Si Boar

Aku seorang pemuda dengan berat badan 111 kilogram, berumur 15 tahun. Sekolah di salah satu SMP Islam ternama di Jakarta, sebuah institusi dengan mesjid besar yang menjadi kebanggaanya. Kulitku sangat hitam sekali, mataku sipit dan senantiasa memakai kacamata dengan bingkai bentuk lingkaran yang terbuat dari plastik murahan. Hidungku pesek dan besar, ujungnya menekuk ke depan seolah seperti mata ketiga yang berada tepat di tengah wajahku yang tidak pernah dilirik perempuan lain... bahkan semenjak kecil dahulu.

"Oi Bi! Kaga balik lo?"

"Nanti aja, gw mau cari makan dulu. Lagipula gw nunggu Mak gw dateng jemput." Aku menjawab temanku yang masih berbaik hati menyapa diriku yang hina ini.

"Gila lo makan mulu, tadi istirahat pertama uda makan nasi uduk, istirahat kedua mesen nasi padang ckckck... sekarang mau makan ape? dimane?"

"Ah, paling gw nyari makan di depan aja. Sekitar sini, males jalan. Nasi rames warung biasa aja."

"Dasar babi lo, makan mulu kerjaan lo. Ya uds, gw balik duluan ya Bi, ati-ati nyebrang jalannya. Nanti pantat lo yang gede itu lecet kesrempet bis."

"Bawel dah lo. Yo, ati-ati juga lo."

Begitulah teman-teman memanggilku, panggilan dari sebuah binatang yang diharamkan oleh agamaku tercinta ini. Babi, mereka memanggilku dari yang paling haram. Ah... entah kenapa, mungkin memang karmaku ini buruk. Seandainya teman-temanku tahu bahwa babi berkulit pink seperti kulit jambu, sedangkan kulitku hitam. Mereka bodoh, seharusnya mereka memanggilku dengan sebutan babi hutan, atau lebih baik lagi... celeng!

Ah.. aku lupa memperkenalkan diri, namaku Boar. Shio-ku juga babi.

--------

Kriuuuk, kriiuuuk kruuuk. Bunyi perut Boar mengaum. Peluhnya menetes deras, ketiaknya basah. Sembari membawa handuk kecil yang selalu dikaitkan di pundaknya seperti tukang oplet, ia terus berjalan perlahan-lahan menuju warung langganannya yang terletak persis di seberang sekolahnya. Ia sudah hapal dengan posisi tempat makan favoritnya itu, usai sekolah dengan menutup mata niscaya pasti ia bisa sampai dengan selamat... jika bokong besar miliknya itu tidak terhantam bus yang lewat. Hidungnya yang aneh itu pasti dengan setia membimbimnya menuju aroma harus tumisan bawang dari warung itu. Bau yang menyerbak keluar, mengalahkan seluruh polusi ibukota. Bau yang mengundang rasa lapar manusia-manusia rakus.

"Bu! Biasa ya, porsi usai belajar ni Bu. Jangan pake lama ya!" Boar memerintah ibu pemilik warung tersebut, seolah ia adalah tuan besar pemilik warung itu.

"Ini Aden, porsi biasa. ayam 2, telor 2, tempe 4, tahu 3 dan nasi tambahannya Ibu pisah di piring lain." Ibu pemilik warung itu tersenyum melayani salah satu pelanggan setianya, murid dengan penyumbang dana terbesar kepada warung kaki limanya itu.

"Mantap! Makasih ya Bu."

Boar kemudian berdoa sebentar, untunglah ia tidak lupa dengan Tuhan. Kemudian melahap seluruh hidangan itu, seperti seorang yang sedang tenggelam dan kehabisan nafas di laut lepas. Mulutnya meraup semua, belum habis menguyah tanpa menelan... sudah masuk lagi suapan baru. Begitu terus, tidak sampai 5 menit semuanya ludas habis.

--------

"Haduh Boar! Mama pusing 7 keliling tau nyariin kamu tadi di dalam sekolah, taunya kamu disini. Uda selesai makannya? Yuk pulang."

"Iya Ma, bentar lagi. Ngambil nafas dulu, 5 menit ok!" Boar memerintah Mamanya seperti ibu pemilik warung itu.

