Mavrica

Ini adalah sebuah cerita yang terbuang dari kitab suci. Dongeng yang hilang ditelan waktu. Kisah kasih tentang dua insan yang saling mencintai, namun takdir berkata lain. Ini adalah kisah tentang Ne dan Oblak yang berhasil memancing kemarahan Tuhan untuk ketiga kalinya.

--------

Dahulu kala, jauh sebelum manusia berkembang biak memenuhi bumi dengan sesak nafsunya. Jaman dimana para mahluk raksasa penghuni bumi baru saja musnah tetapi belum menjadi minyak dalam kulit ibu pertiwi. Masa dimana para cucu Adam mulai membentuk peradaban.

Pada masa itu, di benua satu-satunya manusia berkumpul. Hanya ada 2 desa yang terletak saling berdekatan. Mari kita sebut saja Desa Pertama dan Desa Kedua. Jumlah manusia yang tinggal masih sedikit, hanya sekitar ratusan.

Di Desa Pertama, hiduplah seorang pemuda gagah berani bernama Oblak. Ia sudah terbiasa hidup sebatang kara. Ibu Oblak mati karena digigit ular beracun waktu memburu kelinci. Ayah Oblak tewas disaat mencoba untuk bergulat dengan beruang. Sisa keluarga Oblak hanya tinggal kakeknya saja, yang tua renta namun memiliki posisi sebagai tetua desa. Oblak sangat tampan; rambutnya hitam ikal seperti ombak laut di malam hari, badannya tegap seperti prasasti makam Adam serta kulitnya berwarna sawo matang menyerap seluruh energi surya. Oblak terkenal sebagai pemburu yang berhasil membunuh singa. Anak kecil di desa itu mengaguminya, teman sebaya menghormatinya, para tetua menyayanginya dan memutuskan untuk menguliti singa tersebut menjadi mantel untuk Oblak. Sudah pasti para gadis desa memujanya lebih rajin daripada mereka memuja Tuhan.

Sedangkan di Desa Kedua, ada seorang gadis yang selalu berhasil menjerat semua pandangan pria dengan paras indahnya. Gadis itu bermata coklat keemasan, berambut pirang; berkilau indah seperti emas, sinar matahari yang memandikannya membuat semua orang menjadi buta untuk memilikinya. Nama gadis itu adalah Ne. Nama yang pendek karena manusia belum begitu menemukan banyak kosakata, mitos-mitos juga belum diciptakan. Tidak seperti Oblak, Ne menerima perawatan terbaik dari kedua orang tuanya. Keluarganya adalah petani tersohor di desanya yang mampu menghasilkan berbagai hasil panen kualitas tertinggi. Asupan gizi dunia telah memberikan Ne sebuah hadiah berupa kecantikan tiada tara.

--------

Malam itu Oblak dan kakeknya bercakap ria, membicarakan suatu masalah penting menyangkut upacara pengakuan Oblak sebagai pria dewasa.

"Cu, minggu depan bulan purnama. Kamu sudah berumur 21 tahun. Kamu boleh hadir ke pertemuan para tetua nanti sekaligus penobatan dirimu sebagai pria dewasa."

"Tapi Kek, aku malas menghadiri acara yang hanya diikuti orang tua saling berbincang masalah-masalah sepele."

"Kamu harus datang Cu, wajib. Ini perintah!" Kakek Oblak menjawab dengan suara lantang kemudian terbatuk-batuk.

"Ya Kek, aku akan datang."

"Jangan lupa untuk berpakaian yang menarik, kita akan kedatangan tamu dari Desa Kedua."

"Untuk apa? Ah! Merepotkan saja." Oblak mengeluh sambil mengusap mantel bulu singa miliknya agar tetap berkilau.

"Sudah ikuti saja. Belajar berpakaian dengan sopan dan menarik, agar orang menghormati dirimu."

---------

Sementara itu di Desa Kedua, Ne sedang mencuci sayur mayur untuk makan malam. Sang Ayah memanggil dirinya. Ne kemudian dengan cepat melangkahkan kaki masuk ke dalam rumahnya yang seperti gubuk dari jerami.

"Ne, minggu depan bulan purnama. Sesuai tradisi, akan diadakan sebuah pertemuan antar desa. Kamu hadir ya menggantikan Ayah?"

"Ha? Kenapa mesti aku?" Ne bertanya karena kebingungan.

