Alanyssa dan Mimpinya

Alanyssa, begitu orang-orang memanggilku. Nama yang muncul dari sebuah kertas yang ditinggalkan kedua orang tuaku, setidaknya itulah yang diceritakan nenek kepadaku... ketika aku masih seonggok daging mungil nan lucu yang tak mampu mengingat apapun jua.

Nenek bilang kepadaku bahwa ia menemukan sebuah bayi di depan pintu rumahnya yang bobrok. Entah orang tua macam apa yang punya pikiran meninggalkan buah hati mereka di depan sebuah gubuk. Hanya dengan sebuah kertas bertuliskan Alanyssa, dan itulah yang menjadi namaku sekarang.

Aku hidup apa adanya, serba pas-pasan. Aku tahu bahwa hidup nenek sebatang kara sudah cukup menyusahkan bagi dirinya sendiri, belum ditambah dengan beban hidupku ini. Aku sayang kepada nenek seperti ibu kandungku sendiri, ia rela berkorban segalanya untuk memelihara diriku ini. Karena itu aku selalu patuh atas apa yang nenek katakan kepadaku.

Seumur hidupku, aku selalu beruntung. Setiap yang aku inginkan pasti terkabul, bagaimanapun caranya. Entah mengapa itu semua bisa terjadi, yang jelas seluruh kebahagiaan itu senantiasa aku bagi dengan Nenek.

Sampai pada saat itu...

--------

Umurku 17 tahun, tepat jam 12 malam aku begadang bersama Nenek untuk merayakannya. Semua hanya sebuah pesta kecil-kecilan antara kita berdua. Nenek dengan senyum dan pipinya yang sudah mengeriput berusaha membawa kue bolu kecil berwarna coklat dengan lilin merah kecil di atasnya dan memberikan kue itu kepadaku. Aku terharu, air mataku menetes. Namun aku harus tetap teguh dan berdiri dengan kakiku sendiri agar bisa merawat Nenek ketika aku sudah mapan nanti.

Setelah bernyanyi berdua dan saling memeluk hangat, akhirnya aku kelelahan dan bergegas untuk tidur. Waktu itu aku masih ingat bermimpi tentang sebuah tempat pensil berwarna pink yang tergeletak dibawah sebuah gerobak.

Pagi harinya, seorang temanku mengeluh bahwa ia telah kehilangan tempat pensilnya. Sebuah benda kesayangan yang merupakan peninggalan almarhum ayahnya. Lalu tanpa aku sadari aku bertanya kepadanya...

"Apakah tempat pensil itu berwarna pink?"

"Hah! IYA! Kamu tahu darimana Nyssa? Padahal tempat pensil itu jarang aku keluarkan dari tas dan selalu aku jaga baik-baik."

"Tenang saja, sepertinya aku tahu dimana tempat kesayanganmu itu."

"Benar? Tolong ya."

"Sudah, ikut saja denganku."

Aku membujuknya untuk keluar dari kelas bersama-sama, dengan trik untuk buang air kecil. Pertama aku keluar terlebih dahulu lalu menunggunya. Kemudian lima menit berikutnya temanku itu keluar kelas dengan trik yang sama. Lalu aku mengajaknya pergi menuju kantin. Sebuah tempat kecil penuh sesak dengan banyak gerobak milik pedangang makanan.

Aku mulai mencari satu demi satu dibawah gerobak-gerobak itu, tak lama kemudian aku menemukan sebuah kotak kecil yang terbuat dari alumunium. Tentu saja kotak itu berwarna pink, betapa bodohnya orang yang bertanya. Lalu aku menunjukkan kepada temanku apa yang berhasil aku temukan. Ternyata memang benar itu adalah kotak pensil kesayangannnya dan semenjak itu semua orang percaya bahwa aku memiliki bakat untuk meramal.

--------

Hari-hariku kemudian dipenuhi oleh segala mimpi yang tidak jelas, sampai esok harinya baru terjawab apa arti mimpi tersebut. Terkadang aku tertidur lelap dan lupa akan mimpi tersebut namun... kebanyakan aku terbangun di tengah malam karena mimpi-mimpi tersebut. Hingga akhirnya...

