang sangat buas. Sebuah kamar kecil di lantai paling atas, posisinya tepat di area kumuh. Untunglah setiap malam semua warga disekitar sibuk melakukan aktivitas lain di bagian kota yang ramai, dimana semua potensi keuntungan yang selalu diimpikan namun susah untuk diraih.

Begitulah ia hidup, seperti dalam sebuah lembaga pemasyarakatan besar dan ia satu-satunya penghuni. Penjara kecil penuh rasa sepi.

Kluizenaar, itulah namanya. Matanya gelap, tanpa pancaran kesedihan sekalipun. Badannya bidang dan tegap, tubuhnya kurus karena hidup serba pas. Rambutnya bergelombang seperti ombak laut di malam hari, hitam... lapis demi lapis. Kulitnya hitam kelam seperti arang. Karena bentuknya yang serba hitam, Kluizenaar sangat cinta sekali kepada warna putih.

Pekerjaannya hanya sebagai karyawan kantor biasa saja. Prestasinya tidak baik dan juga tidak buruk. Hidupnya hanya seperti boneka, mati tidak mau... hidup juga enggan. Begitulah hari demi hari ia lalui. Sampai suatu saat Kluizenaar menempuh sebuah peristiwa yang mengubah hidup semunya selama ini. Sebuah peristiwa yang membebaskan dirinya dari hidup seperti pertapa palsu. Peristiwa yang paling dikenang olehnya seumur hidup.

--------

Hari itu, Kluizenaar melangkahkan kakinya pulang dari kantor. Melewati rute standar yang biasa ia lalui puluh ribuan kali, namun hari itu ada yang berbeda. Seorang pedagang kaki lima membuka lapaknya di trotoar yang penuh lubang. Di bawah pohon rindang, pedagang itu hanya bersantai sambil menampilkan semua komoditas yang ia miliki. Sungguh aneh pemikiran sang pedangan karena jalan itu adalah jalan yang sepi. Kluizenaar senang melewati jalan itu karena tidak terawat, meskipun jalan itu agak jauh dan memutar dari rute paling pendek antara kantor dan penjara kecilnya. Tapi yang paling penting... tidak ada seorangpun yang mengganggu langkah kaki Kluizenaar, hanya angin yang menari lembut dan dedaunan yang gugur senantiasa menemaninya.

Ia benar-benar kaget karena melihat seorang pedagang yang berjualan di rute kesendiriannya, sebuah hal diluar rutinitas yang berulang kali ia alami penuh rasa jenuh. Kluizenaar bukan seorang yang penakut, tapi juga bukan orang yang gampang penasaran. Namun entah kenapa di hari itu, Kluizenaar memutuskan untuk menyelidiki apa yang mungkin dijual oleh sang pedagang di sebuah tempat sepi. Perlahan-lahan ia berjalan mendekati lapak...

"Waah, bagus-bagus Pak barangnya! Bapak kenapa berjualan disini?"

"Hmm... jelas bagus. Semua ini adalah barang pilihan. Karena tidak ada tempat lain yang senyaman ini, aku sudah bertahun-tahun berkelana sambil menjual barangku untuk memenuhi satu suap nasi hari demi hari."

"Berapa satunya Pak?" Kluizenaar bertanya kepada sang pedagang sembari tangannya usil memilih-milih barang dagangan.

"Tergantung, Mas suka yang mana?"

"Saya suka yang itu. Sepertinya cocok untuk dipajang di kamar saya." Kluizenaar menunjuk sebuah lukisan yang aneh.

"Hooo, menarik. Mas yakin mau yang itu?"

"Ya, boleh saya membelinya?"

"Tentu."

"Berapa Pak?"

"Gratis untuk Mas, itung-itung penglaris."

"Beneran nih Pak?"

"Benar Mas, semoga lukisan itu membawa berkah untuk Mas."

"Terima kasih Pak! Saya pulang dulu, ingin cepat-cepat menggantung lukisan ini."

Kluizenaar senang sekali hari itu, senyumnya muncul. Mungkin dalam hidupnya bisa dihitung berapa kali ia tersenyum, bisa dihitung... dengan satu tangan. Buru-buru ia mulai membawa tubuhnya dengan cepat, pulang kembali ke kandang putih kecilnya.

Akhirnya ia sampai juga di kamar kecil penuh warna putih, tempat ia menyendiri dan melawan rasa sepi. Tanpa menunda, ia langsung mencari paku dan palu yang tersimpan di lemari putihnya. Palu yang unik berwarna putih, pakunya berwarna hitam. Tapi Kluizenaar memutuskan untuk mengecat paku itu menjadi putih terlebih dahulu, namun sayang ia tidak memiliki sekaleng cat... akhirnya ia menggunakan 'Tip-Ex' untuk menyulap paku hitam itu menjadi putih. Voila!

Tok tok tok, toktoktok, toktok! Bunyi palu putihnya menghantam paku yang telah bermandikan 'Tip-Ex', menembus dinding bersih penjara kecilnya. Kluizenaar sangat suka kerapian dan kesempurnaan, hasil pekerjaannya bahkan tidak membuat sebuah retakanpun di dindingnya. Lalu dengan hati-hati ia mulai menggantung lukisan itu, tepat di dinding seberang kasurnya. Meluruskannya lukisan itu agar terlihat rapi dan sempurna.

"Bagus juga lukisan ini. Sangat cocok untuk kamarku," Begitulah Kluizenaar mengeluarkan sebuah komentar setelah melihat dengan puas lukisan yang berhasil ia rampok dengan sopan dari sang pedagang. Sebuah lukisan yang aneh, menggambarkan sebuah jendela kayu dengan bingkai yang melintang seperti salib. Namun diluar jendela itu terhampar luas padang hijau nan asri dan langit biru penuh awan putih yang berarak.

--------

Malam harinya, seperti biasa ia melakukan ibadah sebelum tidur. Lampu neon putihnya masih bersinar penuh dan membara panas, Kluizenaar tidak pernah sekalipun mematikan lampu kesayangannya itu. Ia membuka seluruh helai benang yang melindunginya, lalu membaringkan tubuhnya di atas kasur yang dingin namun masih saja tetap penuh harum bunga-bunga kimiawi yang erat mendekam dalam serat-serat seprainya. Kemudian memandang sebentar lukisan barunya. Ia terseyum, pelan-pelan Kluizenaar menutup matanya dan mulai mencoba untuk tidur.

Setelah beberapa menit berlalu, Kluizenaar masih belum bisa menuju alam mimpi. Sungguh aneh! Padahal bukankah ibadah itu sudah ia lakukan ratus-ribuan kali, masihkah ia belum terbiasa? Tapi hari ini bukan seperti hari-hari biasa lainnya. Kluizenaar bingung, lalu intuisi miliknya menyuruh untuk mematikan lampu kesayangannya. Awalnya ia enggan, namun hari ini hari spesial... tidak ada salahnya untuk mencoba hal yang baru. Ia menggapai saklar lampu yang terletak di dinding samping kasurnya. Setelah mematikan lampu, Kluizenaar kembali terusik untuk memandang lukisan barunya. Mahluk bodoh, tidak tahukah bahwa manusia butuh cahaya untuk melihat.

Namun apa yang terjadi? Ternyata lukisan itu bersinar. Kluizenaar takut bahwa ia sedang menempuh sebuah ilusi dalam mimpi, lalu ia mengusap-usap matanya dan kembali membuka kedua kelopaknya yang hitam legam. Lukisan itu masih bersinar dengan misterius! Hari ini memang hari yang spesial, Kluizenaar memutuskan untuk mengangkat tubuhnya dari kasur dan mendekati lukisan itu. Dengan seksama ia melihat kedalam lukisan itu, sebuah jendela dan di belakangnya penuh pemandangan hijau nan asri dan langit biru yang mendamaikan. Lagi-lagi Kluizenaar terkejut, ia melihat awan yang ada di dalam lukisan itu menari-nari ditiup angin. Begitu pula dengan rumput-rumput hijau yang ada bersama di dalamnya. Sekali lagi Kluizenaar mengusap matanya untuk memastikan bahwa ini bukan ilusi belaka.

Setelah kembali membuka kedua kelopaknya yang hitam legam, ternyata apa yang ia lihat masih sama. Lukisan itu masih bersinar, rumput dan awan masih bernari dengan riang di dalamnya. Seolah angin-angin menjaga dan memelihara mereka semua.

"Lukisan yang ajaib! Hari ini memang spesial, aku sungguh beruntung," Kluizenaar berbicara dengan batinnya sendiri, toh ia tidak punya teman tidur.

Penuh rasa penasaran, Kluizenaar mulai menyentuh lukisan ajaib tersebut. Jemarinya mulai merasakan tekstur lukisan tersebut. Tidak terasa seperti cat minyak, setelah meraba ia yakin betul bahwa tekstur bingkai jendela itu adalah kayu dan pemandangan di dalamnya seolah terhalang sebuah kaca.

Dengan telunjuknya ia mulai menekan lukisan itu dengan pelan karena takut untuk merusak sebuah keajaiban yang baru saja ia miliki, sebuah rampasan dari sang pedagang yang murah hati. Kriiiieettt! Bunyi jendela tua terbuka dengan mudah, hanya dengan sebuah dorongan kecil dari telunjuknya yang hitam... untunglah kuku Kluizenaar tidak berwarna hitam.

Ia merasakan angin yang memelihara alam dibalik lukisan itu menerpa wajahnya. Ia merasakan sebuah kedamaian yang luar biasa. Bau rerumputan, udara yang sejuk memenuhi benak pikirannya. Meskipun tubuhnya telanjang, ia tidak merasakan secuil dingin pada kulitnya.

Kluizenaar memutuskan untuk mencoba merogoh masuk ke alam lukisan tersebut, ia mengangkat satu kakinya dan mulai masuk... lalu mengangkat kakinya yang satu lagi. Sekarang ia telah berada di sebuah alam yang aneh namun menentramkan. Sebuah alam di balik lukisan ajaib.

--------

Kluizenaar sangat senang, ia merasa sudah berada di tempat yang dijanjikan oleh Tuhan. Sebuah surga. Dimana semuanya sangat damai dan menentramkan. Ia berlari-lari telanjang bulat seperti Adam tanpa ditemani Hawa. Kemudian berbaring di atas rerumputan hijau nan empuk --- jauh lebih empuk daripada kasurnya yang rapi dan dipenuhi bau sintetis wewangian kimiawi bunga-bungaan --- lalu mulai memandang awan yang berbaris rapi di lautan udara biru.

"Ini surga, begitu menyenangkan," Kluizenaar berbicara dengan benaknya sendiri toh tidak ada seorangpun di alam ajaib ini.

Setelah beberapa saat memandang langit, lagi-lagi ia dikejutkan oleh sebuah hal yang aneh. Ia melihat seekor burung putih yang berdansa bersama para awan di langit. Kluizenaar sangat mencintai warna putih, seketika itu juga ia memutuskan untuk bangun dari posisinya dan mulai mengejar burung putih itu.

"Burung merpati, kah? Burung dara, kah? Burung merpati pasti... ah bukan burung dara mungkin..." Kluizenaar mengobrol dengan pikirannya sendiri sambil berlari mengikuti burung putih itu.

Akhirnya burung putih itu hinggap di sebuah ranting pohon besar, bertengger melepas lelah setelah dansa yang dilakukannya bersama para awan. Kaaak Kaaaak Kaaak Kaakaaakk! Bunyi kicau burung putih itu.

"Wow, ternyata burung gagak putih. Kok bisa? Aku kira semua gagak warna hitam." Lagi-lagi Kluizenaar berbicara dalam hatinya sendiri.

Dengan takjub ia mulai memandang keanehan itu, atau lebih tepatnya sebuah kejaiban. Dengan matanya yang gelap namun tajam, ia melihat burung gagak putih itu jauh lebih bersih daripada hujan salju. Bulu-demi bulunya tidak ada setitik debu yang menempel. Tetapi yang lebih memukau baginya adalah mata burung gagak putih itu, berwarna biru... murni sebening telaga danau.

Burung gagak itu kembali terbang mengitari pohon besar yang ada di depan Kluizenaar. Secepat kilat burung itu menukik tajam, terbang diam beberapa detik di muka pemuda hitam tersebut. Lalu kembali melayang masuk ke dalam lubang di batang pohon besar itu.

Kluizenaar baru tersadar bahwa di batang pohon maha besar itu terdapat sebuah pintu kayu dengan lubang kecil tepat di tengahnya. Karena rasa cintanya akan warna putih, Kluizenaar memutuskan untuk kembali mengikuti burung gagak putih itu... untuk masuk ke dalam batang pohon.

Pelan-pelan ia mendorong pintu kayu itu, dengan telunjuk hitamnya dan sebuah dorongan kecil. Kriiiieeek. Bunyi kayu tua yang sama persis ketika ia mendorong jendela sebelumnya.

Di dalam batang pohon itu, sebuah ruangan sangat besar penuh warna putih. Ribuan kunang-kunang menyinari tempat itu, seperti jutaan bintang bersinar di malam yang cerah.

"Kemari wahai pemuda, tidak perlu takut." Suara lembut menyapa kedatangan Kluizenaar.

Ia pelan-pelan mendekati sumber suara itu, sebuah sinar keemasan. Akhirnya setelah lebih mendekat lagi, seketika itu juga Kluizenaar melongo. Ia melihat sebuah mahluk yang belum pernah dilihat seumur hidupnya, sebuah mahluk yang paling indah.