"Kamu itu kan anak satu-satunya, Ayah tidak punya anak lain. Meskipun Ayah mengidamkan seorang bocah lelaki untuk menggantikan posisi Ayah nanti." Ayah Ne menjelaskan dengan suara yang pelan namun penuh wibawa.

Ayah Ne adalah seorang pemimpin turun temurun di Desa Kedua. Ayah Ne terkenal dengan kebijakannya, yaitu sebuah aturan dimana para penghuni desa wajib untuk membagikan seluruh hasil panen yang berlebih kepada tetangga yang memerlukan.

"Iya Ayah, aku akan berusaha untuk menjaga harkat dan martabat keluarga kita."

"Bagus, jangan lupa untuk berpenampilan menarik. Jangan lupa ya." Ayah Ne mewasiatkan sebuah pesan penting yang berulang.

--------

Malam bulan purnama datang, Desa Pertama mengadakan pesta pora. Api unggun besar berada di tengah desa, berkobar tanpa henti. Panasnya memberikan energi bagi para penghuninya, bahkan radiasinya mampu untuk membakar ngengat yang terbang mendekat karena penasaran.

Ritual upacara dimulai, semua penghuni berdansa mengikuti bunyi alur tulang yang menghujam potongan-potongan kayu layaknya sebuah musik tradisional. Para tetua duduk dengan tenang sembari menyantap semua hidangan yang tersedia.

"Upacara kali ini, dipersembahkan untuk Oblak. Selamat! Ia sudah tumbuh menjadi pria dewasa dan salah satu pemburu andalan desa kita." Kakek Oblak bersuara lantang.

Oblak menerima hadiah yang diberikan para tetua. Sebuah kalung yang terbuat dari tulang belulang hasil sisa buruan. Kalung itu adalah bukti bahwa seseorang diakui sebagai pria dewasa dan menjadi pemburu untuk membawa pangan yang menghidupi desa.

"Terima kasih, aku akan berusaha sebaik mungkin untuk desa ini." Oblak mengucap rasa syukur dan menerima seluruh rasa penghormatan yang diberikan untuknya malam itu.

---------

"Siapa pemuda tampan itu?" Ne bertanya kepada seorang gadis yang duduk di sebelahnya.

"Oh, itu Oblak. Sang pemburu singa. Ia berhasil membunuh singa dengan tangan kosong."

"Wow! Benarkah itu?"

"Tentu saja, kau kira apa yang sedang ia kenakan di tubuhnya yang gagah itu."

Tubuh Oblak masih dibalut sebuah mantel dari singa yang berhasil dicabut nyawanya. Otot-otonya yang kuat dan liat semua tampak sangat cocok dengan mantel itu. Ne hanya mampu memandang dari kejauhan, mengintip dibalik bara api unggun yang terbang ditiup angin malam. Ne sadar akan posisinya sebagai perwakilan Desa Kedua untuk menghadiri pertemuan tiap bulan purnama.

Setelah upacara itu usai, para penghuni Desa Pertama kembali masuk ke dalam gubuk-gubuk kecil mereka yang terbuat dari jerami. Sementara itu Oblak ditugaskan untuk memadamkan api unggun. Karena Oblak memang manusia yang diberkati dengan ketangguhan tiada tara, hanya dengan sebuah hembusan nafas, api unggun yang tingginya melebihi hunian para penduduk seketika itu juga padam. Ne melihatnya dengan penuh rasa kagum, matanya berbinar-binar. Kemudian ia memutuskan untuk menghampiri Oblak dan menyapanya.

"Hei, benarkah kamu membunuh singa?"

"Benar." Oblak menjawab seperlunya.

"Bagaimana caranya? Ceritakan kepadaku." Ne meminta layaknya seorang penggemar yang bertemu dengan artis pujaannya di sebuah Mall ternama Ibukota.

"Waktu itu singa menyerang desa. Aku diam-diam menguntitnya dari belakang. Menarik buntutnya yang panjang lalu memukul kepalanya. Setelah pingsan, aku menendang perut singa tidak tahu diri itu, lalu mencekiknya. Sayangnya ketika aku mencekiknya binatang jahanam itu bangun dari pingsan. Meronta lalu mencakar dadaku, apa boleh dikata cengkeramanku ini jauh lebih kuat dari cakar mungilnya. Malaikat Izrofil-pun datang menjemput singa malang tersebut." Oblak cerita dengan panjang lebar penuh rasa bangga sambil menunjukkan bekas luka cakar singa itu.