Malam itu --- tanggal 23 Maret 2010 --- aku bermimpi bertemu dengan seorang pemuda tampan di sebuah restoran ternama. Aku mengobrol dengan pemuda misterius yang begitu tampan sehingga waktu terasa berhenti berputar. Pemuda itu mengajakku bermain ke rumahnya dan aku menyetujuinya tanpa berpikir panjang, entah mengapa. Mungkin karena pemuda itu begitu tampan dan memiliki paras yang dapat dipercaya, mungkin. Lanjutan mimpi itu aku tidak begitu ingat.

Aku terbangun dengan hati yang berdegup kencang layaknya kuda pacu yang baru memenangkan sebuah lomba terakhirnya. Bangun tidurku terus mandi, tidak lupa menggosok gigi. Kemudian pergi menimba ilmu seperti biasanya di sekolah.

Hari itu ulang tahun temanku, dan aku tidak tahu. Betapa bodohnya dan tidak pengertian diriku, tanpa rasa penasaran dan kasih sayang... toh ini semua adalah efek samping dari segala mimpi-mimpi keparat itu yang merenggut semua kejutan dalam hidupku yang singkat ini. Ia mengajakku untuk merayakan bersama hari dimana ia lebih tua setahun dan lebih dekat lagi dengan kematian, untuk berpesta pora di tempat rahasia.

--------

Sore harinya, setelah pulang sekolah aku langsung merapikan diriku dan memilih baju mana yang cocok untuk dipakai ke pesta ulang tahun temanku itu. Karena ia sebentar lagi akan datang untuk menjemputku sebagai tamu spesial yang berhasil mengembalikan benda peninggalan almarhum ayahnya itu.

Waktu sudah menunjukkan pukul tujuh malam, tidak ada secuil tanda-tanda akan kedatangan temanku itu. Aku hanya terus menunggu...

Biiip biiip biiiiiiiiip. Bunyi klakson sebuah mobil menyadarkan diriku dari fantasi sejenak. Ternyata itu adalah temanku yang sedang berbahagia merayakan ulang tahun ke 17. Secepatnya aku melangkahkan kaki untuk pergi naik ke mobil itu, tak lupa untuk mengucap salam sembari meminta izin kepada Nenek untuk pergi.

Setelah beberapa jam perjalanan, akhirnya aku sampai ke tempat misterius itu... yang bukan sebuah kejutan. Aku pernah melihat tempat itu. Sebuah restoran ternama yang pernah aku lihat dalam mimpi itu. Sialan!

Tapi aku tidak berkecil hati, karena seingatku... aku bertemu dengan pemuda tampan dalam mimpiku itu. Maka aku memutuskan untuk melanjutkan sandiwara pesta ulang tahun ini.

Ketika aku pertama kali masuk, mataku seperti burung hantu --- membelalak besar dengan leher menengok kiri kana seperti radar --- yang sedang memburu makan malamnya. Mencari dimana pemuda itu duduk dan tidak sabar untuk berkenalan dengan dirinya. Namun setelah 2 jam berlalu, tidak ada tanda-tanda kehidupan akan pemuda impianku itu.

Aku menyerah aku duduk sendiri di meja bundar kecil yang terletak di pojok ruangan, sendiri... merenung seperti biasanya.

--------

"Hei, sendiri saja. Boleh aku temani?"

"..."

"Kok diam saja? Kaget ya? Padahal aku sudah memberi pertanda lewat mimpi, bukan?"

"Ah.. maaf," Hanya itu yang dapat aku ucapkan ketika melihat pemuda tampan itu. Mimpiku ternyata tidak pernah salah.

"Aku mengagetkanmu ya?"

"Tidak kok, aku saja yang senang melamun."

"Oh ya, boleh aku berkenalan denganmu? Namamu Alanyssa, ya kan?"

"Ah, bagaimana kamu tahu namaku?"

"Itu mudah saja. Kamu seorang gadis yang masih perawan, hidup berdua saja dengan nenekmu karena dibuang oleh kedua orang tuamu."

"Tidak mungkin kamu tahu akan hal itu, hanya aku dan Nenek saja yang tahu akan hal itu!" Aku mulai panik dan ketakutan.

"Tidak perlu takut, jadi bolehkah aku berkenalan denganmu?" Pemuda tampan itu menjulurkan tangannya.

"Ah.. Namaku Alanyssa, tentu saja kamu sudah tahu akan hal itu."

"Namaku Tuhan."