Seorang wanita dengan empat sayap capung dan mengenakan kebaya yang dijahit dari benang emas. Kulitnya putih seperti susu, rambutnya panjang dan lurus. Berwarna putih seperti untaian halus benang perak. Menyilaukan namun memaksa mata Kluizenaar yang gelap untuk terus memicing ke arah wanita itu.

"Halo, apa yang membuatmu datang kemari wahai pemuda?"

"Aku tidak tahu, intuisiku mungkin. Aku hanya mengikuti burung gagak putih tadi yang terbang masuk kesini."

"Oh, lalu intuisimu bilang apa saat ini?"

"Aku tidak tahu, sepertinya sudah mati melihat keajaiban demi keajaiban yang ada di alam ini."

"Hoo begitu ya, lalu menurutmu ini tempat apa?"

"Aku juga tidak tahu pasti, yang jelas aku merasa damai dan nyaman di sini. Aku kira hanya aku sendiri yang ada di alam ini."

"Hahaha, naif sekali. Aku sudah tinggal di alam ini... entah semenjak kapan."

"Apakah kamu tidak merasa kesepian?"

Wanita itu terdiam sejenak, lalu meneteskan air mata. Kluizenaar baru sadar saat itu juga ia telah menyakiti hati wanita tersebut, namun yang lebih penting lagi ia begitu takjub melihat mata wanita itu. Mata yang biru, murni seperti telaga danau, persis sama dengan mata gagak putih yang diburunya tadi.

"Yah sesekali, namun apa daya."

"Ah... maaf, aku tidak bermaksud. Pertanyaan yang bodoh. Kemana perginya gagak putih tadi?"

"Coba tebak!" Wanita itu kembali ceria dan tersenyum.

"Ah... tidak mungkin." Kluizenaar masih dipenuhi rasa tidak percaya.

"Masih belum belajar juga semenjak tiba di alam ini? Apa yang tidak mungkin?"

"Benar juga."

"Apa yang kamu cari wahai pemuda?"

"Kedamaian... mungkin."

"Benar kamu ingin rasa kedamaian seperti ini."

"Tentu."

"Sendiri, atau berdua bersamaku?"

"Aku... lebih memilih untuk bersamamu."

"Bagus! Kalau begitu cium aku sekarang!" Wanita itu memerintah Kluizenaar. Memperlakukan seorang pemuda hitam bagaikan seorang anak kecil bau kencur.

"Haaa, boleh?"

"Aku tidak akan menawarkannya untuk kedua kali."

Lalu Kluizenaar mencumbunya dengan penuh nafsu, bibir mereka saling mengulum dan lidah mereka saling terkait. Rasanya seperti waktu berhenti. Kluizenaar menutup matanya untuk menikmati momen indah ini.

--------

Kluizenaar membuka matanya, namun apa yang terjadi... ia terbaring di atas kasur putih miliknya yang masih saja rapi dan dipenuhi wewangian bunga-bunga kimiawi. Lukisan itu masih menggantung di dindingnya. Kluizenaar sangat senang meskipun hanya sebatas mimpi, begitu pikirnya. Lalu ia perlahan-lahan mendekati lukisan itu.

Lagi-lagi ia terkejut. Kluizenaar melihat bahwa lukisan itu telah berubah. Sekarang di balik jendela itu bukan pemandangan rerumputan dan awan saja namun ada sebuah pohon besar dengan pintu tepat di tengah batangnya, sebuah lubang kecil tepat di tengah pintu itu dan sebuah gagak putih bertengger santai di dahan pohon maha besar itu. Kluizenaar tersenyum...

Ia memutuskan untuk memulai hari ini sebagai hari yang lebih spesial lagi, dengan riang ia langsung beranjak keluar kamar menuju beranda untuk menghirup udara pagi. Namun apa yang dilihatnya?

Langit-langit hitam, perkotaan terbakar penuh lautan api. Bola-bola api melayang jatuh bebas menghantam daratan.

"Apakah aku masih bermimpi?" Kluizenaar masih saja berbicara dengan dirinya sendiri.

"Tidak! Kamu tidak bermimpi."

"Hah! Dimana aku sekarang?" Kluizenaar kaget, namun jantungnya lebih kaget lagi karena ada seseorang yang mampu membaca pikirannya dan menjawab.

"Lihat ke kanan!"

Kluizenaar menengok ke kanan, ia melihat sebuah mahluk dengan delapan pasang sayap putih. Berbusana serba putih dan udara di sekelilingnya tampak bersinar keemasan.

"Dimana aku sekarang? Tempat apa ini?"

Mahluk itu hanya tersenyum, lalu mengibaskan lebar-lebar seluruh sayapnya... seperti burung kolibri yang bersiap akan lepas landas dan terbang diam di langit. Seluruh angin yang dihembuskan mahluk itu membuat debu-debu berterbangan, debu emas yang berkilau seperti matahari senja.

Mahluk itu mulai untuk terbang dan mendekati Kluizenaar. Kemudian ia membisikkan sebuah kalimat kepada Kluizenaar...



"Selamat datang kawan, ini surga."



Mahluk itu tersenyum kemudian terbang secepat kilat lalu menghilang, hanya meninggalkan jejak berupa debu-debu emas.

Catatan: Ditulis untuk memenuhi Janji Jumat 23 April 2009.

Abyss

One night
I sleep without pray

Nightmare have come to me

I fell into the darkest hole...
Without no end

This terrible agony
Is restless

What should I do?
Slit my throat? Cut my veins?

Blown away my mind
My blood is deep frost
No gravity, no heartbeat...
No hope

Is this heaven? Or hell?
I don't see light, I don't see angel
I don't see flaming fire, I don't see devil

Where is The Eden? Where should I search for it?
Nothing is found

In the end...
The sunshine never come to wake me up...



Doomed to obscurity I have become.

Note : My last old writings, finally. Bit by bit put it in together in this blog.

About Me

What I fear
Is not loneliness,

What I fear...
Is surrounded by fake friends

What I fear
Is not a sickness that can't be cured,

What I fear...
Is to be paralyzed

What I fear
Is not being a handicap,

What I fear...
Is another perfection

What I fear
Is not an endless darkness,

What I fear...
Is blinded by the white light

What I fear
Is not life full of sin,

What I fear...
Is life without faith

And...

What I fear
is not death,

What I fear most is...



To be forgotten.

For Sweet Pea - Third Part

I dive into the deepest sea
Search for the biggest pearl
Just to give it for you

I go into the darkest mine
Search for the most beautiful diamond
Just to give it for you

Everything I do
Just to see your smile...
One more time

I have made contract with demon
Traded my soul for a bargain
Just to get your love

There are so many girls in this world
But... there is only one sweet pea
That fits into my heart

Because...
To be loved by you
Is just like...



A never ending dream.

For Sweet Pea - Second Part

Here I am...
Standing alone in the midnight
Like a statue in the otherside of the road
Looking at your window

Shivering and cold

Full moon...
The silver light shine trough your room
So mysterious yet so calm
Just like my feeling

If I could be anything in this world

I want to be your shadow
Accompany you in day and night
Staying close to you every time
Watching you anytime I want

If I could live anywhere in this world

I want to live behind your mirror
Seeing your beautiful face
Admire you eternally
Adore you forever

But what can I do?

Ordinary man, I am
A cowards that feared reality
Doomed to obscurity
Prisoner of the darkness

The truth is no word can tell...



My love for you is not a lust...

For Sweet Pea - First Part

Like roses without thorn
And then a new love will be born

Such beautiful eyes
Such joyful smiles

Climb up stairs to see you
Gazing at stars and think about you

Give my bed to make you comfort
Give my sheet to make you warm

I have tasted the wine of pleasure
And my soul thirst for more

Sinful child I have become
A traitor of trust

Forgive me not, my lovely lady
Forsaken me for my oath

Bond to another eve, I have
Cursed me forever

Is this just another illusion?
Or just another lust pass by?

Only some dumb idiot would let you go...



Only god knows...

Statistik Instan

Jadi ada seorang temanku yang baru lulus dari sebuah universitas ternama di Jakarta Barat. Sebuah institusi pendidikan yang mampu memberikan perbaikan nilai meskipun mahasiswa itu telah lulus sidang, mantap! Buat yang tahu bagus, buat yang tidak tahu biarkan universitas itu menjadi suatu misteri... atau bisa cari tahu sendiri.

Waktu itu baru saja temanku itu lulus dan nafasnya mulai melega, maklum kami ini sekumpulan mahasiswa yang bisa dikategorikan lebih tua daripada 'fossil' di kampus. Setiap ada yang lulus kami semua bergembira bersama.

Langsung saja kita mulai kronologis ceritanya.

A : Aku

B : Sepupu No. 1

C : Sepupu No. 2

D : Oknum yang baru saja lulus.

--------

Di Ibu Kota yang ramai nan padat, kami sedang mengobrol di dalam mobil karena macet yang teramat sangat. Sungguh membuang-buang waktu, walaupun tujuan sekitar situ-situ saja, namun entah mengapa selalu saja macet... meskipun sudah pandai-pandai memilih waktu jalan. Kemudian sebuah percakapan diluar batas kebodohan berlangsung.

B : Ahhhh tai ni! Macet banget, Jakarta Jakarta. (Menyalakan rokoknya)

C : Santai cuy. (Mengepulkan asap rokok)

A : Skut lah, untung gw kaga nyetir. Mampus lo! (Juga mengepulkan asap rokok)

D : Yoi, Jakarta uda macet banget. Parah! Secara 20% penduduk Indonesia disini. (Anak yang satu ini juga ikut-ikutan mengepulkan asap rokok)

B mengerem mendadak, lalu memukul-mukul setir. C tersedak asap rokoknya sendiri. A tertawa terpingkal-pingkal. D hanya bengong.

Kemudian antrian mobil-mobil di belakang mulai tidak sabaran dan membunyikan klakson mereka. Mobil kembali berjalan pelan menikmati macet yang ada, namun pembicaraan belum usai.

B : Bwahahaha, kok lo bisa lulus si! Beli ijasah ye? Ngaku looo!

C : Wakakaka, parah gila itungan lo.

D : Mang nape? Setau gw si gitu.

A : Buset deh, tobat napa lo. Emang penduduk Indonesia ada berapa juta jiwa?

(Sesi pengeroyokan dimulai)

B : Iye, tau kaga lo berapa?

C : Hahaha, no komen dah. Gw anak hukum tapi masalah ngitung kaya gini masa salah, malu-maluin.

D : Berapa si emang?

A : Laaah lo komen di Jakarta 20% orang Indonesia ada disini sumpek-sumpekan. Jangan bilang lo ga tau?

B : Kacaw lo ckckck, untung lo da lulus cuy.

C : Hahahaha, bangsat gw ampe keselek asep rokok gara-gara lo.

D : Ahhh tahik, lebay lo pade, bangsat.

A : Yee serius, tau kaga berapa jumlah penduduknya? Lo inget kaga waktu itu ada anak yang dinamain ama presiden, ternyata dia anak yang lahir menandakan 200 juta jiwa. Gw juga lupa presidennya waktu itu siapa. Inget kaga nyet?

D : Kaga inget gw.

A : Ya uda... lo misal aja ndiri sekarang masih tetep jumlahnya 200 juta jiwa, 20% -nya berapa? Itung ndiri ye.

D : Sekitar 10 juta, eh 20 juta deng. Ehhh... kaga-kaga 40 juta.

A : Emg di JKT skrg berapa org?

D : Ya sgitu, palingan.

A : Sotoy gila, ga nyampe kali. Berlebih-lebihan banget. Kalo di pulau Jawa sgitu percaya deh gw.

D : Yakin lo?

A : Alah alah sumpah ya, untung lo lulus. Kalo ga salah si paling di Jakarta cuma sekitar 22-23 juta jiwa, seinget gw. Tau deh sekarang brp.

Kemudian bertambah satu lagi cerita-cerita konyol diantara kita berempat, sungguh menakjubkan kemungkinan apa yang bisa terjadi kemudian... apabila kita bersama hahahaha. Cheers!

Opera Van Java + Pas Mantab V.S. Cinta Fitri

Alkisah dalam suatu rumah yang terletak di Jakarta Barat. Seorang anak dan ibunya sedang menonton televisi bersama, hal ini dikarenakan televisi yang lain sedang rusak. Sehingga terjadi sebuah kompetisi pergantian saluran televisi dan curi mencuri remote TV.

D : Aku
T : Ibunda tercinta paling cantik sejagad raya.

--------

D : Mam, uda napa nonton sinetronnya, ganti OVJ dong.

T : OVJ jam berapa? Sekarang uda jam berapa? Cinta Fitri lah.

D mengambil remote yang tergeletak di atas kasur, kemudian mengganti ke saluran TV dimana OVJ ditayangkan.

D : Hahahaha, nonton ini aja lucu.

T : Bentar lagi selesai.

D : Yaaaah, abis.

T mengambil alih kembali remote yang tidak digenggam erat oleh D.

T : Udah ah Cinta Fitri aja, ini satu-satunya hiburan Mama tau.

D : Halah... Mama ga liat OVJ tadi, yang menang panas dingin award tuh bukan Tersandung satu, dua ataupun yang ke tujuh puluh tiga. Sinetron juga gitu-gitu aja.