"Wah, kamu kuat! Kamu tidak merasa kasihan kepada singa itu?" Ne kembali mengajukan sebuah pertanyaan.

"Tidak, untuk apa? Toh ia menyerang desa terlebih dahulu. Di dunia ini yang kuat yang bertahan hidup." Oblak kembali mengutarakan pendapatnya yang mampu membuat para gadis desa terhipnotis dengan kegagahan yang dimilikinya.

"Hahaha begitu ya, kasihan singanya. Lihat saja matanya yang penuh rasa sedih dan meminta iba."

"Ah, apakah begitu? Aku tidak pernah mencoba untuk melihatnya seperti itu."

"Ya sudah tidak apa-apa. Namaku Ne, aku dari Desa Kedua. Aku datang karena Ayah memintaku untuk menggantikannya menghadiri pertemuan ini."

"Aku Oblak."

Itulah awal mula perjumpaan mereka. Sebuah permainan takdir yang kejam, menyemai benih-benih cinta diantara mereka berdua. Oblak kagum dengan perasaan yang dimiliki oleh Ne. Sementara Ne menginginkan sebuah figur yang sangat gagah itu untuk mendampingi dan melindunginya sampai akhir hayat.

--------

Roda waktu terus berputar menuju hari akhir. Tanpa terasa sepasang manusia bernama Oblak dan Ne sudah dipenuhi rasa cinta satu sama lain. Mereka berdua selalu saja bertemu di titik pertengahan kedua desa hanya untuk memadu kasih. Sampai akhirnya takdir berkata lain...

"Oblak, apakah kamu mencintai Ne?" Kakek Oblak bertanya dengan hati-hati.

"Mengapa kakek bertanya seperti itu?"

"Oblak, kamu sudah dewasa. Salah satu pemburu yang diandalkan desa serta cucu kebanggaan kakek. Sekarang Kakek hanya ingin bertanya sedikit saja. Cu... apakah kamu menyukai desa ini? Apakah kamu menghormati segala adat yang berlaku untuk kita?" Kakek Oblak kembali mendesak Oblak dengan pertanyaan-pertanyaan.

"Tentu Kek! Aku lahir di desa ini, aku juga sangat sayang kepada desa ini. Aku adalah sebuah bagian kecil dari desa ini."

"Bagus kalau begitu. Kakek hanya meminta, jikalau engkau benar-benar menyukai desa ini wahai cucu kebanggaanku... jangan pernah sekalipun dalam pikiranmu untuk menikahi Ne?"

"TAPI, mengapa Kek? Oblak terkejut mendengar permintaan kakeknya.

"Ne itu masih dalam satu keluarga besar kita. Masih dalam naungan pohon silsilah keluarga utama. Adat desa ini melarang untuk menikahkan pasangan yang masih dalam satu keluarga besar."

Ah... apalah arti sebuah pertalian keluarga? Bukankah kita semua adalah cucu cicit Adam dan Hawa. Namun tradisi harus dihormati dan semuanya harus dipatuhi untuk masa depan, demi keteraturan hidup bermasyarakat.

--------

Seperti biasa, di titik tengah antara pertemuan kedua desa itu. Ne dan Oblak berdua --- di bawah pohon besar nan rindang yang melindungi mereka dari sengatan sinar mentari --- memadu kasih yang kian lama kian mendalam.

"Ne, aku ada kabar buruk."

"Ah, Oblak. Jangan hancurkan situasi indah seperti ini."

"Ini penting Ne!" Oblak dengan tegas menjawab.

"Apa itu?"

"Kakek kemarin berpesan kepadaku, tepatnya memberikan sebuah larangan. Aku tidak boleh menikahimu Ne, karena ternyata kita berdua masih sebuah keluarga besar."

Baru kali ini Ne melihat kekasihnya berada dalam posisi yang rapuh, tanpa daya. Seolah hembusan angin yang mengalir dengan damai di bawah pohon itu mampu mengurainya menjadi debu.

"Ah, masalah itu. Aku sudah tahu dari dulu. Semenjak pulang dari pertemuan pertama kita di upacara penobatanmu... aku cerita kepada Ayah tentang dirimu, dan ia langsung memberikan tanda-tanda negatif."

"Jadi, bagaimana?" Oblak berusaha mencari sebuah solusi dari Ne, bertanya dengan suara pelan.

