Surat Untuk Libitina

Seorang gadis berambut hitam lurus dan halus seperti sutra, memakai kacamata berbingkai bentuk kotak. Senyum yang ia miliki sangat sempurna. Hanya perlu sekali melihatnya saja dan engkau bisa menilai senyum itu yang terbaik di dunia ini. Libitina, begitulah kedua orang tuanya memberikan ia sebuah nama.

Libitina gadis yang baik, selalu tahu akan etika dan berbuat baik kepada siapapun tanpa memandang bulu. Meskipun begitu, entah kenapa peruntungan selalu buruk. Mungkin ia memang ditakdirkan untuk bermusuhan dengan Dewi Fortuna.

Suatu pagi yang cerah, tanggal 1 Januari 2009. Seperti biasa, ia melakukan rutinitasnya. Mematikan bunyi alarm yang mengganggu mimpi indahnya. Mencuci muka dan menggosok gigi kemudian pergi ke pintu depan rumahnya untuk mengambil koran dan mencari-cari berita apa yang dilewatkan olehnya kemarin. Sudah menjadi kewajiban bagi dirinya dan sebuah tuntutan pekerjaan sebagai jurnalis untuk terus memburu informasi.

Tapi pagi itu... alangkah terkejut dirinya menemukan sebuah surat dengan amplop hitam. Surat itu begitu saja tergeletak di depan pintu rumahnya, namun sang pengirim tidak mencantumkan namanya. Hanya sebuah alamat pengirim. Libitina lahir dengan rasa penasaran yang berlebihan. Tanpa berpikir dua kali, ia langsung membuka dan membaca isinya.

Surat itu memang aneh, amplopnya hitam dan kertas didalamnya hitam. Libitina heran melihatnya, mengapa jaman sekarang yang serba canggih ini masih saja ada yang memakai jasa merpati jingga tersebut.

Rasa keingin-tahuannya memuncak. Pelan-pelan ia membaca surat itu. Surat dengan tulisan berwarna merah seperti darah.

"Halo!
Siapa disana?
Bolehkah aku berkenalan?
Aku hanya ingin mencari teman baru, teman untuk menulis.
Bukan teman-teman palsu seperti dalam dunia jejaring sosial."

Libitina hanya terseyum, tidak muncul satu kecurigaan dalam dirinya. Ia kemudian beranjak masuk kembali kedalam rumah. Awal tahun, semua orang libur.

"Ah... awal tahun ya. Kok ada orang yang mengirimkan surat ini. Tidak ada salahnya aku mencoba untuk membalasnya. Siapa tahu aku akan mendapat teman baru." Libitina berbicara kepada dirinya sendiri.

Memang begitulah hidup seorang wanita karir yang gemar bekerja. Tidak punya pacar untuk menemani liburan dan sudah lama tidak berhubungan dengan keluarga karena terlalu sibuk. Libitina tenggelam dalam kesepiannya.

Ia pun pergi ke ruang kerjanya. Dasar wanita sinting yang gila kerja! Akhirnya Libitina mulai menulis surat balasan untuk pengirim misterius tersebut.

"Halo!
Siapakah gerangan yang mengirimkan surat misterius ini?
Tidak sopan untuk berkenalan sebelum mengenalkan diri terlebih dahulu."

Jawaban yang singkat, jelas dan padat. Kemudian ia mengorek-ngorek laci mejanya, berharap menemukan sebuah amplop dan perangko yang masih layak pakai. Maklum, jaman sekarang semua sudah terhubung melalui internet dan segala fasilitasnya bisa gratis. Untuk apa repot-repot melakukan pemborosan dengan membeli amplop dan perangko?

Ia menuliskan alamat yang dituju. Jalan Tumbal No. 13 Kavling X, Jakarta.

Libitina kemudian pergi menuju kotak pos terdekat. Kotak yang usang dimakan waktu, kotak yang mencerminkan nasib dirinya. Kotak yang selalu berdiri tanpa kenal lelah melayani hingga akhirnya terbengkalai dan dilupakan.

---------

Esok harinya, lagi-lagi sebuah amplop hitam muncul. Libitina dengan cepat mengangkat amplop itu dari karpet bertuliskan 'Welcome'. Karpet yang masih bagus sekali, seperti tidak pernah diinjak oleh seorangpun di dunia ini.

Hari itu sudah kembali benar-benar menjadi normal, Libitina orang yang disiplin. Secepatnya ia merapikan diri. Menuangkan air panas kedalam sebuah cangkir untuk memasak mie instan. Meminum hidangan tersebut seperti jus lalu bergegas pergi ke kantor.