T : Sssst, uda nonton aja. Kalo ga mau keluar.

D menonton dengan berat hati.

D : Ma, kok Farrel-nya bisa jadi suami Mischa?

T : Iya jadi ceritanya Farrel amnesia, terus Mischa ngaku-ngaku jadi istrinya.

D... bengong kemudian menertawai terbahak-bahak adegan sinetron konyol itu.

D : Sumpah, sampah banget ni Film. Tamatin aja napa si! Bangke ni.

T : Sssst, jangan ganggu ya.

D : Tapi ini sampah... Ibundaku tercinta yang paling cantik sejagad raya, Raden Kanjeng Roro. Ngapain si nonton kaya ginian.

T : Uda nikmatin aja.

D tidak bisa menutup mulutnya yang sudah menyala seperti baterai dengan iklan boneka kelinci yang abadi.

D : Ini ngapain lagi Fitri-nya mewek-mewek ga jelas, sampaaaaaaaaah. Mam ganti dulu ya!

D mengambil alih remote TV kembali dan mengganti ke saluran lain.

D : Ini apa? Masih ada OVJ-nya.

T : Itu bukan OVJ, apa ya namanya? Pokoknya ga ada si yang gagap itu. Cuma Parto, Sule ama yang satu lagi.

D : Andre Ma, ex-Stinky.

T : Ya itulah.

Kemudian siaran tersebut berhenti, TV menayangkan iklan.

T : Iya, itu namanya Pas Mantap. Acara ngerjain bintang tamunya.

D : Sepertinya seru, nonton ini aja.

T : Heh! Cek Cinta Fitri dulu.

T Mengambil alih remote kembali, dan mengganti saluran.

D : Halah-halah, ini lagi nenek kok rambutnya merah. Mana kerjaannya ga jelas, sebenernya paling jahat nenek ini tau Ma, oportunis abis hahaha, bukan si Mischa.

T : Sssst, cangkem mu iku lho! Mama arep nonton iki.

D : Ma, cerita bego kaya gini di tonton. Menghambat pertumbuhan otak dan membuat imajinasi jadi sempit. Script-nya juga ga jelas dan ga berkualitas. Fitri juga cuma bisa mewek doang, ga bisa ngapa-ngapain.

T : Sok tau kamu, uwes to diem disik.

D : Ma, yang buat script-nya jelas cupu. Aku kalo buat cerita ga mau kaya gini ah, AMPAS! Udah-udah Pas Mantap!

D kembali mengambil alih remote TV mwahahahaha

D : Yaah, iklan.

Iklan yang ditayangkan adalah suatu iklan dari partai politik tertentu yang intinya adalah tentang perubahan. (Baca: Partai Demokrat, kalau tidak salah. Pokoknya yang Surya Paloh itu, aku juga lupa dan tidak mau mengingat-ingat)

T : Tuh iklannya dengerin. Perubahan nak, kapan kamu mau lulus?

D : Alah mulai lagi deh, santai aja.

T : Perubahan tuh, mulai dari dalam diri. Dengerin iklannya. Potong rambut dulu, biar skripsinya lancar.

D : Ngaruh banget, Ma... motivasi itu berbanding lurus ama kompensasi. Meskipun aku di kelas kerjaannya tidur doang hahahaha.

T : Weh alah kamu di sekolahin mahal-mahal.

D : Uda deh yang penting kan IP-nya, Mama juga nanyain IP doang kan. Santai aja.

T dengan liciknya diam-diam sudah memegang remote TV, D lengah... sial!

T : Ni Cinta Fitri da mulai.

D : Ma, ini uda jelas skenarionya sampah. Masa amnesia bisa ganti istri, yang lain diem aja. Nenek oportunis itu diem aja, ibunya Farrel juga diem aja, Fitri... mewek mulu. Ma, amnesia si boleh tapi, Mama tahukan kalau menikah kita dapet buku nikah. Tinggal tunjukin buku nikah kelar ni masalah, repot amat si! Masa gitu aja ga kepikiran. Super ampas sampah ni sinetron. Mama juga berubah dong, mulai nonton selain sinetron.

T : Mama ini hiburannya cuma ini tau, yang lain paling berita. Masih untung Mama jarang nonton gosip.

D : Yowes, aku ke kamar aja deh baca buku.

--------

Demikianlah pertarungan yang lumayan dahsyat malam itu, seandainya TV di kamarku tidak rusak. Ahhh!

Verbatim Mini Game - Senshuken


I beat Verbatim, piece of cake.
My data monster stat is... (My first one and only, also)

Power : 100
Defence : 42
Speed : 100
Vitality : 44

You can try to play this game for free, just click here.
Perfect to kill time in the midnight. :)

Si Boar

Aku seorang pemuda dengan berat badan 111 kilogram, berumur 15 tahun. Sekolah di salah satu SMP Islam ternama di Jakarta, sebuah institusi dengan mesjid besar yang menjadi kebanggaanya. Kulitku sangat hitam sekali, mataku sipit dan senantiasa memakai kacamata dengan bingkai bentuk lingkaran yang terbuat dari plastik murahan. Hidungku pesek dan besar, ujungnya menekuk ke depan seolah seperti mata ketiga yang berada tepat di tengah wajahku yang tidak pernah dilirik perempuan lain... bahkan semenjak kecil dahulu.

"Oi Bi! Kaga balik lo?"

"Nanti aja, gw mau cari makan dulu. Lagipula gw nunggu Mak gw dateng jemput." Aku menjawab temanku yang masih berbaik hati menyapa diriku yang hina ini.

"Gila lo makan mulu, tadi istirahat pertama uda makan nasi uduk, istirahat kedua mesen nasi padang ckckck... sekarang mau makan ape? dimane?"

"Ah, paling gw nyari makan di depan aja. Sekitar sini, males jalan. Nasi rames warung biasa aja."

"Dasar babi lo, makan mulu kerjaan lo. Ya uds, gw balik duluan ya Bi, ati-ati nyebrang jalannya. Nanti pantat lo yang gede itu lecet kesrempet bis."

"Bawel dah lo. Yo, ati-ati juga lo."

Begitulah teman-teman memanggilku, panggilan dari sebuah binatang yang diharamkan oleh agamaku tercinta ini. Babi, mereka memanggilku dari yang paling haram. Ah... entah kenapa, mungkin memang karmaku ini buruk. Seandainya teman-temanku tahu bahwa babi berkulit pink seperti kulit jambu, sedangkan kulitku hitam. Mereka bodoh, seharusnya mereka memanggilku dengan sebutan babi hutan, atau lebih baik lagi... celeng!

Ah.. aku lupa memperkenalkan diri, namaku Boar. Shio-ku juga babi.

--------

Kriuuuk, kriiuuuk kruuuk. Bunyi perut Boar mengaum. Peluhnya menetes deras, ketiaknya basah. Sembari membawa handuk kecil yang selalu dikaitkan di pundaknya seperti tukang oplet, ia terus berjalan perlahan-lahan menuju warung langganannya yang terletak persis di seberang sekolahnya. Ia sudah hapal dengan posisi tempat makan favoritnya itu, usai sekolah dengan menutup mata niscaya pasti ia bisa sampai dengan selamat... jika bokong besar miliknya itu tidak terhantam bus yang lewat. Hidungnya yang aneh itu pasti dengan setia membimbimnya menuju aroma harus tumisan bawang dari warung itu. Bau yang menyerbak keluar, mengalahkan seluruh polusi ibukota. Bau yang mengundang rasa lapar manusia-manusia rakus.

"Bu! Biasa ya, porsi usai belajar ni Bu. Jangan pake lama ya!" Boar memerintah ibu pemilik warung tersebut, seolah ia adalah tuan besar pemilik warung itu.

"Ini Aden, porsi biasa. ayam 2, telor 2, tempe 4, tahu 3 dan nasi tambahannya Ibu pisah di piring lain." Ibu pemilik warung itu tersenyum melayani salah satu pelanggan setianya, murid dengan penyumbang dana terbesar kepada warung kaki limanya itu.

"Mantap! Makasih ya Bu."

Boar kemudian berdoa sebentar, untunglah ia tidak lupa dengan Tuhan. Kemudian melahap seluruh hidangan itu, seperti seorang yang sedang tenggelam dan kehabisan nafas di laut lepas. Mulutnya meraup semua, belum habis menguyah tanpa menelan... sudah masuk lagi suapan baru. Begitu terus, tidak sampai 5 menit semuanya ludas habis.

--------

"Haduh Boar! Mama pusing 7 keliling tau nyariin kamu tadi di dalam sekolah, taunya kamu disini. Uda selesai makannya? Yuk pulang."

"Iya Ma, bentar lagi. Ngambil nafas dulu, 5 menit ok!" Boar memerintah Mamanya seperti ibu pemilik warung itu.

"Ya uda Mama tunggu di halte ya, cepetan. Kalo kelamaan nanti masuk jam padet, bisnya penuh sesak, Mama ga betah."

"Iya Mama."

Begitulah hidup Boar, seorang bocah satu-satunya. Boar tidak seperti murid lain yang berasal dari keluarga mampu. Sayangnya pergaulan di sekolah ternama itu pelan-pelan menggerus sifat aslinya.

Akhirnya Boar melangkahkan kaki keluar dari warung itu menuju halte. Mengunjungi sang Mama yang sudah tidak sabar ingin pulang bersama anaknya.

Setelah 15 menit menunggu, bis itu datang. Boar dan Mamanya duduk di kursi kedua dari depan sebelah kanan, bukan di belakang supir. Perjalanan masih cukup jauh untuk mereka berdua, untungnya mereka tidak perlu ganti-ganti angkutan karena rumah mereka terletak di sebelah pool bis jurusan itu. Sembari membunuh waktu, mereka berdua mengobrol.

"Bu, kenapa aku dinamakan Boar?"

"Ah, itu memang Papamu yang memberi nama. Nanti tanya Papa aja kalau ada waktu berduaan."

"Yaaah, Mama... payah ni. Mama dulu kenapa bisa datang ke Jakarta?"

"Yah, waktu itu Mama dan Papa saling mencintai. Melihat di desa tidak ada peluang untuk menjadi kaya, akhirnya Mama dan Papa meminta ijin kepada Kakek Nenek untuk segara menikah dan menggadaikan nasib di ibukota. Ya sekarang begini lah, lumayan kan? Kamu kalo makan hemat makanya, nyari duit tuh susah!"

"Iya Ma, tapi kok Papa bisa berhasil? Setauku, Papa kan cuma lulusan SMA ga jelas di desa terpencil."

"Papa itu orangnya hebat, mau bekerja keras. Kalau tidak pernah menyerah, pasti Allah memberikan jalan."

"Hahaha, amin. Papa dulu pertama kali gimana bisa kerja seperti sekarang?"

"Papamu dulu ya Boar, pertama kali kita datang ke Jakarta... Papa dan Mama ga punya sama sekali kenalan. Papa dan Mama sempat jadi gembel, menginap di halte-halte dan lorong jembatan. Papa hanya kerja menjadi pencuci piring, Mama kerja lepas untuk membantu para pekerja rumah tangga mencuci baju, rasanya seperti diperbudak oleh jongos."

"Lalu kok bisa seperti ini?"

"Meskipun Papa cuma lulusan 'eS-eM-eA' desa terpencil seperti yang kamu bilang itu, Papa orangnya ulet, rajin dan selalu merencanakan langkah ke depan. Oleh karena itu Mama percaya ketika dilamar dulu."

"Jawaban Mama ga nyambung ni! Aku nanya gimana proses jenjang karir Papa dulu."

"Hahaha gayamu Nak, proses jenjang karir, sudah seperti orang dewasa saja cara berbicaramu itu. Gini Boar anakku satu-satunya yang tersayang, Papa dan Mama kerja jauh lebih hina daripada para pembokat dan jauh lebih keras dibandingkan tukang sapu jalan. Tapi waktu itu, mungkin nasib baik... Papa sedang makan di warung nasi favoritnya, di bawah jembatan. Saat itu Papa bertemu dengan seorang pemilik peternakan, aneh memang seorang pengusaha kok mau makan di tempat seperti itu. Lalu Papa bercakap-cakap, setelah itu ternyata seperti dapet durian runtuh Boar. Papa ditawari untuk kerja dengan Om Bono. Lalu Papa kerja lebih keras lagi, lebih rajin lagi, lebih ulet lagi. Semuanya untuk Mama yang waktu itu tepat sedang mengandung kamu. Makin lama Om Bono melihat Papa kerja, Om Bono menyukainya dan sekarang sudah jadi kepala cabang salah satu peternakan. Alhamdulillah. Gitu ceritanya..."

Groook, grooook, grok... groooook. Bunyi ngorok Boar yang ketiduran mendengar cerita Mamanya.

"Hey Boar! Bangun! Kita sudah sampai Nak." Mama membangunkan Boar yang terlelap dibuai goyangan liar bis itu.

--------

Masih di hari yang sama, waktu menjelang Maghrib.

"Ma, aku pergi ke masjid dulu ya. Solat di sana aja sekalian ngajar anak-anak ngaji nanti. Walaupun duitnya kecil tapi lumayan lah."

"Ya Pa, ati-ati."

"Itu Boar nanti solat bareng Mama ya, berjamaah. Biar dia jadi imam."