"Hmm, kau bisa hidup jauh dari desamu?"

"Ah! Kau tau kan desaku itu telah merawatku semenjak aku kecil."

"Ya sudah, terserahmu. Sekarang aku tanya, wahai Oblak sang pemburu singa yang gagah... kekasih satu-satunya dan pujaanku selamanya. Pilih aku atau desamu?"

Oblak sangat kebingungan, ia tidak tahu mana yang harus dipilih. Sebuah dilema yang pertama kali ia rasakan dalam hidupnya. Sejauh ini Oblak hanya hidup dari membunuh dan memakan mangsanya. Tidak pernah mengalami hal serumit ini.

"Ne, aku tidak bisa hidup tanpa desa... namun aku kalau tidak ada dirimu di sampingku, apalah artinya hari esok."

"Bagus! Kalau begitu besok pagi buta kita bertemu di tempat ini dan pergi jauh dari sini."

Ne mengakhiri sesi pacaran itu dengan cepat agar ia bisa pulang dan bersiap-siap untuk esok harinya. Selama penantian hari esok, Oblak hanya mengasah terus pisau andalannya. Pisau yang telah membuat perutnya kenyang.

---------

Esok harinya, pagi buta. Matahari masih mengusap mata enggan untuk bangun dan bertugas. Di titik tengah antara Desa Pertama dan Desa Kedua, sepasang kekasih yang telah setuju untuk bersama tanpa menghiraukan seisi dunia... memutuskan untuk bertemu di tempat biasanya. Di bawah pohon yang dedaunan rindang hijaunya berwarna hitam gelap.

"Ne, kita mau kemana?"

"Sudah ikuti aku saja. Kita akan pergi jauh dari tempat ini."

"Yang penting ada dirimu di sampingku dan pisau ini selalu terikat di pinggangku."

Mereka berdua memulai perjalanan mereka, menuju masa depan yang baru. Oblak hanya menurut mengikuti Ne, menjaganya dari segala mara bahaya. Selalu sigap untuk situasi apapun.

--------

Sebulan lebih perjalanan itu berlangsung, penuh penderitaan. Peluh keringat selalu membasahi badan mereka di siang hari. Angin dingin liar meraba menembus kehangatan mereka berdua di malam hari. Kemudian mereka sampai di tujuan, sebuah tempat indah yang Ne inginkan.

"Kita sudah sampai."

"Di sini? Di tempat penuh pasir ini?"

"Iya, memangnya dimana lagi?"

"Ah! Apa yang aku bisa lakukan, yang ada hanya pasir dan air asin."

"Sudah, mari kita mulai saja membuat rumah." Ne mengajak dengan penuh rasa cinta.

Oblak kemudia pergi mencari pohon-pohon besar untuk membuat rumah. Setiap bertemu pohon besar, hanya dengan satu kali tendangan mautnya... pohon itu runtuh seketika. Sementara Ne sibuk mencari rumput dan jemari kering, menganyam agar bisa digunakan sebagai atap rumah mereka. Seminggu kemudian, rumah idaman mereka berdua telah dibangun. Sebuah gubuk kecil dari jerami dan batang kayu, tidak jauh berbeda dari yang ada di desa. Meskipun begitu mereka berdua bahagia.

Selama itu pula Oblak belajar untuk menggunakan pisaunya di laut. Ia berenang dan menusuk semua ikan besar yang ia temukan. Oblak telah menjadi seorang pemburu ikan, tepatnya seorang nelayan. Ne juga turut ikut serta mengumpulkan berbagai tumbuhan yang bisa dimakan untuk mereka berdua.

--------

Selama itu semua terjadi, Desa Pertama dan Desa Kedua dipenuhi kabar angin. Seluruh penghuni Desa Pertama bingung mencari Oblak yang hilang entah kemana tanpa kabar. Desa Kedua, dengan perintah ayah Ne, membuat sebuah tim untuk mencari kemana perginya Ne. Tim itu sampai ke Desa Pertama dan mencari tahu kemana Ne pergi, mengumpulkan informasi dan berusaha melacak Ne. Seluruh penghuni Desa Pertama dan Desa Kedua berasumsi bahwa Ne dan Oblak telah minggat.

---------

Hari demi hari berlalu penuh kebahagiaan. Sudah 7 bulan itu semua berlangsung. Perut Ne menggelembung, isinya adalah Oblak kecil. Perut yang mengandung hasil benih cinta mereka berdua.