Begitu ia sampai di kantor. Libitina membuka satu per satu surat-surat yang ada di atas mejanya. Setelah habis membaca itu semua, barulah ia ingat akan amplop hitam misterius itu. Padahal itu satu-satunya surat yang memberikan dirinya sebuah kesempatan untuk bersosialisasi. Dasar betina yang suka memeras keringat!

"Terima kasih sudah sudi meluangkan waktu untuk membalasnya.
Aku hanya seorang manusia biasa.
Tepatnya seorang pria.
Aku malu untuk memperkenalkan namaku, tapi apalah arti sebuah nama?
Maukah engkau menjadi temanku?
Salam Kenal Ya."

Itulah yang tertulis dalam surat itu. Libitina pusing setengah mati, mengapa ada orang seaneh ini di jaman modern yang serba praktis. Merasa rasa penasarannya belum terjawab, ia memutuskan untuk memberi sebuah balasan lagi.

"Salam kenal juga.
Aku juga seorang manusia, sayangnya kita berbeda kubu.
Aku berada di pihak hawa.
Wah, benar... apalah arti sebuah nama.
Bukankah yang terpenting adalah niatnya?
Darimana Mas mendapatkan alamatku?
Apa yang bisa aku bantu, Mas?
(Boleh aku memanggilmu begitu?)"

Libitina, seorang jurnalis yang dipercaya di kantornya. Karena reputasinya itu, semua orang menghormatinya. Tidak jarang beberapa koleganya bersaing mati-matian untuk merebut hati dan senyumnya yang sempurna itu. Apa boleh dikata, Libitina jauh mencintai apa yang disebut kerja... daripada sebuah penis. Dasar wanita errr... gadis karir!

--------

Lagi-lagi keesokan harinya. Amplop hitam misterius yang ditunggu-tunggu muncul. Kali ini Libitina tahu mana yang lebih asik untuk dikerjakan. Libitina membaca isi surat itu...

"Sudah tentu boleh dong, Mbak.
(Aku juga boleh ya memanggilmu seperti itu?)
Aku tahu alamat Mbak murni karena keisengan, sekedar coba-coba di waktu luang.
Eh, ternyata mendapat balasan.
Beruntung!
Lebih beruntung lagi kalau ternyata seorang wanita hehehe...
Kalau aku punya masalah boleh aku cerita?"

Libitina senang sekali menolong orang. Sudah pasti ia dengan mudah menerima penawaran orang misterius itu. Kembali ia menuliskan balasannya.

"Boleh dong!
Tapi ganti-gantian ya.
Memang situ doang yang punya masalah hahaha...
Kalau aku bisa membantu Mas, dengan senang hati pasti akan aku lakukan. :)
Memangnya...
Mas punya masalah apa?"

Libitina membalas surat itu tanpa pikir panjang penuh perasaan senang. Mungkinkah Libitina jatuh cinta kepada Si Misterius itu? Ah... mustahi!

Tak lupa, Libitina menyuruh seorang office boy andalannya untuk membelikan amplop dan perangko karena stok yang ada di kantor sedang habis. Tentunya office boy yang bersedia menjadi kacung itu juga sedang diam-diam merencanakan aksinya untuk merebut hati sang primadona kantor, namun sayang... selalu saja aksinya gagal untuk mendapatkan perhatian dari Libitina. Maklum, namanya juga Libitina. Kerja nomor 1 yang lain belakangan, kecuali amplop hitam itu. Mungkin.

---------

Roda waktu terus berputar, tanpa terasa hari sudah berulang kembali. Terutama untuk Libitina... Senin bekerja, Selasa bekerja, Rabu bekerja, Kamis bekerja, Jumat kerja, Sabtu dan Minggu kalau bisa lembur! Begitu pula dengan kegiatan barunya, bermain sahabat pena dengan Si Pria Misterius.

Libitina menceritakan segala kegiatannya, membagi segala masalah yang sedang dideritanya serta memberikan solusi gratis bagi setiap cobaan yang sedang dihadapi oleh teman surat menyuratnya.

Tanpa disadari, Libitina membuka segala dirinya seperti sebuah buku. Kepada Si Misterius, begitu pula sebaliknya. Mungkin karena mereka berdua sama-sama tidak tahu nama dan sama-sama tidak kenal fisik, sehingga merasa semuanya aman saja untuk berbagi. Manusia memang aneh, segala tabiatnya tidak bisa diprediksi.

Sampai pada akhirnya surat yang dinanti-nanti muncul...