Saat itu, sedetik terasa seperti keabadian. Aku bahkan tidak bisa merasakan detak jantungku sendiri. Ketakutan yang aku rasakan perlahan sirna. Tidak ada setetes keringat dingin yang mengalir dan tanganku tidak gemetar karena gugup. Semuanya entah terasa begitu sempurna.

"Ah... bercanda ya?" Aku bertanya, masih dipenuhi rasa penasaran.

"Tidak kok. Sudah ikut saja denganku. Mari pergi ke rumahku. Ok?"

"..."

"Apa lagi yang engkau tunggu wahai Alanyssa, perawan cantik yang hidup berdua dengan neneknya?"

"Baiklah... tapi, pastikan aku pulang dengan selamat ya."

"Tentu saja! Memangnya kamu kira aku ini siapa."

Malam itu aku pergi tanpa mengucap pamit kepada temanku yang sedang berpesta pora, aku tahu itu bukan tempat dimana seharusnya aku berada. Tapi... pergi tanpa mengucap pamit sepertinya melanggar etika. Persetan! Toh aku sudah diculik oleh Tuhan.

--------

Akhirnya aku sampai di rumah pemuda tampan itu, sebuah istana nan megah yang segalanya terbuat dari emas murni. Tanahnya seperti lelehan batangan emas yang empuk. Tanaman-tanaman di kebunnya seperti perhiasan dan bangunan rumahnya... ah aku kehabisan kata-kata untuk menggambarkannya. Intinya semua yang ada berkilau sangat indah mengalahkan malam yang paling cerah dihiasi milyaran bintang.

"Silahkan masuk."

"Ah... terima kasih."

"Kamu ingat apa yang kamu lakukan disini dalam mimpimu?"

"Ah... tidak, terkadang aku ingat mendetil segalanya namun tak jarang aku hanya ingat sepotong saja."

"Baguslah. Memang dari awal itu rencanaku. Mari masuk, anggap saja rumah sendiri."

Ia mengajakku tur keliling rumahnya yang jauh lebih menyenangkan dibandingkan waktu ke Dunia Fantasi untuk pertama kalinya, seperti mimpi namun ini sebuah kenyataan. Mulai dari ruang tamu hingga ruang tidur, semuanya serba megah dan terbuat dari emas. Berkilau kuning dan menyala-nyala, memberikan kehangatan tiada batas.

Sampai pada akhirnya ia menunjukkan sebuah ruangan terakhir...

"Ini, aku beri hadiah sebelum masuk ke ruangan terakhir dari rumahku ini. Setelah itu tidak ada misteri lagi." Pemuda tampan itu menyerahkan sebuah benda berharga.

"Untuk apa koin emas ini? Yakin mau memberikannya kepadaku?"

"Kamu lupa siapa aku? Sudah terima saja, toh menunggumu untuk tertidur lalu bermimpi akan memakan waktu yang lama."

"Terima kasih banyak, mari kita masuk bersama-sama."

"Ah, aku harus ke kamar kecil. Sudah dari pesta tadi aku menahannya, kamu pergi saja sendiri, ok? Tenang saja."

Pemuda tanpan itu secepat cahaya melaju, menghilang dari pandanganku. Aku sendirian terpana kemudian memutuskan untuk masuk ke ruangan terakhir yang masih menjadi misteri bagiku. Sebuah ruangan dengan pintu emas dengan ukiran-ukiran motif kuno purbakala.

--------

Ketika aku masuk ke dalam ruangan itu, tidak seperti ruangan yang lain. Ruangan itu gelap, yang ada hanya dua buah kursi dan meja yang tentu saja terbuat dari emas murni serta sebuah lampu gantung yang terbuat dari emas murni pula. Aku tidak tahu harus melakukan apa dalam ruangan itu, aku memutuskan untuk mendekati sumber cahaya itu. Rasa penasaran mengundangku, aku kemudian duduk di salah satu kursi emas itu.

Di atas meja itu terdapat sebuah pistol kecil yang terbuat dari emas putih, sebutir peluru dari emas putih. Aku tidak tahu untuk apa gunanya, namun... tiba-tiba sesosok mahluk hitam muncul dan duduk di kursi yang lain. Persis berhadapan denganku. Mahluk hitam yang bentuknya menyerupaiku, tanpa wajah namun ukurannya sama persis denganku.