Oblak melihat hal itu kemudian bekerja lebih keras, berenang lebih jauh dan lebih dalam untuk menusuk ikan-ikan yang lebih besar. Oblak melakukan itu semua demi Oblak kecil tumbuh lebih gagah daripada dirinya.

Namun takdir terus bermain dengan ritmenya sendiri, tim pencari Ne akhirnya menemukan target. Mengintai dari kejauhan segala kegiatan yang dilakukan oleh Ne; mulai dari mengumpulkan tumbuhan untuk dimakan, memasak untuk Oblak dan segala kegiatan ibu rumah tangga tradisionil lainnya. Tim tersebut sangat kaget ketika melihat kondisi Ne sekarang dengan perutnya yang menggelembung, tim itu tidak berani melangkah lebih jauh dan memutuskan untuk pulang ke Desa Kedua.

Tim itu akhirnya sampai ke Desa Kedua. Secepatnya mereka melaporkan semua hasil pengamatan mereka kepada Ayah Ne.

Mendengar laporan hasil kerja tim, Ayah Ne sangat marah sekali dan memutuskan untuk bertemu tetua yang paling dihormati di Desa Pertama.

"Pak Tua, anakmu mencuri anakku dan menghamilinya. Bagaimana ini?" Ayah Ne mengobrol dengan Kakek Oblak dengan menggunaan sapaan yang biasa ia gunakan semenjak dahulu kala.

"Hoooh! Oblak tidak mungkin seperti itu. Pasti anakmu yang telah meracuni pikiran cucuku itu."

"Ne memang cantik, parasnya mampu meracuni benak siapapun. Namun aku selalu mengajarinya untuk hidup penuh etika."

"Hahahaha! Mungkin saja apa yang kamu ajarkan kepada anakmu itu tidak pernah didengarnya sekalipun." Kakek Oblak cekikikan.

"Pak Tua, bukan saatnya bercanda. Berikan aku solusi!" Ayah Ne menuntut pertanggung jawaban Kakek Oblak.

"Baiklah, meskipun dia cucu kebanggaanku... hukum tetap harus ditegakkan! Mari kita mengadakan sebuah ritual persembahan kepada Tuhan untuk menghukum mereka."

"Baiklah! Kapan?"

"Hohoho, seperti biasa bodoh! Malam bulan purnama berikutnya, jangan lupa untuk membawa seluruh penghuni desamu itu dan sesajen sebanyak-banyaknya." Kakek Oblak menghardik Ayah Ne tanpa rasa sungkan.

Waktu yang dinanti-nanti tiba, malam hari tepat disaat bulan menampakkan seekor kelinci sombong yang menari-nari di angkasa. Ritual itu akhirnya dilaksanakan. Sesajen disembelih habis-habisan, 100 ekor kelinci dan 1000 ekor rusa berhasil sampai di alam baka. Para manusia berkumpul mengerumuni api unggun yang menggeliat memakan udara sekitar. Mereka semua atas petunjuk Ayah Ne dan Kakek Oblak berdoa untuk menghukum kedua manusia yang kabur melanggar adat budaya yang ada.

---------

Dua bulan sudah berlalu, perut Ne semakin menggelembung jauh lebih besar dari ikan kembung hasil perburuan Oblak di laut.

Hari itu, bintang kuning keemasan menyinari pasir-pasir yang terhampar. Sayangnya semua kilau pasir itu masih belum mampu mengalahkan kilau rambut Ne. Oblak memutuskan untuk pergi berenang ke laut untuk mencari pangan, tapi...

Tiba-tiba perut Ne terasa amat sakit. Entah air apa yang keluar dari selangkangannya, Oblak panik dan kebingungan. Maklum Oblak hanya tahu membunuh dan memakan. Oh ya, tambah satu lagi, Oblak juga tahu cara untuk bercinta.

"Oblak! Perutku Sakit! Tolong! Sepertinya Oblak kecil ingin datang ke dunia hari ini."

"Ah! Apa yang harus aku lakukan?"

"Angkat aku ke tempat tidur, baringkan aku dengan lembut. PELAN-PELAN!" Ne memerintah Oblak.

Akhirnya Oblak membaringkan Ne, di tempat mereka berdua menanam benih cinta itu. Sebuah kasur jerami yang empuk namun kering dan menyayat. Itu semua tidak menghalangi aksi mereka berdua.