"Ya uda Mama tunggu di halte ya, cepetan. Kalo kelamaan nanti masuk jam padet, bisnya penuh sesak, Mama ga betah."

"Iya Mama."

Begitulah hidup Boar, seorang bocah satu-satunya. Boar tidak seperti murid lain yang berasal dari keluarga mampu. Sayangnya pergaulan di sekolah ternama itu pelan-pelan menggerus sifat aslinya.

Akhirnya Boar melangkahkan kaki keluar dari warung itu menuju halte. Mengunjungi sang Mama yang sudah tidak sabar ingin pulang bersama anaknya.

Setelah 15 menit menunggu, bis itu datang. Boar dan Mamanya duduk di kursi kedua dari depan sebelah kanan, bukan di belakang supir. Perjalanan masih cukup jauh untuk mereka berdua, untungnya mereka tidak perlu ganti-ganti angkutan karena rumah mereka terletak di sebelah pool bis jurusan itu. Sembari membunuh waktu, mereka berdua mengobrol.

"Bu, kenapa aku dinamakan Boar?"

"Ah, itu memang Papamu yang memberi nama. Nanti tanya Papa aja kalau ada waktu berduaan."

"Yaaah, Mama... payah ni. Mama dulu kenapa bisa datang ke Jakarta?"

"Yah, waktu itu Mama dan Papa saling mencintai. Melihat di desa tidak ada peluang untuk menjadi kaya, akhirnya Mama dan Papa meminta ijin kepada Kakek Nenek untuk segara menikah dan menggadaikan nasib di ibukota. Ya sekarang begini lah, lumayan kan? Kamu kalo makan hemat makanya, nyari duit tuh susah!"

"Iya Ma, tapi kok Papa bisa berhasil? Setauku, Papa kan cuma lulusan SMA ga jelas di desa terpencil."

"Papa itu orangnya hebat, mau bekerja keras. Kalau tidak pernah menyerah, pasti Allah memberikan jalan."

"Hahaha, amin. Papa dulu pertama kali gimana bisa kerja seperti sekarang?"

"Papamu dulu ya Boar, pertama kali kita datang ke Jakarta... Papa dan Mama ga punya sama sekali kenalan. Papa dan Mama sempat jadi gembel, menginap di halte-halte dan lorong jembatan. Papa hanya kerja menjadi pencuci piring, Mama kerja lepas untuk membantu para pekerja rumah tangga mencuci baju, rasanya seperti diperbudak oleh jongos."

"Lalu kok bisa seperti ini?"

"Meskipun Papa cuma lulusan 'eS-eM-eA' desa terpencil seperti yang kamu bilang itu, Papa orangnya ulet, rajin dan selalu merencanakan langkah ke depan. Oleh karena itu Mama percaya ketika dilamar dulu."

"Jawaban Mama ga nyambung ni! Aku nanya gimana proses jenjang karir Papa dulu."

"Hahaha gayamu Nak, proses jenjang karir, sudah seperti orang dewasa saja cara berbicaramu itu. Gini Boar anakku satu-satunya yang tersayang, Papa dan Mama kerja jauh lebih hina daripada para pembokat dan jauh lebih keras dibandingkan tukang sapu jalan. Tapi waktu itu, mungkin nasib baik... Papa sedang makan di warung nasi favoritnya, di bawah jembatan. Saat itu Papa bertemu dengan seorang pemilik peternakan, aneh memang seorang pengusaha kok mau makan di tempat seperti itu. Lalu Papa bercakap-cakap, setelah itu ternyata seperti dapet durian runtuh Boar. Papa ditawari untuk kerja dengan Om Bono. Lalu Papa kerja lebih keras lagi, lebih rajin lagi, lebih ulet lagi. Semuanya untuk Mama yang waktu itu tepat sedang mengandung kamu. Makin lama Om Bono melihat Papa kerja, Om Bono menyukainya dan sekarang sudah jadi kepala cabang salah satu peternakan. Alhamdulillah. Gitu ceritanya..."

Groook, grooook, grok... groooook. Bunyi ngorok Boar yang ketiduran mendengar cerita Mamanya.

"Hey Boar! Bangun! Kita sudah sampai Nak." Mama membangunkan Boar yang terlelap dibuai goyangan liar bis itu.