"Ok! Selesai ngajar langsung balik ya Pa, cepet ga usah pake nangkring-nangkring dimana dulu. Aku uda mau mulai masak dagingnya ni untuk makan malam nanti." Mama kembali menuntut lebih banyak kepada suaminya.

"Iya Ma hehehehe, Assalamualaikum."

"Walaikumsalam."

--------

Tibalah waktu makan malam, sekeluarga itu berkumpul di meja makan yang kecil. Sebuah ruang yang disatukan dengan dapur. Hidup di Jakarta memang sulit, namun selama masih ada atap dan makanan, serta semangat mereka tidak pernah padam... niscaya Tuhan pasti memberikan jalan.

"Selamat makan Ma, selamat makan Pa." Boar dengan sopan memulai makan

"Boar, jangan lupa berdoa dulu!" Mama mengingatkan.

"Iya berdoa dulu Boar, ini rejeki kita untuk hari ini." Papa ikut menimpali.

"Udah kok tadi. Ini dagingnya tebel banget, setiap hari dapet jatah dari peternakan. Enyak enyak eeeenyaaak." Boar melahap daging itu, membantai serat lemak itu dengan gigi-gigi kuatnya. Mengusap buas daging itu dengan lidahnya.

"Hahaha, siapa dulu dong. Papa! Enak?" Papa bertanya dengan penuh rasa bangga atas pencapaian usahanya selama ini.

"Enak Pa! Makanya aku bisa gendut kaya gini."

"Kamu harus rajin olah raga Boar, biar sehat dan dapet pacar." Mama kembali memberi wejangan yang selalu keluar setiap hari.

"Aku terlalu sibuk belajar Ma, otakku lebih butuh energi protein daripada dikuras jadi keringet. Besok ada ujian lagi, aku abis ini mau belajar." Boar kembali melawan orang tuanya sembari melawan daging-daging yang melompat di dinding mulutnya.

Makan malam selalu ramai, keluarga itu berkumpul dengan bahagianya. Sungguh keluarga kecil yang indah, membuat iri para tetangganya.

--------

Malam terus berlalu, sepi. Hanya bunyi detik jam yang menemani Boar belajar. Sampai tiba-tiba semuanya gelap gulita.

"Bangsat! Dasar PLN, licik bener si memadamkan listrik disaat orang-orang tidur. Besok ujian, belajar belom kelar. Haduh..." Boar mengeluh kepada dirinya sendiri. Seandainya bayangan bisa berbicara, pasti bayangan itu menjawab dengan tertawa cekikikan.

Boar berjalan keluar kamarnya yang kecil, menuju kamar mandi di belakang. Melalui lorong sempit, Boar melihat ada sebuah cahaya dari kamar orang tuanya. Boar heran, mengapa jam segini Papa dan Mamanya belum tidur. Boar pun membuka pintu kamar orang tuanya dan melihat Mamanya sedang di depan nyala api lilin.

"Ma, ngapain si di depan lilin kaya gitu."

"Gelap Boar, Mama takut. Kamu tau kan kalo Mama takut gelap."

"Ya tapi ga usah di depannya persis gitu, di jagain segala. Papa kemana?"

"Tadi pas mati lampu, Papa keluar cari angin. Suntuk katanya gelap-gelap di rumah."

"Ooohhh."

Keheningan malam pecah, seorang hansip teriak-teriak membawa obor. "Ada babi ngepet! Ada babi ngepet" Angin berhembus kencang, menembus dengan ganas melewati ventilasi kecil rumah bobrok milik boar.

"Nak, ada apa itu ribut-ribut diluar. Sana cepat cek! Anginnya besar banget lagi, lilinnya jadi goyang-goyang." Mama memerintah Boar.

"Siap!"

Boar berlari menuju pintu depan rumah, lewat jendela ia melihat kumpulan cahaya dari obor. Ratusan jumlahnya. Tepat berada di depan rumahnya. Boar membuka pintu, alangkah terkejut dirinya melihat seekor babi hitam besar berada di halaman rumahnya.

Boar menatap mata babi itu, babi itu dengan sinis melihatnya. Sedetik kemudian, puff! Babi itu sudah menyublim, berubah menjadi asap hitam dan terbang. Angin malam menculik babi ngepet itu.

"Boarrrr! Lilinnya mati ni, tolong ambilin korek api di dapur."

Boar kembali kaget, teriakan sang Mama meminta tolong mengejutkan dirinya yang beku melihat peristiwa gaib tersebut.

"Yaaa Ma."

Boar berlari ke arah dapur, mengobrak-abrik laci mencari korek api. Keringat dingin mengucur dengan deras jatuh dari keningnya, merambat pipinya, meluncur di lehernya yang pendek penuh lemak.

Pok! Seseorang menepuk pundak Boar, jantungnya berhenti sesaat.

"Hey, jangan kaget gitu. Ini Papa."

"Oooh Papa, aku kira sapa. Papa tadi bukannya keluar, kata Mama gitu."

"Iya tadi keluar, trus ada kerusuhan. Ada yg liat babi ngepet. Pas di depan rumah taunya pintu blom ditutup, kamu ya yang lupa nutup?"

"Ah.. Masa?" Boar kembali dipenuhi rasa heran, ia ingat betul bahwa tadi ia menutup pintu karena takut oleh pandangan sinis babi ngepet hitam yang baru saja berkunjung ke rumahnya.

"Uda sana, ambil lilin lagi buat kamu belajar. Papa aja yang nyari korek sekalian buat Mama juga."

Namun sangat disayangkan, detik berikutnya arus listrik kembali mengalir. Memberi makan segala perangkat elektronik milik para penghuni. Untunglah.

--------

Hari terus berlanjut, waktu makan malam yang sama. Boar kali ini memulai pembicaraan.

"Papa, enak banget ya kerja di peternakan. Setiap hari aku bisa makan daging tebel-tebel gini. Kayak steik, temen-temen di sekolah juga belom tentu setiap hari makan steik. Hahahaha. Pa, kenapa aku diberi nama Boar?"

Uhukkk uhukkk, mama tersedak makanannya. Buru-buru, Mama meminum air putih yang ada dan memilih untuk mengunci pintu mulutnya rapat-rapat. Papa menghela nafas kemudian diam saja, baru setelah beberapa puluh detik berikutnya mulai menjawab.

"Kamu benar-benar ingin tahu?"

"Ya lah, masa aku ga tau arti namaku sendiri."

"Ya uda nanti setelah makan Papa tunggu di beranda depan. Nanti Papa kasih tau."

"Kenapa ga sekarang aja si? Ribet deh."

"Udah, kamu nurut aja."

--------

Di sebuah beranda, rumah kecil bahagia milik sebuah keluarga.

"Pa, jadi apa artinya namaku?"

"Boar, beneran kamu pingin tau?"

"Iya Pa!"

"Tapi jangan marah ya kalau nanti sudah tau artinya. Janji?" Papa mengajukan sebuah syarat negosiasi, sementara tangan kanannya masih sibuk memegang tasbih dan berdzikir dalam hati.

"Iya aku janji."

"Boar itu... artinya babi."

"Haaaah!"

"Boar dari bahasa barat, dulu kan lagi ngetop-ngetopnya orang namain anaknya pake bahasa Inggris. Papa pilih Boar deh, waktu itu Papa salah liat artinya pas baca di kamus. Pas Papa sadar terus mau Papa ubah... sudah terlanjur jadi akte kelahirannya. Waktu itu duit Papa juga masih pas-pasan. Maaf ya, tapi keren kan?"

"Ahhhhh..." Boar hanya bisa mengeluh kemudian melanjutkan obrolan ayah dan anak itu.

"Pa, semalem ada babi ngepet. Tau ga?"

"Ah, musyrik itu. Orang sini kan kebanyakan percaya hal-hal berbau mistis."

"Tapi aku beneran liat Pa, kemaren ada nangkring di halaman. Aku aja ampe takut."

"Udah Boar tenang aja. Sana ambilkan rokok Papa, tadi ketinggalan di meja makan." Papa kemudian memerintah Boar seperti babi.

--------

Boar masuk kembali ke rumah, menuju arah dapur. Melewati kamar kedua orang tuanya. Pintu kamar itu tidak tertutup rapat, sepercik cahaya oranye keluar dari kamar itu. Boar mengintip. Ia melihat Mama sedang menyalakan lilin.

"Ma! Ngapain si? Kok nyalain lilin lagi?"

"Dingin Boar, semalam aja Mama hampir masuk angin."

"Ooooh ya udah. Terus itu bunga-bunganya buat apa?"

"Ini namanya aroma therapy, biar harum dan makin romantis ama Papa."

"Ckckck, dasar! Boar ga mau punya adek. Udah ah." Boar kembali pergi mengambil rokok Papa yang tertinggal di meja makan tanpa rasa curiga sama sekali.

--------

Boar langsung bergegas kembali melangkahkan kakinya yang besar itu, setiap langkah rasanya bumi bergetar. Rumah kecil itu bisa rubuh sewaktu-waktu, tikus-tikus di atas berdecit ketakutan. Akhirnya Boar memenuhi permintaan Papanya dan kembali duduk melanjutkan obrolan intim antara ayah dan anak.

"Nahh gitu dong, bagus Boar. Anak yang baik."

"Boar akan selalu jadi anak yang baik asalkan bisa makan steik setiap hari."

"Hahaha, emang enak ya dagingnya. Papa beruntung dapet Bos baik. Om Bono udah terkenal si dengan usahanya yang sukses dan selalu mencari pegawai dari orang yang kurang mampu. Papa merasa tertolong olehnya."

"Hahaha, Papa beruntung. Memang Allah Maha Baik, memberi jalan bagi Papa yang tidak mudah menyerah."

"Iya dong, siapa dulu dong! Papa!" Lagi-lagi sang ayah mengeluarkan kalimat andalannya itu.

"Pa, emang kerja jadi pemimpin cabang peternakan enak ya? Bisa dapet jatah daging lagi setiap hari."

"Enak dong, memangnya kamu bisa sehat, gemuk dan gempal seperti ini apalagi kalo bukan karena daging jatah itu. Kebijakan perusahaan memang kayak gitu, Om Bono punya perintah agar setiap pegawainya bisa makan setiap hari."

"Wow keren! Tapi Pa, emangnya setiap hari Papa ngapain?"

"Papa kan guru ngaji di desa, gimana si?"

"Serius Pa! Di peternakan itu Papa ngapain?"

"Hahaha, santai Boar. Papa cuma bercanda. Kerja Papa ngawasin para pegawai biar ngasih makan ternaknya teratur dan sesuai jadwal. Sama inspeksi kalo ada ternak yang sakit. Hasilnya daging-daging tebel itu, yang setiap hari kamu makan."

"Papa juga keren! Emang peternakan apa si Pa?"

"Errr..." Putaran tasbih Papa terhenti.

"Pa? Pertenakan APA?"

"Peternakan Babi, Nak. Sudah anggap saja itu rejeki dan jalan yang diberikan Allah."

Boar kehabisan kata-kata, sementara Papa masih saja mengepulkan asapnya sambil menggenggam tasbih di tangannya yang lain. Boar masih tersentak, shock.

"Hey! Udah jangan bengong gt. Sana masuk terus belajar. Haduh... Jakarta panas banget ya." Papa kembali memerintah sembari mengeluh.

Ketika itu juga, Boar tersadar... mengapa tadi Mama menyalakan lilin? Boar tetap memilih untuk diam saja dan pura-pura tidak tahu. Untunglah Boar selalu berdoa sebelum makan dan sebelum tidur.


Catatan: Ditulis untuk memenuhi Janji Jumat 8 April 2010 dengan tema “Seorang anak baru saja mengetahui bahwa selama ini pekerjaan ayahnya bukan pekerjaan yang halal,” maaf sangat telat... jangan salahkan aku! Salahkan saja professor yang membimbing skripsiku sehingga aku stress dan malas menulis karena skripsi mandek. Zzz...

Ah... Ah, AH!

Melihat yang lain,
Baru sebentar rasanya...

Penasaran,
Ingin tahu,
Berusaha mencicipi

Setelah beberapa saat...
Sudah sangat membosankan

TIDAK MENARIK!

Lalu teringat kembali akan paras wajahmu

Dan...

Segala pandangan penuh pujaan palsu yang aku berikan
Semua belaian penuh kasih tanpa pengorbanan

Merasa kehilangan,
Ketika sendiri
Mencium jenuh,
Ketika berdua

Tetapi,
Tetap saja...

Aku di sini, berdiri di sampingmu
Menggenggam erat tanganmu
Berjalan dengan dirimu menuju...

--- Suatu yang tak pasti ---

Ah!

Ah... ah...
Ah, ah,
Ah... ah...
Ah, ah

AH!



Tidak ada yang lain lagi.