"Lalu apa yang harus aku lakukan?"

"Sudah pegang saja tanganku dan berdoa!"

--------

Tuhan melihat kejadian itu, ia marah besar. Doa para penghuni Desa Pertama dan Kedua terkabul. Yang Maha Kuasa memungut sebuah kerikil kecil berwarna merah yang melayang di angkasa, lalu melemparnya ke bumi.

Kerikil merah itu terus membelah angkasa, mencari jalan untuk sampai ke bumi. Tempat di mana Oblak dan Ne sedang berjuang keras menyambut kedatangan Oblak kecil.

Sebuah gempa terjadi, Oblak panik, Ne lebih panik dan khawatir. Oblak hanya terus berdoa kepada Tuhan agar Oblak kecil selamat sedangkan Ne sibuk menarik-menghembuskan nafas terlunta-lunta. Ternyata kerikil merah itu menabrak laut di dekat gubuk mereka, untunglah.

Tuhan marah, lemparan-Nya meleset. Tuhan kembali memungut sebuah kerikil berwarna jingga dan melemparnya kembali ke bumi.

Gempa kedua terjadi, kerikil itu masih saja menabrak laut. Oblak makin panik, Ne lebih panik dan khawatir lagi. Oblak tetap berdoa demi keselamatan buah cinta mereka.

Tuhan kembali marah, lemparan-Nya ternyata masih meleset. Tuhan tetap kembali memungut sebuah kerikil warna kuning dan melemparnya ke arah bumi.

Gempa ketiga terjadi, kerikil itu entah kenapa masih saja menabrak laut. Oblak terus dihantui rasa panik dan kian khusyuk berdoa. Ne tetap bernafas terlunta-lunta, menggenggam tangan Oblak makin keras.

Tuhan marah lagi, lemparan-Nya meleset lagi di tempat yang sama. Tuhan tidak mengenal kata menyerah, Ia Yang Maha Kuasa. Tuhan memungut kembali sebuah kerikil warna hijau yang mengapung bebas di angkasa. Melemparnya kembali ke arah planet tempat Adam dibuang.

Gempa keempat terjadi, kerikil itu lagi-lagi jatuh di laut dekat Oblak tinggal. Ne masih saja bersusah payah untuk memunculkan Oblak kecil ke dunia, Oblak dengan setia menemani Ne disampingnya dan terus berdoa. Ne hanya mampu terus menarik dan menghembuskan nafasnya sembari memejamkan mata coklat keemasan miliknya, menahan seluruh rasa sakit yang dialaminya.

Tuhan marah sekali, lemparan kerikil hijau itu tetap saja meleset. Tak mampu menggempur gubuk kecil yang terbuat dari batang pohon beratapkan jerami milik Oblak dan Ne. Tuhan mencari sebuah kerikil untuk menjadi korban berikutnya, kali ini berwarna biru. Ia melempar!

Gempa kelima terjadi, sungguh aneh... kerikil itu tetap saja jatuh ke laut. Apakah Tuhan lupa menghitung sudut deviasi lemparannya? Oblak terus berdoa, darah Ne membasahi lantai pasir gubuk kecil mereka. Namun mereka berdua tidak patah semangat untuk melihat Oblak kecil merangkak keluar.

Tuhan benar-benar marah, melihat segala kerikil yang telah Ia lempar selalu meleset. Tuhan masih saja mencari asteroid untuk dilempar, baginya itu semua hanya seperti kerikil berukuran seupil. Kali ini kerikil warna nila Ia lemparkan.

Gempa keenam terjadi, masih saja tetap selalu meleset. Lagi-lagi jatuh di laut dekat tempat pelarian Oblak dan Ne. Oblak terus saja melantunkan doa-doa setianya untuk Tuhan demi Oblak kecil sembari berusaha menenangkan Ne semampunya.

Tuhan sekarang murni marah, sebut saja Yang Maha Marah. Ia memungut kerikil seukuran upil berwarna ungu. Kali ini Tuhan menghitung sudut deviasi lemparan-Nya, menghitung energi laju percepatan asteroid yang akan dilemparnya, menghitung efek gesekan atmosfir bumi dan segala hal penting lainnya yang tidak mungkin luput untuk dihitung oleh Yang Maha Kuasa namun penuh kemarahan.

Gempa ketujuh terjadi, GILA! Masih saja menghujam laut, lemparan kerikil Tuhan selalu meleset.