--------

Masih di hari yang sama, waktu menjelang Maghrib.

"Ma, aku pergi ke masjid dulu ya. Solat di sana aja sekalian ngajar anak-anak ngaji nanti. Walaupun duitnya kecil tapi lumayan lah."

"Ya Pa, ati-ati."

"Itu Boar nanti solat bareng Mama ya, berjamaah. Biar dia jadi imam."

"Ok! Selesai ngajar langsung balik ya Pa, cepet ga usah pake nangkring-nangkring dimana dulu. Aku uda mau mulai masak dagingnya ni untuk makan malam nanti." Mama kembali menuntut lebih banyak kepada suaminya.

"Iya Ma hehehehe, Assalamualaikum."

"Walaikumsalam."

--------

Tibalah waktu makan malam, sekeluarga itu berkumpul di meja makan yang kecil. Sebuah ruang yang disatukan dengan dapur. Hidup di Jakarta memang sulit, namun selama masih ada atap dan makanan, serta semangat mereka tidak pernah padam... niscaya Tuhan pasti memberikan jalan.

"Selamat makan Ma, selamat makan Pa." Boar dengan sopan memulai makan

"Boar, jangan lupa berdoa dulu!" Mama mengingatkan.

"Iya berdoa dulu Boar, ini rejeki kita untuk hari ini." Papa ikut menimpali.

"Udah kok tadi. Ini dagingnya tebel banget, setiap hari dapet jatah dari peternakan. Enyak enyak eeeenyaaak." Boar melahap daging itu, membantai serat lemak itu dengan gigi-gigi kuatnya. Mengusap buas daging itu dengan lidahnya.

"Hahaha, siapa dulu dong. Papa! Enak?" Papa bertanya dengan penuh rasa bangga atas pencapaian usahanya selama ini.

"Enak Pa! Makanya aku bisa gendut kaya gini."

"Kamu harus rajin olah raga Boar, biar sehat dan dapet pacar." Mama kembali memberi wejangan yang selalu keluar setiap hari.

"Aku terlalu sibuk belajar Ma, otakku lebih butuh energi protein daripada dikuras jadi keringet. Besok ada ujian lagi, aku abis ini mau belajar." Boar kembali melawan orang tuanya sembari melawan daging-daging yang melompat di dinding mulutnya.

Makan malam selalu ramai, keluarga itu berkumpul dengan bahagianya. Sungguh keluarga kecil yang indah, membuat iri para tetangganya.

--------

Malam terus berlalu, sepi. Hanya bunyi detik jam yang menemani Boar belajar. Sampai tiba-tiba semuanya gelap gulita.

"Bangsat! Dasar PLN, licik bener si memadamkan listrik disaat orang-orang tidur. Besok ujian, belajar belom kelar. Haduh..." Boar mengeluh kepada dirinya sendiri. Seandainya bayangan bisa berbicara, pasti bayangan itu menjawab dengan tertawa cekikikan.

Boar berjalan keluar kamarnya yang kecil, menuju kamar mandi di belakang. Melalui lorong sempit, Boar melihat ada sebuah cahaya dari kamar orang tuanya. Boar heran, mengapa jam segini Papa dan Mamanya belum tidur. Boar pun membuka pintu kamar orang tuanya dan melihat Mamanya sedang di depan nyala api lilin.

"Ma, ngapain si di depan lilin kaya gitu."

"Gelap Boar, Mama takut. Kamu tau kan kalo Mama takut gelap."

"Ya tapi ga usah di depannya persis gitu, di jagain segala. Papa kemana?"

"Tadi pas mati lampu, Papa keluar cari angin. Suntuk katanya gelap-gelap di rumah."

"Ooohhh."

Keheningan malam pecah, seorang hansip teriak-teriak membawa obor. "Ada babi ngepet! Ada babi ngepet" Angin berhembus kencang, menembus dengan ganas melewati ventilasi kecil rumah bobrok milik boar.

"Nak, ada apa itu ribut-ribut diluar. Sana cepat cek! Anginnya besar banget lagi, lilinnya jadi goyang-goyang." Mama memerintah Boar.

"Siap!"