Aku mencoba mengangkat tubuhku dari kursi emas itu, namun apa daya... sepertinya tubuhku seberat gunung dan akupun tak mampu untuk pergi kabur. Kemudian aku mencoba bertanya kepada mahluk itu.

"Siapa kamu?"

Tidak ada jawaban. Dia masih saja duduk di kursi emas itu dengan posisi yang persis sama denganku.

"Kalau tidak menjawab, untuk apa muncul dihadapanku?"

Masih saja tidak ada jawaban. Aku sangat ketakutan, lalu memutuskan untuk berteriak sekencang-kencangnya dengan harapan pemuda tampan itu datang untuk menolongku sembari menaiki kuda dari emas seperti dalam imajinasiku.

"TOLONG! TOOOOLLLLOOOONNNG!"

"Sssst DIAM!"

Mahluk itu akhirnya mengeluarkan kata-kata, aku terperanjat. Namun yang lebih menghebohkan lagi, mahluk itu sepertinya sedang berbicara langsung dengan batinku, akal pikiranku... selayaknya telepati.

"Ah, ampun. Siapa kamu? Kamu itu apa?"

"Kamu suka bermain?"

"Ampun, aku takut."

"Kamu tahu apa itu Russian Roulette?"

"Aku tidak suka bermain, ampuni aku. Maaf."

"Tidak bisa, setelah duduk disini harus mau ikut bermain."

"Baiklah, bagaimana caranya?"

"Di depanmu ada sebuah pistol dan peluru yang terbuat dari emas putih. Masukkan peluru itu kedalam pistol dan putar selongsongnya lalu kunci ke posisi awal."

"Ah.. aku tidak tahu bagaimana caranya."

"BODOH! Merepotkan saja, disuruh hal mudah seperti itu saja tidak bisa" Mahluk itu marah sembari menggapai pistol dan peluru emas putih itu.

Klik, klik klik, klik klak... Selongsong sudah memutar teracak dan pistol terkunci ke posisi awal. Permainan siap untuk dimulai.

"Ampun, kamu itu siapa?"

"Aku itu..."

"Apa? Apa? Apa?" Aku terus saja berteriak penuh tanya.

"Lihat ke bawah."

"Ada apa di bawah?" Aku melihat ke arah lantai dan keringat dingin perlahan mulai menetes.

"Lihat saja."

"Tidak ada apa-apa. Hanya emas."

"Kamu bodoh sekali, dimana ada cahaya disitu ada... ?"

Ketika itu aku baru tersadar bahwa bayanganku telah raib menghilang. Mungkinkah mahluk yang ada di depanku itu adalah perwujudan dari bayanganku sendiri?

"Sudah kita mulai saja permainannya."

"Ampun, aku tidak salah apa-apa. Mengapa kamu melakukan hal ini?"

"Sssst! Diam! Nikmati saja... dan karena kamu tamu. Sedangkan tamu itu adalah raja, er... ratu maksudku. Maka tembakan pertama untuk dirimu."

"Ahhh ampuuuun!"

KLIK! Bunyi pelatuk tanpa ledakan.

"Sial! Kamu beruntung."

"Ah.. syukurlah. Sekarang giliranku, bukan?"

"ENAK SAJA! Kamu itu tamu. Sedangkan tamu itu adalah raja, er... ratu maksudku. Maka harus dijamu habis-habisan. Tembakan kedua tentu saja milikmu juga."

"Ampun, apa salahku?" Aku kebingungan dan bertanya kepada diriku sendiri mengapa aku bisa terjebak dalam situasi seperti ini.

KLIK! Lagi-lagi bunyi pelatuk tanpa ledakan.

"Gadis perawan tidak tahu diri! Beruntung dua kali berturut-turut, Tuhan menyukaimu mungkin."

"Kapan giliranku? Jangan bermain curang!" Aku mendesak mahluk itu untuk memberikan pistol emas putih itu kepadaku.

"Hehehe, enak saja. Kamu itu tamu. Sedangkan tamu itu adalah raja, er... ratu maksudku. Tembakan berikutnya tetap saja akan menjadi jamuan untukmu. Tidak ada keberuntungan untuk ketiga kalinya."

Saat itu aku tidak tahu harus berbuat apa, yang mampu aku lakukan hanyalah mengenggam koin emas pemberian pemuda tampan itu dengan telapak tangan kiriku. Saat itu pula aku teringat pesan nenek: "Alanyssa, di jagad raya ini tidak ada mahluk yang mendapatkan keberuntungan tiga kali berurut-turut. Bahkan Tuhan sekalipun."