---------

"Mbak,
Sudah 1 tahun 2 bulan dan 25 hari, tidak terasa ya?
Selama itulah Mbak sudi menemaniku dengan surat-surat indah dari Mbak.
Terima kasih banyak.
Jika tidak merepotkan, sudikah Mbak bertemu denganku?"

Waktu terasa begitu cepat ketika semuanya berjalan dengan baik, selama itulah Libitina mengenal Si Misterius. Libitina sekarang tetap saja masih gila kerja dan juga muncul kegilaan baru... membalas surat-surat hitam yang selalu muncul setiap pagi hari di depan pintu rumahnya, tidak peduli apakah hari itu sedang libur atau bekerja, cerah maupun hujan. Surat hitam itu dengan setia tergeletak di karpet tulisan 'Welcome' yang masih kelihatan baru.

Libitina dengan perasaan bahagia membalasnya. Libitina tahu hanya inilah satu-satunya cara untuk menjawab rasa penasarannya. Bertemu langsung dengan orangnya, bertatap muka dengan Si Misterius. Hanya beberapa detik melihat dalam bola mata Si Misterius, barulah rasa penasarannya akan terjawab.

"Tentu!
Aku akan berkunjung besok, tapi aku tidak tahu jam berapa.
Seusai aku kerja, aku akan kesana ya Mas?
Tunggu aku Ok?
Aku sudah tidak sabar bertemu denganmu."

--------

Esok harinya, tanggal 26 Maret 2010. Surat hitam itu kembali berkunjung. Isinya yang sangat singkat namun mampu untuk membakar semangat Libitina, "Aku tunggu ya Mbak."

Sesampainya di kantor, Libitina tidak perlu membalas surat hitam itu. Tidak perlu mengacungi office boy yang diam-diam juga setia membelikannya amplop dan perangko balasan. Libitina tahu bahwa hari ini ia akan bertemu dengan Si Misterius. Jantungnya berdetak dengan cepat di hari itu.

"Libitina, kamu pergi ke daerah ini ya. Liput semua kejadian disana. Secepatnya, Ok?" Bos Libitina memerintahkan untuk kerja di luar kantor, sembari menyerahkan alamat yang dituju dalam sebuah amplop.

Libitina kemudian membaca alamat yang diberikan. Matanya berbinar-binar. Dasar gadis maniak kerja! Libitina segera bergegas, ia merapikan dirinya dan keluar kantor untuk meliput. Memanggil taksi dan berjalan menuju ke tempat yang sudah diperintahkan sang Bos.

"Mau kemana Bu?" Supir taksi itu bertanya dengan ramah.

"Jalan Tumbal No. 13 Kavling X Pak. Secepatnya ya. Nanti aku kasih bonus."

Taksi itu melaju dengan cepat, menembus jalan-jalan ibukota. Membelah laju lalu lintas. Taksi itu bukan lagi sebuah mobil, taksi itu sudah berubah menjadi ular yang meliuk-liuk dengan lihainya untuk kembali ke sarang.

---------

Ckiiiiit! Bunyi rem taksi tersebut menderik. Bau mesin panas memenuhi udara disekitar, bercampur dengan asap polusi kentut yang dihembuskan pantat taksi itu.

"Bu, kita sudah sampai."

"Terima kasih Pak. Ini, ambil saja kembaliannya. Itung-itung sebagai bonus." Libitina memberikan selembar kertas dengan gambar Presiden Pertama beserta Wakilnya.

"Sama-sama Bu." Supir taksi itu tersenyum sumringah.

Begitu Libitina menutup pintu, taksi itu langsung memacu kembali gasnya dan kabur seperti koruptor.

Rumah yang bagus dan megah berdiri di depannya. Libitina dengan gugup menekan bel. Bunyi musik klasik yang dihasilkan bel itu memenuhi pikirannya.

"Permisi Mbok, ini rumah nomor 13?" Ia bertanya dengan sopan kepada wanita paruh baya yang sepertinya bertugas memelihara rumah megah tersebut.

"Maaf Bu, ini bukan nomor 13. Ini dulu nomor 13, sekarang jadi nomor 12. Yang nomor 13 sekarang di belakang rumah ini. Tinggal masuk gang sebelah."

"Terima kasih banyak Mbok." Libitina melanjutkan pencariannya, memasuki gang kecil disebelah rumah megah itu.