Balasan Untuknya

Hei dimanakah engkau?
Wahai cintaku yang telah hilang
Aku pergi menjelajahi seluruh pelosok dunia
Hanya untuk mencari yang telah hilang

Suatu malam dalam pengembaraanku
Aku bermimpi… melihatmu, berada di suatu pulau
Kau singgah disana, bernyanyi dan menari
Tertawa sembari dikelilingi batu berharga
Kulihat bayangan paras wajahmu melalui pantulan intan permata
Namun tetap saja… ada sesuatu yang telah hilang

Apabila rasa lelah mulai menghampiri
Dan rasa bosan mulai datang menemani
Maka seiring dengan berjalannya waktu
Kembalilah pulang kesini

Akan kuperintahkan bintang
Untuk menunjukkan kilaunya kepadamu
Sebagai panduan arah jalan pulang

Akan kupertintahkan angin
Untuk meminjamkan tenaganya kepadamu
Agar ia senantiasa meniupkan layarmu selebar-lebarnya

Akan kuperintahkan awan
Untuk memberikan perlindungan kepadamu
Sehingga sinar matahari tak dapat melukaimu nanti

Dan yang terakhir…
Akan kuperintahkan arus ombak laut
Selama-lamanya bergerak dengan cepat dan pasti
Untuk membawa surat botol ini kedalam pangkuan hangatmu

Cepatlah pulang…



Karena aku akan setia menunggumu disini.

Catatan : Akhirnya ini yang terakhir. Masih banyak tercecer, besok-besok lanjut lagi. Saatnya dikumpulkan dalam satu tempat saja.

Mimpi Aneh

Suatu hari, aku bermimpi dalam tidurku. Dalam mimpi itu terdapat 2 ruangan yang hanya dibatasi oleh satu pintu, aku melihat seseorang (raut mukanya tidak terlihat dengan jelas) sedang duduk di sudut suatu ruangan yang gelap, lembab. Lalu aku melihat di sisi depan ruangan itu, terdapat pintu, dari sela-selanya keluar cahaya yang memancar dengan lembut, penuh kehangatan.

Pada saat itu dia terlihat hanya memeluk lututnya, memandang terus ke arah pintu tersebut dengan penuh rasa penasaran. Anehnya adalah, aku dapat mendengar apa yang sedang dia pikirkan saat itu.

“Hey, apakah kamu tidak penasaran dengan apa yang ada di balik pintu itu?” bilang pikirannya terhadap dia dalam mimpi itu. Namun yang kulihat adalah, meskipun dia terlihat sendiri dan kesepian, tetapi di dalam ruangan itu dia merasakan kenyamanan yang luar biasa, kedamaian tanpa akhir, sepertinya dia bisa bersantai tanpa beban. Seperti janin yang berada di dalam rahim, hanya tertidur dengan pulasnya, tak memikirkan segala hal yang ada di dunia luar hingga tiba saatnya dilahirkan.

“Ayolah, apakah kamu tidak berani mencoba untuk melihat apa yang ada di balik pintu itu?” bujuk pikirannya. Lalu aku melihat, dia tersenyum kecil, entah apa maksud di balik senyumannya itu. Kemudian aku melihat dia mulai tergoda dengan bujuk pikirannya itu. Aku melihat dia melepas pelukannya terhadap lututnya. Mulai mencoba untuk berdiri, perlahan-lahan mulai berjalan mendekati pintu misterius itu.

“Cepat buka! Kamu ingin lihat kan? Aku sudah tidak sabar ni!” pinta pikirannya. Setelah itu aku melihat dia mencoba mengetuk pintu itu, setelah beberapa saat, tetap tidak ada jawaban. Dia mencoba untuk membuka pintu itu. Namun terkunci. Tak bergeming.

“Kita dobrak saja! Kamu pasti bisa! Kamu kuat! Ayo berusaha!” paksa pikirannya. Kemudian, aku melihat dia mulai mendobrak pintu itu, dengan bahu, dengan tendangan, terus berulang-ulang melakukan kegiatan itu dengan segenap tenaga. Akhirnya terdengar bunyi patahan. Pintu itu akhirnya roboh, engselnya rusak parah, tak ada harapan untuk membuat pintu itu dapat berfungsi kembali.

Dia mulai memasuki ruangan itu, aku melihat apa yang dia lihat. Ruangan itu sangat terang, seperti setiap sisi tembok ruangan itu di dalamnya terdapat ribuan bintang yang bersinar. Bahkan bayangannya hampir tak memiliki harapan untuk menemaninya dalam ruangan itu.

Sinar dari ruangan itu, mulai memenuhi ruangan yang lain, ruangan yang gelap itu perlahan-lahan mulai terisi dengan cahaya. Lalu aku melihat dia dengan kagum memandang seluruh ruangan penuh cahaya itu. Perlahan-lahan, dia mulai mendekati salah satu sudut ruangan itu. Menyentuh hangatnya tembok ruangan itu. Kemudian dia mulai duduk, kembali memeluk lututnya. Memejamkan matanya.

Setelah beberapa saat, dia kembali membuka matanya, aku melihat dia mulai termenung, sinar matanya mulai memancarkan kesedihan yang mendalam. Lalu aku mendengar dia berkata, “Aku tidak menemukan kedamaian dalam ruangan ini, pikiranku yang bodoh telah mengajakku ke tempat terkutuk ini.”

Kemudian dia berlari, menuju ruangan yang satunya. Namun sayangnya, ruangan itu sudah tak seperti sedia kala. Ruangan itu telah dipenuhi oleh sinar. Kulihat dia bingung, memutar pandangannya ke seluruh ruangan. Akhirnya, dia mendekati pintu itu. Mencoba mengangkatnya, namun dia tak mampu. Lalu aku mendengar dalam batinnya “Kalau aku tidak menuruti pikiranku yang dipenuhi nafsu, mungkin aku akan tetap bersantai dalam ruangan gelap itu.”

Akhirnya, dia menghela nafas panjangnya. Dalam kondisi sedih, putus asa, tanpa harapan. Dia menyesal. Mulai memukul pintu itu, mulai menampar dirinya sendiri, namun tak ada air mata yang menetes. Aku melihat dari atas, hanya mencoba ikut merasakan kesedihan yang dia hadapi.

Setelah itu, dia berteriak dengan keras, melihat ke atap ruangan, memaki kebodohannya sendiri. Aku begitu kaget! Karena pada saat itu yang kulihat adalah raut wajahku sendiri.

Kemudian aku terbangun dari mimpiku.
Bertanya-tanya tentang apa arti dari semua ini pada diriku sendiri?

Catatan: Cerita lama juga.

Memoir

Through your glasses…
I look deep into your dark brown eyes
And I see a reflection of “little me” in you
It seems you have captured my soul inside you

Even Angelo’s masterpiece is nothing compared to you
Like a statue full of beauty that made from clay
So hard from the outside, but soft and tender inside it
But still... that look is as sweet as brown sugar

You set torch to my mind
Bringing this fiery flame inside me to live again
Burn, burn, burn, burn, and burn to adore you
Yes you’re admirable one, more than phoenix itself

Bless you, for all the kindness you give to me
For nothing but a pure joy of my heart, I can only ask none

To see you close…
Is never enough for me

Possessed, tempted by desire, and full of passion
I’ve been trapped to you

The more I try to evade…
The more you give me direct hit from your touch

Confused by all of your surrounding
And become fragile (the more you try to touch, the more it will crack)

Yet you remain calm forever to observe...



An eternally innocent to this world.

Note : Again this one also dusty.

Sang Penyelamat

Hey bintang, dimanakah engkau?
Undanglah aku untuk menikmati cahayamu
Meskipun kau bersinar terang di malam hari
Namun siapa yang peduli denganmu di siang hari?

Begitu besar…
Begitu indah…
Begitu hangat…
Begitu menenangkan…

Kau sendirian diluar sana, dikelilingi kehampaan
Aku sendirian disini, dikelilingi kegelapan

Apakah kita berjodoh?
Atau aku hanya mengagumi sinarmu yang tanpa batas?

Membara, membara, dan teruslah membara
Kilau sinarmu akan terus kukagumi sampai mata ini tertutup selamanya
Meskipun aku tak dapat memelukmu
Namun aku pasti akan setia melihatmu setiap malam

Tidak ada benda yang sempurna
Namun engkau… bola api cahaya yang terus bersinar
Siapa yang tak menginginkannya?

Kalau aku Tuhan
Aku menciptakan dirimu tak terhingga jumlahnya
Untuk menerangi kerajaanku di semesta ini
Untuk memandu semua ciptaan-Ku

Mungkin Prometheus benar
Kita tanpa percikan darimu…
Takkan bisa hidup sampai sekarang
Mungkin kita akan terus dikelilingi es abadi

Janganlah kau pergi meninggalkan kami
Janganlah kau mati sebelum kami musnah
Karena tanpamu…



Tidak ada kami.

Catatan : Mulai capek memindahkan tulisan lama ke blog ini.

One or Two

I open my eyes
And see you in front of me

I smile…
And you smile back

I try to give my hands… to touch you
And you try to reach mine

But never…
Our fingers met

I stand here
And you still there waiting

I try to understand you
And you try to solve me

Yet our eyes look the same
Mine is as black as yours

Yet our hairs look the same
Mine is as black as yours

Then who are you?
Are you the real one? Or am I the one?

Then who am I?
Am I just a shadow? Or are you just a reflection?

I gazed in your eyes…
For so long, long, long, long time…
Look, look, look, and keep looking…
It’s so deep that can eat away my soul…

Hey you…
The one behind the mirror
Please be true… to fill this hollow inside
Can we become one even separated in different dimension?

Note: Reminiscing my-newly-found old writings.

Siksaan Topeng

Malam ini, hawa begitu panas, bajuku basah penuh dengan peluh. Sebungkus rokok telah habis namun aku tetap terus berpikir, terus melayang dalam duniaku sendiri (tak mampu berhenti di satu titik, dan terus terhampar jauh).

Manusia, ada yang bilang mahluk sosial namun ada juga yang bilang mahluk paling egois yang mementingkan dirinya sendiri. Ya, memang keduanya benar. Manusia butuh bercinta namun manusia lebih butuh makan.

Mungkin ini memang sudah jalan dari alam, bunda bumi sang penyedia kehidupan. Namun apakah ini kutukan kita, sebagai mahluk yang paling sempurna namun juga sebagai mahluk paling cacat? Yah... aku hanya sedang mencari jalanku sendiri. Egois, ya? Namun yang aku cari adalah pembebasan dari ego yang sudah berakar dalam tubuh dan jiwa ini. Agar aku bisa lepas dari samsara sialan ini.

Hmm… mungkin aku bisa melihat dunia ini dari berbagai macam sisi, namun aku tak bisa menjelaskan kepada mereka agar mau mengerti. Anugrah kah? Bakat ini tak berguna apabila hanya bisa digunakan olehku sendiri. Apa daya kekuatan dari seorang manusia jelata ini untuk merubah dunia? Hanya mimpi, khayalan, dan imajinasi yang ia punya.

Yah... ego juga bisa dianggap sebagai perisai pelindung seorang hamba. Sebagai topeng penutup aib. Selayaknya kita semua adalah pemain sandiwara. Aktor kehidupan yang berulang-ulang. Terkadang seseorang memiliki satu topeng, lainnya memiliki 2 topeng atau lebih. Namun yang tidak memiliki topeng, tak boleh ikut pentas drama ini! Beberapa begitu menghayati apa yang dipakainya, sampai-sampai ia bingung yang mana sebenarnya topeng yang asli. Lainnya hanya acuh dan terus bermain (tanpa mempedulikan scenario dan hanya menunggu upah yang diberikan sesudah acara selesai). Ada yang sibuk merawat topengnya, ada juga yang sekali pakai langsung buang dan buat topeng yang baru atau membelinya. Itu jalan hidup mereka masing-masing, aku tak peduli, bersikap terus acuh namun masih tetap mengamati dari kejauhan (inipun salah satu sifat egoisku). Aku sendiri sedang mencoba berperan memakai topeng “Tuhan” dan bertempur melawan ruh yang dipenjara dalam daging dusta ini.

Hidup ini penuh dengan misteri.. aku hanya bisa duduk disini sendiri, mencoba menggenggam semesta ini dalam khayalanku yang tiada habisnya.

Semoga aku dapat tersadar, dan kembali melihat diriku sendiri, dalam matamu…

Catatan : Masih banyak lagi.

Hidup

Orang bilang hidup itu berharga …
Yang lain bilang hidup itu adalah siksaan

Orang bilang hidup itu pilihan …
Yang lain bilang hidup itu adalah takdir

Bagai batu yang terus menggelinding jatuh
Di sebuah lembah tanpa dasar

Atau bagai api yang terus membara
Meskipun berada di atas es

Sang mentari akan setia menemani kita
Dan bulan akan selalu mendampingi mereka
Para awan dan bintang akan senantiasa melindungi
Namun apakah semua bertahan selamanya?

Hidup ini hanyalah sebuah mimpi yang tak kunjung usai
Setiap hari terus berulang kembali…
Lagi dan lagi dan lagi dan lagi dan lagi dan lagi…
Hingga dunia berhenti ini berputar

Hidup berlalu hanya sekejap mata
Tak lebih & tak kurang
Tak sempurna tapi tak cacat

Pada akhirnya, jika mimpi itu berhenti terulang
Yang akan kita temukan hanyalah tetap tertidur…



Tetap dalam kegelapan yang pekat

Catatan: Sudah usang juga tulisan ini.

Keheningan Sesaat

Aku yang hidup layaknya binatang, semua memanggilku seraya berseru “Hey bajingan!” dan aku hanya tetap diam menerima semuanya. Malam ini begitu sunyi, siulan angin pun tak terdengar, bintang-bintang bersembunyi, bulan pun tak mau bersinar. Aku hanya duduk dan berpikir, sedang apa yang aku lakukan sekarang? Apa yang telah aku perbuat dahulu kala? Bagaimana nasibku di masa yang akan datang?