Boar berlari menuju pintu depan rumah, lewat jendela ia melihat kumpulan cahaya dari obor. Ratusan jumlahnya. Tepat berada di depan rumahnya. Boar membuka pintu, alangkah terkejut dirinya melihat seekor babi hitam besar berada di halaman rumahnya.

Boar menatap mata babi itu, babi itu dengan sinis melihatnya. Sedetik kemudian, puff! Babi itu sudah menyublim, berubah menjadi asap hitam dan terbang. Angin malam menculik babi ngepet itu.

"Boarrrr! Lilinnya mati ni, tolong ambilin korek api di dapur."

Boar kembali kaget, teriakan sang Mama meminta tolong mengejutkan dirinya yang beku melihat peristiwa gaib tersebut.

"Yaaa Ma."

Boar berlari ke arah dapur, mengobrak-abrik laci mencari korek api. Keringat dingin mengucur dengan deras jatuh dari keningnya, merambat pipinya, meluncur di lehernya yang pendek penuh lemak.

Pok! Seseorang menepuk pundak Boar, jantungnya berhenti sesaat.

"Hey, jangan kaget gitu. Ini Papa."

"Oooh Papa, aku kira sapa. Papa tadi bukannya keluar, kata Mama gitu."

"Iya tadi keluar, trus ada kerusuhan. Ada yg liat babi ngepet. Pas di depan rumah taunya pintu blom ditutup, kamu ya yang lupa nutup?"

"Ah.. Masa?" Boar kembali dipenuhi rasa heran, ia ingat betul bahwa tadi ia menutup pintu karena takut oleh pandangan sinis babi ngepet hitam yang baru saja berkunjung ke rumahnya.

"Uda sana, ambil lilin lagi buat kamu belajar. Papa aja yang nyari korek sekalian buat Mama juga."

Namun sangat disayangkan, detik berikutnya arus listrik kembali mengalir. Memberi makan segala perangkat elektronik milik para penghuni. Untunglah.

--------

Hari terus berlanjut, waktu makan malam yang sama. Boar kali ini memulai pembicaraan.

"Papa, enak banget ya kerja di peternakan. Setiap hari aku bisa makan daging tebel-tebel gini. Kayak steik, temen-temen di sekolah juga belom tentu setiap hari makan steik. Hahahaha. Pa, kenapa aku diberi nama Boar?"

Uhukkk uhukkk, mama tersedak makanannya. Buru-buru, Mama meminum air putih yang ada dan memilih untuk mengunci pintu mulutnya rapat-rapat. Papa menghela nafas kemudian diam saja, baru setelah beberapa puluh detik berikutnya mulai menjawab.

"Kamu benar-benar ingin tahu?"

"Ya lah, masa aku ga tau arti namaku sendiri."

"Ya uda nanti setelah makan Papa tunggu di beranda depan. Nanti Papa kasih tau."

"Kenapa ga sekarang aja si? Ribet deh."

"Udah, kamu nurut aja."

--------

Di sebuah beranda, rumah kecil bahagia milik sebuah keluarga.

"Pa, jadi apa artinya namaku?"

"Boar, beneran kamu pingin tau?"

"Iya Pa!"

"Tapi jangan marah ya kalau nanti sudah tau artinya. Janji?" Papa mengajukan sebuah syarat negosiasi, sementara tangan kanannya masih sibuk memegang tasbih dan berdzikir dalam hati.

"Iya aku janji."

"Boar itu... artinya babi."

"Haaaah!"

"Boar dari bahasa barat, dulu kan lagi ngetop-ngetopnya orang namain anaknya pake bahasa Inggris. Papa pilih Boar deh, waktu itu Papa salah liat artinya pas baca di kamus. Pas Papa sadar terus mau Papa ubah... sudah terlanjur jadi akte kelahirannya. Waktu itu duit Papa juga masih pas-pasan. Maaf ya, tapi keren kan?"

"Ahhhhh..." Boar hanya bisa mengeluh kemudian melanjutkan obrolan ayah dan anak itu.

"Pa, semalem ada babi ngepet. Tau ga?"

"Ah, musyrik itu. Orang sini kan kebanyakan percaya hal-hal berbau mistis."

"Tapi aku beneran liat Pa, kemaren ada nangkring di halaman. Aku aja ampe takut."