Lemparan Tuhan dengan ketujuh buah kerikil itu sangat culun sekali, Yang Maha Marah dengan lemparan Yang Maha Culun. Mungkin Tuhan sedang sibuk melakukan berbagai aktifitas mengatur jagad raya ini sehingga lemparan tidak fokus. Tuhan tidak begitu pandai multitasking rupanya.

Mungkinkah doa Oblak jauh lebih murni dan tulus dibandingkan doa seluruh manusia lain penghuni bumi di jaman itu? Lagipula doa yang diperintah dan dipenuhi rasa dendam memangnya akan terkabul?

Setelah gempa tujuh kali berturut-turut, akhirnya Oblak kecil keluar juga. Meluncur langsung dari rahim Ne keluar menuju pintu dunia.

"Ne, selamat! Kamu hebat sayang." Oblak menyemangati Ne yang hampir tidak memiliki tenaga sama sekali.

"Syukurlah..." Ne menjawab Oblak dengan suara rendah, mengembuskan nafas pelan.

"Ah, tapi ini bukan Oblak kecil. Buah hati kita perempuan. Mau kamu beri nama siapa Ne?"

...

"Ne? Ne?" Oblak tidak mendapatkan jawaban.

Ne memejamkan matanya, tubuhnya lelah setelah berperang secara tidak langsung dengan ketujuh buah kerikil milik Tuhan. Semua goncangan gempa itu memiliki efeknya sendiri, yang tersisa hanya paras cantik tiada tara milik Ne, rambut emasnya tersapu sinar matahari yang menyelinap masuk lewat jendela gubuk kecil milik mereka. Mata coklat keemasan itu tertutup selamanya. Ne hanya meninggalkan sebuah senyuman dan bayi perempuan "Oblak Kecil".

Oblak meneteskan air mata. Oblak merasakan sesak di dadanya, ada sebuah lubang hitam yang menekan. Sakitnya tak terhingga.

"Neeeeeeee! NEEEEEEEEEEEE!" Oblak meneriakkan nama kekasihnya berharap agar jiwanya kembali ke dunia.

Teriakan Oblak memicu sang buah hati menangis. Oblak menyelimuti buah hatinya dengan jerami hasil anyaman almarhum cintanya.

Oblak mengutuk Tuhan atas kematian Ne.

"Aku memang berdoa untuk Oblak kecil, tapi mengapa Engkau mengambil cintaku yang lain? Mengapa? Mengapa? MENGAPA? MENGAPAAAAAA?"

Oblak memeluk buah hatinya yang belum memiliki nama, ia berjalan diombang-ambing penuh rasa sakit. Hatinya seperti batu karang yang diterjang ombak laut tanpa henti; gagah, tegap, tegas, tak berhening tanpa kenal lelah, namun hampa penuh rongga.

--------

Ketika Oblak melangkahkan kaki keluar gubuk kecilnya sembari memeluk Oblak kecil... hendak mengutuk Tuhan karena merampas cintanya, Oblak kagum melihat langit.

Saat itu, banyak lengkungan berwarna-warni memenuhi langit. Lengkungan berwarna merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila dan ungu. Angin laut menerbangkan partikel kerikil-kerikil itu di langit, matahari menyinarinya agar berkilau. Sebuah keajaiban! Seumur hidup baru kali ini ia melihatnya. Panorama itu mendamaikan hati Oblak.

Sang duda pembunuh singa dengan tangan kosong dan bayi perempuan mungilnya menonton mukjizat itu untuk pertama kalinya di dunia ini, sebuah hadiah kemarahan atas Tuhan dan sebagai pengingat untuk doa-doa tulusnya.

Oblak, pipinya masih basah karena tetes air mata. Ia tersadar bahwa di dunia ini tidak ada yang abadi. Ia bersyukur kepada Tuhan yang telah memberikan cinta baru untuknya, sebuah bayi perempuan mungil dengan kulit sawo matang seperti miliknya. Namun matanya... coklat keemasan, mewarisi apa yang Ne miliki.

Akhirnya ia memutuskan untuk memberi nama cinta mungilnya itu...



Mavrica.

Catatan:
Ditulis untuk memenuhi Janji Jumat dengan tema "Itulah pertama kalinya pelangi muncul di dunia ini." Sungguh telat sekali, namun lebih baik daripada tidak sama sekali bukan? Ternyata kalau ditentukan temanya lebih sulit.