Hati ini terasa pedih, mahluk nista ini untungnya masih memiliki hati. Akhir-akhir ini aku hanya berfoya-foya, menghilangkan kesadaran diri, demi mencapai pencerahan hidup yang belum juga aku dapat. Mungkin ini karmaku, karena aku telah berbuat seenaknya, namun aku tak menyesal. Semua itu ada jalannya…

Wanita itu telah pergi, dan aku tak bisa berbuat apa-apa. Tetap hanya disini, duduk sendiri. Kesadaranku mulai hilang, dan aku mulai melihat ilusi yang tak kunjung habis. Yang lucu adalah, demi mengutarakan semua ini, aku harus menghilangkan kesadaranku, demi berkata jujur dari hati yang terdalam.

Hanya ini yang aku bisa lakukan sekarang. Menunggu dan berharap terus-menerus, sambil menyusun kata-kata yang tak menentu namun mencerminkan hati yang hitam ini. Dunia terus berputar, namun terkadang seseorang berhenti berjalan dan melihat ke belakang. Ironisnya, beberapa orang… setelah melihat kebelakang, mereka lupa untuk kembali melihat ke depan dan berjalan kembali.

Sebagian dari diriku telah hilang, namun kenangan ini tak mau kulepas. Dia yang bagaikan sebuah potongan puzzle yang terakhir, mengisi hati ini dengan penuh, akhirnya jatuh terlepas dan kemudian hilang entah kemana. Akhirnya, aku tak bisa menjadi utuh… kecuali memulai dari nol, menjadi gambar baru.

Nafas ini terasa sangat berat, aku menjadi manusia yang rusak, mata ini sekarang hanya memancarkan sinar kesedihan. Aku telah memilih jalan yang berbeda, dimana orang berbondong-bondong melewati kanan, aku dengan susah payah menempuh kiri dan dicemooh oleh yang lain. Aku telah hidup dengan berdosa, karena dosa membuatku kuat. Dosa-dosaku yang telah membuat aku merasa menjadi manusia. Aku terima segala resiko dan konsekuensi karena telah memilih jalur ini. Aku tak percaya tuhan, malaikat, agama, akhirat… (aku tak peduli orang mau berpikir apa) setidaknya aku peduli dengan cinta dan kemanusiaan.

Catatan: Sumber lawas.

Keseimbangan

Kiri dan kanan, keduanya saling melengkapi
Namun keduanya saling mencoba untuk mendahului

Siang dan malam, keduanya saling memenuhi
Namun keduanya tak dapat bersama

Aku disini, duduk menyendiri…
Ditemani kobaran api dan kabut penuh ilusi

Aku sendiri, termenung dan berpikir...
Tentang masa lalu

Mengingat peristiwa-peristiwa dahulu kala
Belajar dari kesalahan-kesalahan
Jatuh dan kembali bangun
Luka kemudian sembuh

Hitam dan putih, keduanya adalah berbeda
Namun keduanya sebenarnya adalah sama

Benar dan salah, keduanya adalah jalan yang tak pasti
Namun keduanya memberikan yang sama

Aku disini, duduk menyendiri...
Ditemani kobaran api, dan kabut penuh ilusi

Aku sendiri, termenung dan berpikir…
Tentang masa depan

Mengkhayalkan apa yang akan terjadi
Mencoba mendapatkan yang terbaik
Bahagia sampai akhir hayat
Tertawa sampai akhir jaman

Kedua sisi tak dapat bersatu
Namun kita tak dapat memilih salah satu

Keduanya saling bertolak belakang
Namun keduanya membentuk lingkaran yang sempurna

Aku disini, duduk menyendiri…
Ditemani kobaran api, dan kabut penuh ilusi

Aku sendiri, termenung dan berpikir…



Menunggu panggilan itu selamanya.

Catatan: Masih sama, tulisan lawas.

Bitter Night

This night, I shall confess
All of my deepest feeling
Through this unbearable pain
That already broken my soul… and my hope

Make me bleed, whips me with lust
This soul wretched, this mind is in ecstasy!
Chain me, lock me in this damp rotten room forever
Cause I’m your prisoner of love

Tortures me all you can
Toys me all you want
Make me as your pet then abandon me
Give me the all of my punishments

To see your cruelest smiles…
That is far more beautiful than aphrodite’s!

The shine of your eyes…
More radiant than falling star!

Thy should mourn, thou should feast
In this world nothing is eternal...
Except changes and this persistent feelings

Shut your eyes and hold your breath
Go to sleep and have your dreams

I will sit beside you…
Watching and guarding you all night long…

Please oh please…
Don’t leave me…

Even though I’m just a little stone… that can be moved by single ant
Just hold me up from the ground, and make me as your charm

Starlight extinction…
Galaxy explosion…
Supernova comes BLACK HOLES!
None you will care…

I just need my mate
I want my sweetest taboo
Ultimate never ending happiness that can be mine...



Is with you...
My love

Note: This one also my old writing, bad! Source can be found here.

Manusia & Kotak Mayat

Sepasang manusia saling berpelukan
Cahaya pelangi menerangi ruang remang

Apakah arti hidup?
Mungkin hidup hanyalah...
Satu-satunya yang kita miliki

Berjoget dan bergembiralah!
Namun hati tetap tersiksa

Hidup tanpa udara…
Sama seperti patung yang tak terpahat
Kiamat pun, tak dapat merubahnya

Dentuman musik yang keras
Menggetarkan jiwa dan hati ini

Namun apa daya…
Mata tak dapat meneteskan air
Bibir tak dapat tersenyum lebar

Bagai tubuh tak berjiwa
Sungai tanpa arus, langit tanpa awan...
Dan malam tanpa bintang

Inikah cinta?
Ataukah dillema?
Derita tanpa batas?
Ataukah kebahagiaan tanpa akhir?

Yang tersisa tinggal...

Seonggok daging, sebuah sampah!
Tanpa nama, tanpa jiwa

Kelak suatu saat…
Aku yakin,
Akan terbangun,



Dari mimpi abadi ini…

--------

Wanita bersuka ria,
Selayaknya malaikat Mikail

Apakah engkau hey juwita malam,
Sang dewi keberuntunganku?

Peluk aku, cium aku
Usaplah rambutku dengan penuh kasih...
Dan tersenyumlah menghadapku

Bumi takkan dapat bersatu dengan langit, sampai akhir jaman

Mungkinkah aku menjadi matahari & bulan?
Atau menjadi bayanganmu?

Agar setia mendampingimu setiap saat

Lampu-lampu jalan terlihat berbeda
Penuh dengan warna-warna indah
Namun bersamamu, semua terlihat sama
Karena...

Aku bersamamu

Tinggalah bersamaku disini
Selalu berada disampingku
Menggenggam tanganku setiap saat
Dan mendampingiku dalam suka dan duka

Kemudian...

Caci maki saja diriku
Hinalah raga nista ini
Bunuh aku dengan cintamu
Dan jadikan aku mimpi burukmu

Karena dalam kebutaan tiada akhir ini...
Aku telah jatuh dalam lingkaran yang tergelap tanpa dasar

Demi memilikimu
Agar selalu menyayangimu

Kelak suatu saat,
Aku akan melihat sinar itu kembali…

Berjalan keluar…
Melewati terowongan tanpa ujung ini

Catatan: Ditulis tanggal 31 Agustus 2006. Kaget juga melihat-lihat tulisan lama dulu hahaha, sumbernya ada disini. Ketemu lagi setelah iseng main Google dengan mencari nama sendiri. :)

Netsky (feat. MC Darrison) - Escape

Normally, I don't like male vocals. But I have some exceptions. This is one of it. Hope this mind corrupting tune will haunt you for the rest of your day. This tune created by Netsky and MC Darrison presented it like mad! Enyoy :)

Lyric:

Follow me to a place... (Follow Me!)
(Somewhere) Where we've never been before

You've never ever had a time like this before

I wanna be free (?)
Such a troublesome (?) way

Brighter day... You and Me

There ain't no place I'd rather be...
Then here with you and me
There ain't no place I'd rather go...
You've never ever had a time like this before

--------

Ah, the lyric is self-made from hearing this tune. So help and correction will be very appriciated. Many thanks!



(Uploaded via Youtube by PhysicalDnB, thanks mate!)

Short Sentences

Stupid people never learn,
Normal people learn from their mistake,
And the wise learn from others.
"That's the fact!"

Religions only bring separations, chaos & wars.
If only you all know that we have the same colour of blood!
"That too is also a fact!"

Even buddha himself is an illusion.
"I went to sleep and dreamed meeting with him. He says everything is an illusion. I woke up and concluded that even buddha himself is an illusion."

I think, then come more questions, thus I become confused.
"That's not gonna stop me to think!"

We're all living in our own nonsense world.
"Sadly, there is no such thing as a common nonsense."

The stronger lights that shines on a tree...
The darker its shadows appeared.
"It's the balance."

See no evil, hear no evil, talk no evil. Then what? LIVE=EVIL?
"But I think ignorance is the real evil."

The most expensive cost for everything in this world...
Is uncertainty.
"Sadly there's no guarantee."

I wish to have no wishes.
"I wish it happens."

The winner takes it all! Losers just watch.
"This too is an obvious fact, and if you feel offended...
You're one of the second part."

What make flowers beautiful?
It is because they can be withered away eaten by time.
"Imagine if there's a flower that blooms eternally, that would be boring.
So cherish it while it last! Even the tree of life itself has it own cycle."

Box are created to be opened, even Pandora's.
"What is the purpose of creating a box? If it can't be opened, what will it becomes?"

Lazy is a good sin.
"If you think hard to do more, with less effort. Then do it efficiently."




He who laughs last... Usually laughs alone.
"F.I.N."




Note:
This is my past thinking, the foundation of my curiosity and freaky concept. I don't know if these would make a good use for you, barely helpful perhaps." These are from my old Minekey.

Indeed

It is always the darkest...



Right before it goes completely black.

Mavrica

Ini adalah sebuah cerita yang terbuang dari kitab suci. Dongeng yang hilang ditelan waktu. Kisah kasih tentang dua insan yang saling mencintai, namun takdir berkata lain. Ini adalah kisah tentang Ne dan Oblak yang berhasil memancing kemarahan Tuhan untuk ketiga kalinya.

--------

Dahulu kala, jauh sebelum manusia berkembang biak memenuhi bumi dengan sesak nafsunya. Jaman dimana para mahluk raksasa penghuni bumi baru saja musnah tetapi belum menjadi minyak dalam kulit ibu pertiwi. Masa dimana para cucu Adam mulai membentuk peradaban.

Pada masa itu, di benua satu-satunya manusia berkumpul. Hanya ada 2 desa yang terletak saling berdekatan. Mari kita sebut saja Desa Pertama dan Desa Kedua. Jumlah manusia yang tinggal masih sedikit, hanya sekitar ratusan.

Di Desa Pertama, hiduplah seorang pemuda gagah berani bernama Oblak. Ia sudah terbiasa hidup sebatang kara. Ibu Oblak mati karena digigit ular beracun waktu memburu kelinci. Ayah Oblak tewas disaat mencoba untuk bergulat dengan beruang. Sisa keluarga Oblak hanya tinggal kakeknya saja, yang tua renta namun memiliki posisi sebagai tetua desa. Oblak sangat tampan; rambutnya hitam ikal seperti ombak laut di malam hari, badannya tegap seperti prasasti makam Adam serta kulitnya berwarna sawo matang menyerap seluruh energi surya. Oblak terkenal sebagai pemburu yang berhasil membunuh singa. Anak kecil di desa itu mengaguminya, teman sebaya menghormatinya, para tetua menyayanginya dan memutuskan untuk menguliti singa tersebut menjadi mantel untuk Oblak. Sudah pasti para gadis desa memujanya lebih rajin daripada mereka memuja Tuhan.

Sedangkan di Desa Kedua, ada seorang gadis yang selalu berhasil menjerat semua pandangan pria dengan paras indahnya. Gadis itu bermata coklat keemasan, berambut pirang; berkilau indah seperti emas, sinar matahari yang memandikannya membuat semua orang menjadi buta untuk memilikinya. Nama gadis itu adalah Ne. Nama yang pendek karena manusia belum begitu menemukan banyak kosakata, mitos-mitos juga belum diciptakan. Tidak seperti Oblak, Ne menerima perawatan terbaik dari kedua orang tuanya. Keluarganya adalah petani tersohor di desanya yang mampu menghasilkan berbagai hasil panen kualitas tertinggi. Asupan gizi dunia telah memberikan Ne sebuah hadiah berupa kecantikan tiada tara.

--------

Malam itu Oblak dan kakeknya bercakap ria, membicarakan suatu masalah penting menyangkut upacara pengakuan Oblak sebagai pria dewasa.

"Cu, minggu depan bulan purnama. Kamu sudah berumur 21 tahun. Kamu boleh hadir ke pertemuan para tetua nanti sekaligus penobatan dirimu sebagai pria dewasa."

"Tapi Kek, aku malas menghadiri acara yang hanya diikuti orang tua saling berbincang masalah-masalah sepele."

"Kamu harus datang Cu, wajib. Ini perintah!" Kakek Oblak menjawab dengan suara lantang kemudian terbatuk-batuk.

"Ya Kek, aku akan datang."

