Dipatuk Ayam

Suatu hari, mahluk paling cantik di dunia ini membangunkan diriku. Dialah yang mengantarkan nyawa titipan Tuhan ini ke dunia dengan segala jerih payah dan penderitaannya.

Waktu itu pukul 2 siang dan aku masih saja terlelap di atas kasur sembari memeluk guling kesayanganku yang super empuk. Tentu saja wanita itu tidak bisa tinggal diam melihat buah hatinya masih saja bermalas-malasan, karena ia tahu aku tidak bisa menghasilkan uang di atas kasur karena jikalau aku menjadi gigolo pasti tidak laku.

"Mas, bangun tooo! Uwes siang iki." Sembari menepuk pantatku dan mencium pipiku.

"Hmmm...." Jawabku untuk menjamu rutinitas siang hari yang membosankan.

"Hayo bangun! Uwes jam loro iki! Cepet to." Perempuan pendamping Tuan Besar itu masih terus saja mendesakku.

"Hmm, iya Ma. Aku kan smalem baru tidur jam stengah 5-an." Alasanku mencuat keluar.

"Sopo suruh begadang. Mama tunggu ya dibawah."

Aku mengambil nafas dengan perlahan, santai sejenak lalu berusaha mati-matian menghimpun seluruh energi di jagad raya ini untuk masuk ke dalam diriku agar aku mampu untuk mengangkat pantatku dari istana kecil milikku ini.

Sampainya dibawah, aku langsung menuju kulkas dan meneguk segelas air putih dingin. Mengambil koran, melihat-lihat sebentar (tidak dibaca tentunya) lalu menyapa Mama dan Papa.

"Mas, klo bangun yang pagi to! Kowe iki, kerjaanmu turu-mangan-turu-moco komik. Oalah Cah Bagus." Mama kembali memberikan wejangan spesial siang hari untuk memotivasi diriku.

"Iya Ma, santai aja napa. Sarapan dong."

"Bi Isah lg masak makan siang, nanggung skalian makan siang aja."

"Okeh, tp diganjel mie goreng dobel dulu bisa ni."

"Udah nanti aja makan nasi dulu. Kamu kalo bangun pagi gt, yg disiplin. Klo ga bangun pagi nanti rejekinya dipatok ayam."

"Iya Ibundaku tercinta Raden Kanjeng Roro tercantik sedunia, bawel deh. Aku tetep masih mau mi gorengnya loh."

Kemudian aku kembali ke kamarku untuk menunggu mie goreng datang, menggeletakkan tubuhku diatas kasur dan memeluk guling. Menuju ke alam mimpi lagi.

---------

Aku mengasumsi bahwa 'rejeki dipatok ayam' itu merupakan kiasan yang dipinjam dari bangsa barat... 'Early birds get the worms". Memang menyeramkan kaum itu, begitu kompetitif dan disiplin.

Setiap kali aku dinasehati seperti itu, aku hanya bisa tertawa kecil dalam hati. Mengapa?

Secara sederhana aku hanya bisa menjelaskan sebagai berikut:

Burung yang bangun pagi, akan memakan cacing-cacingnya. Tapi bagaimana dengan nasib cacing yang bangun pagi?

Hahaha! Jadi wahai para cacing, masih sudikah membaca lanjutan tulisan ini?

Aku tentu saja bukan cacing... itu sudah jelas dan fakta. Aku ini mahluk malam yang rindu akan sinar mentari hanya untuk membutakan mataku. Sementara kalian wahai para cacing tanah yang bangun pagi, apa yang bisa kalian lakukan?

Cacing tetaplah cacing. Biarkan para cacing bermimpi untuk menjadi naga. Toh pada akhirnya itu hanyalah sebuah mimpi belaka. Turunkan saja mimpimu itu, kalau melamun nanti bisa dipatuk burung yang bangun pagi. Berhati-hatilah!

Mungkin yang bisa kalian lakukan --- wahai para cacing penunggu tanah penuh tinja --- adalah bertapa, bermeditasi dan puasa berbulan-bulan untuk menjadi kupu-kupu. Tapi tentu kalian mesti ingat bahwa... cacing tetaplah cacing! Menurunkan mimpi jadi kupu-kupu adalah hal yang mustahil. Kupu-kupu hanya bisa dihasilkan dari ulat yang bekerja keras lalu mendisiplinkan diri. Jadi abaikan saja mimpimu menjadi kupu-kupu dan tetaplah menjadi cacing bermandikan limbah lumpur. Tak lupa, akupun mengucapkan selamat untuk para ulat yang bekerja keras.

Lagi-lagi perlu diingat bahwa ulat yang bangun pagipun tentu akan menjadi mangsa burung yang bangun pagi. Hahahahahahaha!