Libitina memacu langkahnya, ingin cepat bertemu dengan Si Misterius. Sayang, nasib berkata lain. Sebuah batu menjegal mata kakinya. Libitina jatuh tersungkur, kacamatanya pecah. Alas! Kacamata dengan bingkai berbentuk kotak yang berkilau, sekilau rambutnya yang hitam halus bak sutra kualitas tertinggi sekarang sudah retak terbelah-belah. Lensanya hancur berkeping-keping. Namun Libitina pantang menyerah, ia segera bangun dan merapikan dirinya. Memang itulah modal yang ia punya sebagai jurnalis, rasa pantang menyerah... disamping senyumnya yang sempurna. Sebuah batu tak mungkin dapat merenggut senyum itu.

Libitina meperlambat langkahnya, namun terus maju ke depan. Penglihatan Libitina buram, kacamata penolongnya sudah rusak.

---------

Sampai pada ujung gang tersebut. Libitina melihat sebuah pagar. Terpampang nomor 13, kecil sekali angka itu. Libitina tanpa menggunakan kacamatanya mesti mendekat dan memicingkan matanya untuk membaca angka itu. Layaknya para peneliti di depan mikroskop mereka.

"Hmm, ini ya nomer 13. Akhirnya sampai juga. Apakah aku sudah siap bertemu dengannya? Aku tadi jatuh, mungkin sekarang aku kotor dan tidak rapi. Bisa buruk ni kesan pertamanya. Aku sudah 27 tahun sendiri, sudah saatnya mencari seorang pasangan. Ah... sudahlah, jangan terlalu berharap banyak. Toh kalau sebatas itu saja ia menilai diriku. Berarti memang ia bukan pria yang aku nanti-nanti selama ini." Kebiasaan Libitina muncul, ia berbicara dengan dirinya sendiri. Begitulah saat ia menghadapi sebuah keraguan.

Pandangan Libitina berkabut, tidak mampu melihat lebih dari 1 meter apa yang ada di depannya. Bayangkan betapa tebalnya kacamata yang ia miliki. Belum lagi setiap membaca tulisan yang tidak ia mengerti, Libitina selalu mendekatkan tulisan itu ke matanya dan memicingkan mata seperti kondisinya saat ini. Salah satu penyokong nyawa Libitina sudah tidak ada, kacamata yang setia menemaninya sudah hancur sekarang. Ia hanya terus maju memasuki tempat itu. Tidak ada bel, pagarnya tidak terkunci. Berharap menemukan pintu yang bisa diketuk.

Tiba-tiba... Gubrak! Libitina lagi-lagi jatuh, ke dalam lubang di tanah. Lubang yang berbentuk kotak persegi panjang. Lubang dengan kedalaman 1,5 meter, lebar 1 meter dan panjangnya tidak diketahui. Libitina bingung, mengapa ada lubang seperti ini di tengah jalan. Dasar Libitina, ceroboh sekali.

Libitina terus maju di dalam lubang itu. Ah ternyata panjang lubang itu hanya 2 meter. Pantas saja Libitina tidak tahu panjangnya, pandangan ia sangat terbatas. Namun Libitina lebih heran lagi dengan apa yang ditemukannya di ujung lubang itu. Sebuah prasasti dari batu dan sebuah pohon besar berdiri dengan tegap menaungi prasasti dan lubang itu.

Kemudian angin berhembus dengan keras, awan berlarian, petir menyambar dan hujan mulai turun. Libitina panik, ia berusaha menggapai prasasti itu untuk mengangkat dirinya keluar dari lubang sialan itu. Lubang keparat yang membuat dirinya semakin kotor dan tidak siap untuk bertemu dengan Si Misterius.

Libitina meraba-raba prasasti itu. Berharap mampu untuk menggenggamnya, lalu kemudian mengangkat dirinya. Namun apa daya, hujan membuat permukaan batu menjadi licin. Libitina terus meraba-raba, ia pantang menyerah. Kemudian ia kaget! Di permukaan halus prasasti itu, telah terukir namanya.

Kilatan cahaya menyilaukan, tidak sampai satu detik.

Buaaaaak! Sebatang kayu besar jatuh menimpa tepat persis di ubun-ubun kepalanya. Petir telah menyambar pohon itu dan bau hangusnya tersebar luas. Barulah terdengar bunyi halilitar yang menggema.

Libitina jatuh tersungkur, kembali di dalam lubang itu. Menengok ke arah kiri dengan sisa tenaga yang ia miliki, yang terlihat hanyalah air comberan hujan bercampur darah segar dan tetesan air matanya.

Di prasasti itu tertulis:

--- Libitina ---

14 Februari 1983 - 26 Maret 2010

Thanatos rindu akan pelukan dinginnya



Catatan:
Ditulis untuk memenuhi Janji Jumat dengan tema 'Surat Tanpa Nama', namun apa daya aku memang pemalas dan baru selesai hari ini. Mohon maaf.