"Udah Boar tenang aja. Sana ambilkan rokok Papa, tadi ketinggalan di meja makan." Papa kemudian memerintah Boar seperti babi.

--------

Boar masuk kembali ke rumah, menuju arah dapur. Melewati kamar kedua orang tuanya. Pintu kamar itu tidak tertutup rapat, sepercik cahaya oranye keluar dari kamar itu. Boar mengintip. Ia melihat Mama sedang menyalakan lilin.

"Ma! Ngapain si? Kok nyalain lilin lagi?"

"Dingin Boar, semalam aja Mama hampir masuk angin."

"Ooooh ya udah. Terus itu bunga-bunganya buat apa?"

"Ini namanya aroma therapy, biar harum dan makin romantis ama Papa."

"Ckckck, dasar! Boar ga mau punya adek. Udah ah." Boar kembali pergi mengambil rokok Papa yang tertinggal di meja makan tanpa rasa curiga sama sekali.

--------

Boar langsung bergegas kembali melangkahkan kakinya yang besar itu, setiap langkah rasanya bumi bergetar. Rumah kecil itu bisa rubuh sewaktu-waktu, tikus-tikus di atas berdecit ketakutan. Akhirnya Boar memenuhi permintaan Papanya dan kembali duduk melanjutkan obrolan intim antara ayah dan anak.

"Nahh gitu dong, bagus Boar. Anak yang baik."

"Boar akan selalu jadi anak yang baik asalkan bisa makan steik setiap hari."

"Hahaha, emang enak ya dagingnya. Papa beruntung dapet Bos baik. Om Bono udah terkenal si dengan usahanya yang sukses dan selalu mencari pegawai dari orang yang kurang mampu. Papa merasa tertolong olehnya."

"Hahaha, Papa beruntung. Memang Allah Maha Baik, memberi jalan bagi Papa yang tidak mudah menyerah."

"Iya dong, siapa dulu dong! Papa!" Lagi-lagi sang ayah mengeluarkan kalimat andalannya itu.

"Pa, emang kerja jadi pemimpin cabang peternakan enak ya? Bisa dapet jatah daging lagi setiap hari."

"Enak dong, memangnya kamu bisa sehat, gemuk dan gempal seperti ini apalagi kalo bukan karena daging jatah itu. Kebijakan perusahaan memang kayak gitu, Om Bono punya perintah agar setiap pegawainya bisa makan setiap hari."

"Wow keren! Tapi Pa, emangnya setiap hari Papa ngapain?"

"Papa kan guru ngaji di desa, gimana si?"

"Serius Pa! Di peternakan itu Papa ngapain?"

"Hahaha, santai Boar. Papa cuma bercanda. Kerja Papa ngawasin para pegawai biar ngasih makan ternaknya teratur dan sesuai jadwal. Sama inspeksi kalo ada ternak yang sakit. Hasilnya daging-daging tebel itu, yang setiap hari kamu makan."

"Papa juga keren! Emang peternakan apa si Pa?"

"Errr..." Putaran tasbih Papa terhenti.

"Pa? Pertenakan APA?"

"Peternakan Babi, Nak. Sudah anggap saja itu rejeki dan jalan yang diberikan Allah."

Boar kehabisan kata-kata, sementara Papa masih saja mengepulkan asapnya sambil menggenggam tasbih di tangannya yang lain. Boar masih tersentak, shock.

"Hey! Udah jangan bengong gt. Sana masuk terus belajar. Haduh... Jakarta panas banget ya." Papa kembali memerintah sembari mengeluh.

Ketika itu juga, Boar tersadar... mengapa tadi Mama menyalakan lilin? Boar tetap memilih untuk diam saja dan pura-pura tidak tahu. Untunglah Boar selalu berdoa sebelum makan dan sebelum tidur.


Catatan: Ditulis untuk memenuhi Janji Jumat 8 April 2010 dengan tema “Seorang anak baru saja mengetahui bahwa selama ini pekerjaan ayahnya bukan pekerjaan yang halal,” maaf sangat telat... jangan salahkan aku! Salahkan saja professor yang membimbing skripsiku sehingga aku stress dan malas menulis karena skripsi mandek. Zzz...