Cerita Tentang Si Empat

Di suatu dunia imajinasi, hiduplah seorang mahluk yang dikucilkan. Kedua tangannya bersudut, demikian pula dengan kedua kakinya. Karena dua ditambah dua sama dengan Empat.

Begitulah ia terus hidup, mahluk-mahluk yang lain menganggap dirinya pembawa sial. Bentuknya memang aneh dan dianggap mengundang kematian.

Sungguh malang, mengapa ada mahluk sesial itu?

Seperti biasa, Empat pergi berkelana. Karena tidak ada seorangpun yang mau menjadi temannya. Ia pergi mencari teman, namun karena ia bodoh dan menerima nasib begitu saja... niscaya apa yang dipikirkan maka akan selalu terjadi penuh pembenaran.

Empat melangkahkan kaki-kakinya yang bersudut, menginjak rumput-rumput hijau yang masih bermandikan dengan embun. Empat memang biasa untuk bangun sangat pagi, oleh karena itu para ayam tidak sempat berkokok, sudah lebih dulu mati karena kalah cepat dengan si Empat.

Empat jalan kesana-kemari, lurus namun tidak mempunyai arah tujuan yang pasti. Rumput-rumput hijau yang tadi diinjak olehnya perlahan-lahan menjadi gersang dan kaku. Embun-embun sudah lari terbirit-birit karena ketakutan.

Tidak ada awan yang mau melindungi Empat dari sengatan panas matahari, meskipun bintang itu sedang menghilang karena takut bertatap mata dengan si Empat. Udara tidak berani bertiup apabila ada Empat di dekat mereka, lebih baik diam daripada terkena sial.

"Huhuhu... semuanya menjauhi diriku, kata mereka aku ini sudah sama dengan mati." Empat terus mengeluh dalam setiap langkah pengembaraannya.

Tapi siapa yang mau mendengar keluhannya?

Kedua tangannya yang bersudut tidak memiliki indera pendengaran, kedua kakinya yang bersudut lebih sibuk lagi membawa malapetaka kesana-kemari. Oh! Empat malangnya nasibmu. Hidup sendiri karena terbiasa, sungguh suatu kutukan! Tapi rasa rindu akan mahluk lain untuk berada di sampingnya telah menggerogoti jiwanya yang sepi.

Ah... kan masih ada bayangan yang setia menemani Empat berkelana, bukan?

Kamu bodoh! Ketika Empat lahir ke dunia, hanya dengan tangis rengekannya... seketika itu bayangan miliknya buru-buru pamit ke alam baka meninggalkan dia sendirian.

Siapa orang tua Empat?

Tidak ada yang tahu sampai sekarang. Mungkin yang menciptakan Empat terlalu serakah, sehingga mati ketika ada niat untuk menciptakan Empat.

Lalu bagaimana Empat lahir?

Ah.. sudah aku bilang, tidak ada yang tahu bagaimana ia lahir. Empat hanya tahu berkelana mencari arti keberadaannya.

Kenapa Empat bernasib sangat sial?

Halah... aku tidak tahu. Berhentilah bertanya dan nikmati saja narasi omong kosong ini.

Empat terus berjalan, sampai akhir jaman. Membawa teror dalam setiap langkah dari kedua kakinya yang bersudut. Membawa malapetaka dalam kedua telapak tangannya yang bersudut. Membawa ketakutan dalam dirinya, kepada dirinya sendiri.

Wah, kenapa Empat hidup sampai akhir jaman?

Aduuuh! Bertanya terus, bikin pusing saja!

Empat terus hidup, sampai semua orang mau menjadi temannya.

Kok... jawabannya tidak nyambung?

Sok pintar kamu! Dengarkan dan kunci lidahmu.

Ketika semua mahluk tidak lagi takut akan Empat. Ia mungkin dapat menyeringai bahagia mengalahkan sudut-sudut yang ada pada dirinya, serta kerinduannya akan rasa sepi menyendiri --- yang jauh lebih menyeramkan daripada dikurung dalam kotak kayu lalu ditimbun di bawah tanah --- telah hilang, maka...



Malaikat Kematian juga rela untuk menjadi sahabatnya.

Catatan: Ditulis untuk memenuhi Janji jumat tanggal 4 Juni 2010.