Saskia dan Seto

Di sebuah ruang makan yang dipenuhi barang-barang antik abad pertengahan. Seorang wanita memeluk sendu. Namanya Saskia. Ia menangis, air matanya mengalir seperti embun pagi yang mengayun jatuh di atas daun talas. Apa yang membuatnya sedih?

Saskia duduk di ruangan itu, tepat berseberangan dengan Seto. Nafasnya masih terisak-isak dan perlahan mulai mengucapkan kalimat-kalimat yang berasal dari lubuk terdalam hatinya.

Saskia:
Mau dibawa kemana hubungan kita?

Seto:
(Tetap duduk diam dan tersenyum)

Saskia:

Seto masih saja duduk diam dan tersenyum. Tidak peduli akan dunia. Sementara Saskia masih sedih dan marah, emosinya kalang kabut, semuanya bergabung tanpa kejelasan... seolah air dan minyak bisa bersatu.

Saskia:
Jawab! Mengapa hanya diam saja dan tersenyum seperti biasa.
CEPAT JAWAB!

Emosi saskia meledak, seperti gunung berapi tidur yang tiba-tiba memuntahkan jeroan magma. Ia masih saja tetap menggebrak-gebrak meja. Kaca meja itu mulai perlahan retak. Piring-piring merasa akan menjadi korban berikutnya, mereka menggigil ketakutan. Sendok dan garpu memilih untuk pura-pura mati. Kepalan Saskia mulai memerah namun ia tetap tidak peduli dan masih saja terus menggebrak meja, semakin lama semakin keras.

Brak brak brak! Brak brak brak! BRAK!

Akhirnya kaca meja itu pecah, kepalan Saskia terluka. Darah merah perlahan menetes keluar dari kulitnya, namun semua rasa itu tetap tidak bisa melampaui luka hatinya. Sementara Seto masih saja tetap tidak peduli akan dunia, duduk tenang sembari tersenyum... senyum yang lebar sekali penuh kesenangan seolah hidupnya memang selalu damai.

Saskia memang seorang wanita yang keras kepala, tidak peduli akan rasa sakit di tangannya, ia tetap melanjutkan untuk menggebrak meja itu. Memukulnya seolah ia adalah musuh terbesarnya, tanpa belas kasihan, tanpa ampun, tanpa menarik nafas untuk beristirahat dan kian lama isakannya mengeras.

Brak brak brak! Brak brak brak! BRAK! BRAK! BRAK!

Kali ini piring memilih untuk bunuh diri jatuh ke lantai, pecah berkeping-keping. Sendok dan garpu tetap tak bergeming, masih saja pura-pura mati di atas lantai. Seto masih saja duduk diam dan tersenyum, sepertinya memang ia sudah jauh dari dunia ini. Memandang lurus ke arah Saskia, tatapan kosong seolah tiada siapapun di depannya.

Saskia akhirnya lelah. Isak tangisnya belum berhenti, air matanya belum habis dan luka di hatinya semakin melebar... jauh melebihi perih di kedua kepalan tangannya. Tiba-tiba...

BRAK! BRAK! BRAK! BRAK! BRAK! BRAK! BRAK! BRAK!

Terjadi gempa! Piring, sendok dan garpu dengan kecutnya mencoba merangkak keluar tempat terkutuk itu. Saskia tersadar seketika, dengan cepat ia mengangkat tubuh Seto yang kecil namun gempal. Segenap tenaga entah dari mana muncul begitu saja, ia menggendong Seto. Membawa Seto seperti seorang ibu yang melindungi buah hatinya dekat-dekat di dada.

Saskia:
Untunglah! Kamu tidak kenapa-kenapa kan, Seto?

Seto tetap terdiam seribu bahasa dan masih saja tersenyum, matanya tetap bening hitam dan penuh ketenangan. Saskia menghela nafas, mengusap kepala Seto, lalu mengecup keningnya yang lucu. Jemari lentiknya membelai bulu-bulu halus berwarna coklat. Tubuh Seto memang dipenuhi bulu-bulu coklat tua yang halus dan lembut, memang begitulah ia diciptakan. Boneka beruang coklat peninggalan almarhum kekasih Saskia.