"Jangan lupa untuk berpakaian yang menarik, kita akan kedatangan tamu dari Desa Kedua."

"Untuk apa? Ah! Merepotkan saja." Oblak mengeluh sambil mengusap mantel bulu singa miliknya agar tetap berkilau.

"Sudah ikuti saja. Belajar berpakaian dengan sopan dan menarik, agar orang menghormati dirimu."

---------

Sementara itu di Desa Kedua, Ne sedang mencuci sayur mayur untuk makan malam. Sang Ayah memanggil dirinya. Ne kemudian dengan cepat melangkahkan kaki masuk ke dalam rumahnya yang seperti gubuk dari jerami.

"Ne, minggu depan bulan purnama. Sesuai tradisi, akan diadakan sebuah pertemuan antar desa. Kamu hadir ya menggantikan Ayah?"

"Ha? Kenapa mesti aku?" Ne bertanya karena kebingungan.

"Kamu itu kan anak satu-satunya, Ayah tidak punya anak lain. Meskipun Ayah mengidamkan seorang bocah lelaki untuk menggantikan posisi Ayah nanti." Ayah Ne menjelaskan dengan suara yang pelan namun penuh wibawa.

Ayah Ne adalah seorang pemimpin turun temurun di Desa Kedua. Ayah Ne terkenal dengan kebijakannya, yaitu sebuah aturan dimana para penghuni desa wajib untuk membagikan seluruh hasil panen yang berlebih kepada tetangga yang memerlukan.

"Iya Ayah, aku akan berusaha untuk menjaga harkat dan martabat keluarga kita."

"Bagus, jangan lupa untuk berpenampilan menarik. Jangan lupa ya." Ayah Ne mewasiatkan sebuah pesan penting yang berulang.

--------

Malam bulan purnama datang, Desa Pertama mengadakan pesta pora. Api unggun besar berada di tengah desa, berkobar tanpa henti. Panasnya memberikan energi bagi para penghuninya, bahkan radiasinya mampu untuk membakar ngengat yang terbang mendekat karena penasaran.

Ritual upacara dimulai, semua penghuni berdansa mengikuti bunyi alur tulang yang menghujam potongan-potongan kayu layaknya sebuah musik tradisional. Para tetua duduk dengan tenang sembari menyantap semua hidangan yang tersedia.

"Upacara kali ini, dipersembahkan untuk Oblak. Selamat! Ia sudah tumbuh menjadi pria dewasa dan salah satu pemburu andalan desa kita." Kakek Oblak bersuara lantang.

Oblak menerima hadiah yang diberikan para tetua. Sebuah kalung yang terbuat dari tulang belulang hasil sisa buruan. Kalung itu adalah bukti bahwa seseorang diakui sebagai pria dewasa dan menjadi pemburu untuk membawa pangan yang menghidupi desa.

"Terima kasih, aku akan berusaha sebaik mungkin untuk desa ini." Oblak mengucap rasa syukur dan menerima seluruh rasa penghormatan yang diberikan untuknya malam itu.

---------

"Siapa pemuda tampan itu?" Ne bertanya kepada seorang gadis yang duduk di sebelahnya.

"Oh, itu Oblak. Sang pemburu singa. Ia berhasil membunuh singa dengan tangan kosong."

"Wow! Benarkah itu?"

"Tentu saja, kau kira apa yang sedang ia kenakan di tubuhnya yang gagah itu."

Tubuh Oblak masih dibalut sebuah mantel dari singa yang berhasil dicabut nyawanya. Otot-otonya yang kuat dan liat semua tampak sangat cocok dengan mantel itu. Ne hanya mampu memandang dari kejauhan, mengintip dibalik bara api unggun yang terbang ditiup angin malam. Ne sadar akan posisinya sebagai perwakilan Desa Kedua untuk menghadiri pertemuan tiap bulan purnama.

Setelah upacara itu usai, para penghuni Desa Pertama kembali masuk ke dalam gubuk-gubuk kecil mereka yang terbuat dari jerami. Sementara itu Oblak ditugaskan untuk memadamkan api unggun. Karena Oblak memang manusia yang diberkati dengan ketangguhan tiada tara, hanya dengan sebuah hembusan nafas, api unggun yang tingginya melebihi hunian para penduduk seketika itu juga padam. Ne melihatnya dengan penuh rasa kagum, matanya berbinar-binar. Kemudian ia memutuskan untuk menghampiri Oblak dan menyapanya.

"Hei, benarkah kamu membunuh singa?"

"Benar." Oblak menjawab seperlunya.

"Bagaimana caranya? Ceritakan kepadaku." Ne meminta layaknya seorang penggemar yang bertemu dengan artis pujaannya di sebuah Mall ternama Ibukota.

"Waktu itu singa menyerang desa. Aku diam-diam menguntitnya dari belakang. Menarik buntutnya yang panjang lalu memukul kepalanya. Setelah pingsan, aku menendang perut singa tidak tahu diri itu, lalu mencekiknya. Sayangnya ketika aku mencekiknya binatang jahanam itu bangun dari pingsan. Meronta lalu mencakar dadaku, apa boleh dikata cengkeramanku ini jauh lebih kuat dari cakar mungilnya. Malaikat Izrofil-pun datang menjemput singa malang tersebut." Oblak cerita dengan panjang lebar penuh rasa bangga sambil menunjukkan bekas luka cakar singa itu.

"Wah, kamu kuat! Kamu tidak merasa kasihan kepada singa itu?" Ne kembali mengajukan sebuah pertanyaan.

"Tidak, untuk apa? Toh ia menyerang desa terlebih dahulu. Di dunia ini yang kuat yang bertahan hidup." Oblak kembali mengutarakan pendapatnya yang mampu membuat para gadis desa terhipnotis dengan kegagahan yang dimilikinya.

"Hahaha begitu ya, kasihan singanya. Lihat saja matanya yang penuh rasa sedih dan meminta iba."

"Ah, apakah begitu? Aku tidak pernah mencoba untuk melihatnya seperti itu."

"Ya sudah tidak apa-apa. Namaku Ne, aku dari Desa Kedua. Aku datang karena Ayah memintaku untuk menggantikannya menghadiri pertemuan ini."

"Aku Oblak."

Itulah awal mula perjumpaan mereka. Sebuah permainan takdir yang kejam, menyemai benih-benih cinta diantara mereka berdua. Oblak kagum dengan perasaan yang dimiliki oleh Ne. Sementara Ne menginginkan sebuah figur yang sangat gagah itu untuk mendampingi dan melindunginya sampai akhir hayat.

--------

Roda waktu terus berputar menuju hari akhir. Tanpa terasa sepasang manusia bernama Oblak dan Ne sudah dipenuhi rasa cinta satu sama lain. Mereka berdua selalu saja bertemu di titik pertengahan kedua desa hanya untuk memadu kasih. Sampai akhirnya takdir berkata lain...

"Oblak, apakah kamu mencintai Ne?" Kakek Oblak bertanya dengan hati-hati.

"Mengapa kakek bertanya seperti itu?"

"Oblak, kamu sudah dewasa. Salah satu pemburu yang diandalkan desa serta cucu kebanggaan kakek. Sekarang Kakek hanya ingin bertanya sedikit saja. Cu... apakah kamu menyukai desa ini? Apakah kamu menghormati segala adat yang berlaku untuk kita?" Kakek Oblak kembali mendesak Oblak dengan pertanyaan-pertanyaan.

"Tentu Kek! Aku lahir di desa ini, aku juga sangat sayang kepada desa ini. Aku adalah sebuah bagian kecil dari desa ini."

"Bagus kalau begitu. Kakek hanya meminta, jikalau engkau benar-benar menyukai desa ini wahai cucu kebanggaanku... jangan pernah sekalipun dalam pikiranmu untuk menikahi Ne?"

"TAPI, mengapa Kek? Oblak terkejut mendengar permintaan kakeknya.

"Ne itu masih dalam satu keluarga besar kita. Masih dalam naungan pohon silsilah keluarga utama. Adat desa ini melarang untuk menikahkan pasangan yang masih dalam satu keluarga besar."

Ah... apalah arti sebuah pertalian keluarga? Bukankah kita semua adalah cucu cicit Adam dan Hawa. Namun tradisi harus dihormati dan semuanya harus dipatuhi untuk masa depan, demi keteraturan hidup bermasyarakat.

--------

Seperti biasa, di titik tengah antara pertemuan kedua desa itu. Ne dan Oblak berdua --- di bawah pohon besar nan rindang yang melindungi mereka dari sengatan sinar mentari --- memadu kasih yang kian lama kian mendalam.

"Ne, aku ada kabar buruk."

"Ah, Oblak. Jangan hancurkan situasi indah seperti ini."

"Ini penting Ne!" Oblak dengan tegas menjawab.

"Apa itu?"

"Kakek kemarin berpesan kepadaku, tepatnya memberikan sebuah larangan. Aku tidak boleh menikahimu Ne, karena ternyata kita berdua masih sebuah keluarga besar."

Baru kali ini Ne melihat kekasihnya berada dalam posisi yang rapuh, tanpa daya. Seolah hembusan angin yang mengalir dengan damai di bawah pohon itu mampu mengurainya menjadi debu.

"Ah, masalah itu. Aku sudah tahu dari dulu. Semenjak pulang dari pertemuan pertama kita di upacara penobatanmu... aku cerita kepada Ayah tentang dirimu, dan ia langsung memberikan tanda-tanda negatif."

"Jadi, bagaimana?" Oblak berusaha mencari sebuah solusi dari Ne, bertanya dengan suara pelan.

"Hmm, kau bisa hidup jauh dari desamu?"

"Ah! Kau tau kan desaku itu telah merawatku semenjak aku kecil."

"Ya sudah, terserahmu. Sekarang aku tanya, wahai Oblak sang pemburu singa yang gagah... kekasih satu-satunya dan pujaanku selamanya. Pilih aku atau desamu?"

Oblak sangat kebingungan, ia tidak tahu mana yang harus dipilih. Sebuah dilema yang pertama kali ia rasakan dalam hidupnya. Sejauh ini Oblak hanya hidup dari membunuh dan memakan mangsanya. Tidak pernah mengalami hal serumit ini.

"Ne, aku tidak bisa hidup tanpa desa... namun aku kalau tidak ada dirimu di sampingku, apalah artinya hari esok."

"Bagus! Kalau begitu besok pagi buta kita bertemu di tempat ini dan pergi jauh dari sini."

Ne mengakhiri sesi pacaran itu dengan cepat agar ia bisa pulang dan bersiap-siap untuk esok harinya. Selama penantian hari esok, Oblak hanya mengasah terus pisau andalannya. Pisau yang telah membuat perutnya kenyang.

---------

Esok harinya, pagi buta. Matahari masih mengusap mata enggan untuk bangun dan bertugas. Di titik tengah antara Desa Pertama dan Desa Kedua, sepasang kekasih yang telah setuju untuk bersama tanpa menghiraukan seisi dunia... memutuskan untuk bertemu di tempat biasanya. Di bawah pohon yang dedaunan rindang hijaunya berwarna hitam gelap.

"Ne, kita mau kemana?"

"Sudah ikuti aku saja. Kita akan pergi jauh dari tempat ini."

"Yang penting ada dirimu di sampingku dan pisau ini selalu terikat di pinggangku."

Mereka berdua memulai perjalanan mereka, menuju masa depan yang baru. Oblak hanya menurut mengikuti Ne, menjaganya dari segala mara bahaya. Selalu sigap untuk situasi apapun.

--------

Sebulan lebih perjalanan itu berlangsung, penuh penderitaan. Peluh keringat selalu membasahi badan mereka di siang hari. Angin dingin liar meraba menembus kehangatan mereka berdua di malam hari. Kemudian mereka sampai di tujuan, sebuah tempat indah yang Ne inginkan.

"Kita sudah sampai."

"Di sini? Di tempat penuh pasir ini?"

"Iya, memangnya dimana lagi?"

"Ah! Apa yang aku bisa lakukan, yang ada hanya pasir dan air asin."

"Sudah, mari kita mulai saja membuat rumah." Ne mengajak dengan penuh rasa cinta.

Oblak kemudia pergi mencari pohon-pohon besar untuk membuat rumah. Setiap bertemu pohon besar, hanya dengan satu kali tendangan mautnya... pohon itu runtuh seketika. Sementara Ne sibuk mencari rumput dan jemari kering, menganyam agar bisa digunakan sebagai atap rumah mereka. Seminggu kemudian, rumah idaman mereka berdua telah dibangun. Sebuah gubuk kecil dari jerami dan batang kayu, tidak jauh berbeda dari yang ada di desa. Meskipun begitu mereka berdua bahagia.

Selama itu pula Oblak belajar untuk menggunakan pisaunya di laut. Ia berenang dan menusuk semua ikan besar yang ia temukan. Oblak telah menjadi seorang pemburu ikan, tepatnya seorang nelayan. Ne juga turut ikut serta mengumpulkan berbagai tumbuhan yang bisa dimakan untuk mereka berdua.

--------

Selama itu semua terjadi, Desa Pertama dan Desa Kedua dipenuhi kabar angin. Seluruh penghuni Desa Pertama bingung mencari Oblak yang hilang entah kemana tanpa kabar. Desa Kedua, dengan perintah ayah Ne, membuat sebuah tim untuk mencari kemana perginya Ne. Tim itu sampai ke Desa Pertama dan mencari tahu kemana Ne pergi, mengumpulkan informasi dan berusaha melacak Ne. Seluruh penghuni Desa Pertama dan Desa Kedua berasumsi bahwa Ne dan Oblak telah minggat.