"Sudah siap?"

"Ampun, berikan aku beberapa detik untuk berdoa terakhir kalinya."

"Jangan pakai lama hehehe..."

Lalu aku memejamkan mata dan berdoa, masih berharap pemuda tampan itu untuk datang menyelamatkanku dengan menunggangi kuda emas. Kemudian aku membuka kedua kelopak mataku, tidak ada pemuda tampan. Mahluk kelam itu masih saja di hadapanku sembari menodongkan pistol dari emas putih. Aku berusaha mengintip, menajamkan indera penglihatanku agar bisa melihat selongsong peluru ada dimana, namun... tidak ada hasil.

KLIK! DOR! Bunyi pelatuk disertai ledakan yang mengaung dalam ruangan itu.

Dengan sekejap instingku mengambil alih pistol emas putih itu dari mahluk hitam brengsek --- yang telah merusak tur hiburan ke istana emas milik pemuda tampan itu ---, aku menembaknya. Tepat di tengah-tengah kepalanya.

"Hehehe, aku tidak bisa mati. Wahai gadis bodoh!"

"Ahhhhhhh!"

"Sekarang giliranku! Berani-beraninya kamu mengambil pistol itu dari genggamanku." Mahluk itu merebut pistol emas putih itu dari tanganku yang kembali gemetar ketakutan.

Lalu aku teringat bahwa cuma ada satu peluru emas putih. Aku selamat, setidaknya itu yang aku pikirkan...

"Hahaha, kamu kira cuma ada satu peluru?"

"Hah! Kamu bisa membaca pikiranku?"

"Tentu saja, lihat ke bawah!"

"Tapi, cuma ada satu peluru... kan?"

"Tidak gadis bodoh, aku sudah siap jika hal ini terjadi. Aku memiliki cadangan peluru."

Dengan tenang mahluk bodoh itu meraba-raba bawah meja dan menemukan sebuah peluru lagi. Kemudian ia memasukkan sebutir peluru emas putih yang baru saja ia temukan... ke dalam pistol laknat itu. Inilah akhir hidupku...

"Sudah siap? Kamu takut menemui ajal? Kali ini aku tidak akan berbaik hati. Aku akan menggenggam pistol emas putih ini dengan sangat erat. Hehehe..."

"Ampun! Aku tidak salah apa-apa!"

"Ssst, diam. Kamu salah karena tidak salah apa-apa hehehe..."

"GILA! KAMU GILA! TOLONG! TOOOOLLLLLOOOOONG!"

KLIK DOR! Bunyi pelatuk disertai dengan ledakan yang jauh lebih meraung dari sebelumnya, kali ini sangat tercium bau mesiu terbakar menyengat... memenuhi segala pikiranku.

--------

Krriiiiing Krrriiiiiiiiiing Kriiiiiiiiiing! Bunyi weker membangunkan diriku dari sebuah mimpi buruk. Untunglah...

Bangun tidurku terus mandi, tidak lupa menggosok gigi. Lalu aku bergegas pergi ke sekolah untuk menimba ilmu. Sebelum berangkat, karena penasaran... aku bertanya kepada Nenek.

"Nenek, sekarang tanggal berapa ya?"

"Aduh, Nenek kan sudah tua, jadi agak pikun. Sebentar ya, Nenek lihat kalender dulu yang ada di dapur."

"Cepat ya Nek, keburu telat pergi ke sekolah ni."

Aku melihat Nenek dengan kaki kecilnya yang sudah rapuh mempercepat langkahnya menuju dapur.

"Memangnya kenapa menanyakan tanggal Nyssa?" Nenek berteriak sekuat tenaga agar suaranya sampai kepadaku yang sudah duduk di depan pintu rumah.

"Tidak apa-apa nek, aku hanya lupa saja."

"Sekarang tanggal 23 Maret 2010."

"Ah..."

Seketika itu juga aku lemas, jiwaku seolah hanyut dalam banjir besar. Aku meraba kaki-kakiku untuk memulihkan tenaga. Saat itu, ketika aku meraba rok abu-abuku, ada sesuatu yang mengganjal di dalam kantung. Aku merogoh ke dalamnya... di kantung itu terdapat sebuah barang yang sangat berharga, sebuah koin emas murni.