Dua per Tiga Malam

Malam itu aku teriak sekeras-keranya, pita suaraku bergetar dengan pedih. Banyak orang bilang bahwa dinding memiliki telinga dan pintu mempunyai mata. Ternyata mereka salah.

Angin dingin merangkul penuh kehangatan. Bau malam yang hanya bisa dicium oleh orang yang mencintai kegelapan. Jangkrik mengunci mulut, kunang-kunang enggan berkilau. Tidak ada bulan perak, jangan harap ada bintang. Awan sudah seperti nila, yang ada hanya kelam.

Seperti seekor serigala yang lahir untuk menyendiri, keluar dari kelompoknya. Untuk bertualang, mencari sesuatu --- entah apa itu --- lalu menjemput kematian. Aku di sini duduk bersama imajinasi. Menarik nafas dan menghitungnya. Menghembuskan nafas dan menjumlahnya. Batin berperang damai sekali. Seandainya mentari tidak pernah ada, pastilah semua akan berbisik penuh ketakutan kemudian saling meraba mesum. Lalu aku bosan...

Aku mengaum, mengusir hantu-hantu kesepian. Melolong riang karena sendiri. Menghela cepat karena senang. Aku tenggelamkan kepalaku, rasanya seperti neraka. Panas membara di dalam, dingin kebas di luar.

Arrrrrrrrrrgh! Ah!

Aku teriak sekencang-kencangnya. Gelembung menjadi mayat, mengapung lepas dari ikatan. Pita suaraku bergetar, tembok bak menggigil. Namun sayang...

Dinding ternyata tuli dan pintu terlahir buta, yang tersisa hanyalah perih mengiris bahagia. Surga dalam 2x3, tepat dua per tiga malam. Saatnya serigala tidur. Selamat tinggal matahari.