---------

Hari demi hari berlalu penuh kebahagiaan. Sudah 7 bulan itu semua berlangsung. Perut Ne menggelembung, isinya adalah Oblak kecil. Perut yang mengandung hasil benih cinta mereka berdua.

Oblak melihat hal itu kemudian bekerja lebih keras, berenang lebih jauh dan lebih dalam untuk menusuk ikan-ikan yang lebih besar. Oblak melakukan itu semua demi Oblak kecil tumbuh lebih gagah daripada dirinya.

Namun takdir terus bermain dengan ritmenya sendiri, tim pencari Ne akhirnya menemukan target. Mengintai dari kejauhan segala kegiatan yang dilakukan oleh Ne; mulai dari mengumpulkan tumbuhan untuk dimakan, memasak untuk Oblak dan segala kegiatan ibu rumah tangga tradisionil lainnya. Tim tersebut sangat kaget ketika melihat kondisi Ne sekarang dengan perutnya yang menggelembung, tim itu tidak berani melangkah lebih jauh dan memutuskan untuk pulang ke Desa Kedua.

Tim itu akhirnya sampai ke Desa Kedua. Secepatnya mereka melaporkan semua hasil pengamatan mereka kepada Ayah Ne.

Mendengar laporan hasil kerja tim, Ayah Ne sangat marah sekali dan memutuskan untuk bertemu tetua yang paling dihormati di Desa Pertama.

"Pak Tua, anakmu mencuri anakku dan menghamilinya. Bagaimana ini?" Ayah Ne mengobrol dengan Kakek Oblak dengan menggunaan sapaan yang biasa ia gunakan semenjak dahulu kala.

"Hoooh! Oblak tidak mungkin seperti itu. Pasti anakmu yang telah meracuni pikiran cucuku itu."

"Ne memang cantik, parasnya mampu meracuni benak siapapun. Namun aku selalu mengajarinya untuk hidup penuh etika."

"Hahahaha! Mungkin saja apa yang kamu ajarkan kepada anakmu itu tidak pernah didengarnya sekalipun." Kakek Oblak cekikikan.

"Pak Tua, bukan saatnya bercanda. Berikan aku solusi!" Ayah Ne menuntut pertanggung jawaban Kakek Oblak.

"Baiklah, meskipun dia cucu kebanggaanku... hukum tetap harus ditegakkan! Mari kita mengadakan sebuah ritual persembahan kepada Tuhan untuk menghukum mereka."

"Baiklah! Kapan?"

"Hohoho, seperti biasa bodoh! Malam bulan purnama berikutnya, jangan lupa untuk membawa seluruh penghuni desamu itu dan sesajen sebanyak-banyaknya." Kakek Oblak menghardik Ayah Ne tanpa rasa sungkan.

Waktu yang dinanti-nanti tiba, malam hari tepat disaat bulan menampakkan seekor kelinci sombong yang menari-nari di angkasa. Ritual itu akhirnya dilaksanakan. Sesajen disembelih habis-habisan, 100 ekor kelinci dan 1000 ekor rusa berhasil sampai di alam baka. Para manusia berkumpul mengerumuni api unggun yang menggeliat memakan udara sekitar. Mereka semua atas petunjuk Ayah Ne dan Kakek Oblak berdoa untuk menghukum kedua manusia yang kabur melanggar adat budaya yang ada.

---------

Dua bulan sudah berlalu, perut Ne semakin menggelembung jauh lebih besar dari ikan kembung hasil perburuan Oblak di laut.

Hari itu, bintang kuning keemasan menyinari pasir-pasir yang terhampar. Sayangnya semua kilau pasir itu masih belum mampu mengalahkan kilau rambut Ne. Oblak memutuskan untuk pergi berenang ke laut untuk mencari pangan, tapi...

Tiba-tiba perut Ne terasa amat sakit. Entah air apa yang keluar dari selangkangannya, Oblak panik dan kebingungan. Maklum Oblak hanya tahu membunuh dan memakan. Oh ya, tambah satu lagi, Oblak juga tahu cara untuk bercinta.

"Oblak! Perutku Sakit! Tolong! Sepertinya Oblak kecil ingin datang ke dunia hari ini."

"Ah! Apa yang harus aku lakukan?"

"Angkat aku ke tempat tidur, baringkan aku dengan lembut. PELAN-PELAN!" Ne memerintah Oblak.

Akhirnya Oblak membaringkan Ne, di tempat mereka berdua menanam benih cinta itu. Sebuah kasur jerami yang empuk namun kering dan menyayat. Itu semua tidak menghalangi aksi mereka berdua.

"Lalu apa yang harus aku lakukan?"

"Sudah pegang saja tanganku dan berdoa!"

--------

Tuhan melihat kejadian itu, ia marah besar. Doa para penghuni Desa Pertama dan Kedua terkabul. Yang Maha Kuasa memungut sebuah kerikil kecil berwarna merah yang melayang di angkasa, lalu melemparnya ke bumi.

Kerikil merah itu terus membelah angkasa, mencari jalan untuk sampai ke bumi. Tempat di mana Oblak dan Ne sedang berjuang keras menyambut kedatangan Oblak kecil.

Sebuah gempa terjadi, Oblak panik, Ne lebih panik dan khawatir. Oblak hanya terus berdoa kepada Tuhan agar Oblak kecil selamat sedangkan Ne sibuk menarik-menghembuskan nafas terlunta-lunta. Ternyata kerikil merah itu menabrak laut di dekat gubuk mereka, untunglah.

Tuhan marah, lemparan-Nya meleset. Tuhan kembali memungut sebuah kerikil berwarna jingga dan melemparnya kembali ke bumi.

Gempa kedua terjadi, kerikil itu masih saja menabrak laut. Oblak makin panik, Ne lebih panik dan khawatir lagi. Oblak tetap berdoa demi keselamatan buah cinta mereka.

Tuhan kembali marah, lemparan-Nya ternyata masih meleset. Tuhan tetap kembali memungut sebuah kerikil warna kuning dan melemparnya ke arah bumi.

Gempa ketiga terjadi, kerikil itu entah kenapa masih saja menabrak laut. Oblak terus dihantui rasa panik dan kian khusyuk berdoa. Ne tetap bernafas terlunta-lunta, menggenggam tangan Oblak makin keras.

Tuhan marah lagi, lemparan-Nya meleset lagi di tempat yang sama. Tuhan tidak mengenal kata menyerah, Ia Yang Maha Kuasa. Tuhan memungut kembali sebuah kerikil warna hijau yang mengapung bebas di angkasa. Melemparnya kembali ke arah planet tempat Adam dibuang.

Gempa keempat terjadi, kerikil itu lagi-lagi jatuh di laut dekat Oblak tinggal. Ne masih saja bersusah payah untuk memunculkan Oblak kecil ke dunia, Oblak dengan setia menemani Ne disampingnya dan terus berdoa. Ne hanya mampu terus menarik dan menghembuskan nafasnya sembari memejamkan mata coklat keemasan miliknya, menahan seluruh rasa sakit yang dialaminya.

Tuhan marah sekali, lemparan kerikil hijau itu tetap saja meleset. Tak mampu menggempur gubuk kecil yang terbuat dari batang pohon beratapkan jerami milik Oblak dan Ne. Tuhan mencari sebuah kerikil untuk menjadi korban berikutnya, kali ini berwarna biru. Ia melempar!

Gempa kelima terjadi, sungguh aneh... kerikil itu tetap saja jatuh ke laut. Apakah Tuhan lupa menghitung sudut deviasi lemparannya? Oblak terus berdoa, darah Ne membasahi lantai pasir gubuk kecil mereka. Namun mereka berdua tidak patah semangat untuk melihat Oblak kecil merangkak keluar.

Tuhan benar-benar marah, melihat segala kerikil yang telah Ia lempar selalu meleset. Tuhan masih saja mencari asteroid untuk dilempar, baginya itu semua hanya seperti kerikil berukuran seupil. Kali ini kerikil warna nila Ia lemparkan.

Gempa keenam terjadi, masih saja tetap selalu meleset. Lagi-lagi jatuh di laut dekat tempat pelarian Oblak dan Ne. Oblak terus saja melantunkan doa-doa setianya untuk Tuhan demi Oblak kecil sembari berusaha menenangkan Ne semampunya.

Tuhan sekarang murni marah, sebut saja Yang Maha Marah. Ia memungut kerikil seukuran upil berwarna ungu. Kali ini Tuhan menghitung sudut deviasi lemparan-Nya, menghitung energi laju percepatan asteroid yang akan dilemparnya, menghitung efek gesekan atmosfir bumi dan segala hal penting lainnya yang tidak mungkin luput untuk dihitung oleh Yang Maha Kuasa namun penuh kemarahan.

Gempa ketujuh terjadi, GILA! Masih saja menghujam laut, lemparan kerikil Tuhan selalu meleset.

Lemparan Tuhan dengan ketujuh buah kerikil itu sangat culun sekali, Yang Maha Marah dengan lemparan Yang Maha Culun. Mungkin Tuhan sedang sibuk melakukan berbagai aktifitas mengatur jagad raya ini sehingga lemparan tidak fokus. Tuhan tidak begitu pandai multitasking rupanya.

Mungkinkah doa Oblak jauh lebih murni dan tulus dibandingkan doa seluruh manusia lain penghuni bumi di jaman itu? Lagipula doa yang diperintah dan dipenuhi rasa dendam memangnya akan terkabul?

Setelah gempa tujuh kali berturut-turut, akhirnya Oblak kecil keluar juga. Meluncur langsung dari rahim Ne keluar menuju pintu dunia.

"Ne, selamat! Kamu hebat sayang." Oblak menyemangati Ne yang hampir tidak memiliki tenaga sama sekali.

"Syukurlah..." Ne menjawab Oblak dengan suara rendah, mengembuskan nafas pelan.

"Ah, tapi ini bukan Oblak kecil. Buah hati kita perempuan. Mau kamu beri nama siapa Ne?"

...

"Ne? Ne?" Oblak tidak mendapatkan jawaban.

Ne memejamkan matanya, tubuhnya lelah setelah berperang secara tidak langsung dengan ketujuh buah kerikil milik Tuhan. Semua goncangan gempa itu memiliki efeknya sendiri, yang tersisa hanya paras cantik tiada tara milik Ne, rambut emasnya tersapu sinar matahari yang menyelinap masuk lewat jendela gubuk kecil milik mereka. Mata coklat keemasan itu tertutup selamanya. Ne hanya meninggalkan sebuah senyuman dan bayi perempuan "Oblak Kecil".

Oblak meneteskan air mata. Oblak merasakan sesak di dadanya, ada sebuah lubang hitam yang menekan. Sakitnya tak terhingga.

"Neeeeeeee! NEEEEEEEEEEEE!" Oblak meneriakkan nama kekasihnya berharap agar jiwanya kembali ke dunia.

Teriakan Oblak memicu sang buah hati menangis. Oblak menyelimuti buah hatinya dengan jerami hasil anyaman almarhum cintanya.

Oblak mengutuk Tuhan atas kematian Ne.

"Aku memang berdoa untuk Oblak kecil, tapi mengapa Engkau mengambil cintaku yang lain? Mengapa? Mengapa? MENGAPA? MENGAPAAAAAA?"

Oblak memeluk buah hatinya yang belum memiliki nama, ia berjalan diombang-ambing penuh rasa sakit. Hatinya seperti batu karang yang diterjang ombak laut tanpa henti; gagah, tegap, tegas, tak berhening tanpa kenal lelah, namun hampa penuh rongga.

--------

Ketika Oblak melangkahkan kaki keluar gubuk kecilnya sembari memeluk Oblak kecil... hendak mengutuk Tuhan karena merampas cintanya, Oblak kagum melihat langit.

Saat itu, banyak lengkungan berwarna-warni memenuhi langit. Lengkungan berwarna merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila dan ungu. Angin laut menerbangkan partikel kerikil-kerikil itu di langit, matahari menyinarinya agar berkilau. Sebuah keajaiban! Seumur hidup baru kali ini ia melihatnya. Panorama itu mendamaikan hati Oblak.

Sang duda pembunuh singa dengan tangan kosong dan bayi perempuan mungilnya menonton mukjizat itu untuk pertama kalinya di dunia ini, sebuah hadiah kemarahan atas Tuhan dan sebagai pengingat untuk doa-doa tulusnya.

Oblak, pipinya masih basah karena tetes air mata. Ia tersadar bahwa di dunia ini tidak ada yang abadi. Ia bersyukur kepada Tuhan yang telah memberikan cinta baru untuknya, sebuah bayi perempuan mungil dengan kulit sawo matang seperti miliknya. Namun matanya... coklat keemasan, mewarisi apa yang Ne miliki.

Akhirnya ia memutuskan untuk memberi nama cinta mungilnya itu...



Mavrica.

Catatan:
Ditulis untuk memenuhi Janji Jumat dengan tema "Itulah pertama kalinya pelangi muncul di dunia ini." Sungguh telat sekali, namun lebih baik daripada tidak sama sekali bukan? Ternyata kalau ditentukan temanya lebih sulit.