Kandang Kukang

Pada suatu hari, di sebuah kosan pada area kota kembang yang pernah menjadi lautan api. Aku melihat seekor kukang dikurung dalam kandang. Pertama kali aku melihat binatang itu sangat lucu sekali, dengan matanya berwarna hitam berbentuk bulat. Mempesona setiap jiwa yang langsung menatapnya. Bulu halusnya yang berwarna abu-abu. Cakarnya yang hitam panjang. Namun sayang, binatang itu pemalas dan sedikit bergerak. "Memang ia lebih aktif pada malam hari dan berisik mengganggu tidur para penghuni kosan," Begitu kata si penjaga kosan.

Aku terus memperhatikan setiap gerak geriknya dan seperti biasa, aku mulai berpikir tanpa henti. Seperti apa kukang itu pada waktu kecil? Siapa induknya? Dimana ia lahir? Bagaimana ia bisa sampai di kota? Dan mengapa si penjaga kosan tersebut membelinya di pinggir jalan lalu memeliharanya dalam sebuah kurungan kecil yang hanya patut dihuni oleh satu ekor burung?

Lama-lama aku merasa kasihan pada kukang itu, hidupnya hanya sebatas 40 x 30 x 30 dikelilingi jeruji dari kayu. Setiap harinya mungkin kebanyakan dihabiskan dengan tidur, atau memanjat kesana kemari, memutar layaknya 'motor trill' (baca: motor yang dipakai para pria macho hanya karena tidak mampu membeli Harley-Davidson) dalam pertunjukan 'tong setan' (baca: tong stand) yang ada di pasar malam tempat para muda mudi anak kampung sini saling mencumbu mesum kekasihnya masing-masing. Makanannya sedikit potongan buah-buahan sisa. Sedangkan minumannya lebih mengecewakan --- air tawar bening yang belum dimasak.

Kemudian aku berimajinasi, bagaimana kalau aku adalah kukang itu. Hidup pasti sangat membosankan. Tidur, bangun, garuk-garuk, memanjat kesana kemari, makan sisa buah yang kemungkinan besar sudah mau basi, minum air PAM dengan kualitas yang buruk lalu melihat burung terbang bebas di luar sana dengan penuh rasa iri. Sayangnya kukang tidak bisa menangis.

Pertanyaan terus berlanjut dalam benak, mengapa Tuhan menakdirkan dirinya untuk terjebak dalam kandang tersebut? Atau memang pada dasarnya ia ceroboh sehingga tertangkap lalu dijual seharga satu paket makanan di restoran fastfood ternama? Atau mungkin ia memang sengaja tertangkap agar hidup enak? Kalau alasannya yang terakhir, sungguh harga yang mahal untuk dibayar bagi sang kukang. Hidup sendiri dan terbatasi.

Bukankah Tuhan memelihara segala ciptaan-Nya? Memberikan kasih tanpa batas kepada semua mahluk-Nya? Lalu sebuah analogi absurd muncul. Apakah boleh kalau aku bilang bahwa sang kukang tersebut adalah sebuah peliharaan, maka berarti si penjaga kosan bisa diibaratkan sebagai Tuhan bagi si kukang tersebut? Karena yang memelihara adalah si penjaga kosan, yang memberikan makan dan minum adalah si penjaga kosan, yang mencuci kandangnya adalah si penjaga kosan, yang memandikannya adalah si penjaga kosan, yang mengelus bulu halusnya si penjaga kosan dan yang menentukan hidup mati kukang tersebut adalah si penjaga kosan --- selama sang kukang masih terpenjara dalam kandang kayu itu.

Pada akhirnya tiba juga pertanyaan yang paling memusingkan, kukang tersebut sudah pasti bukan si penjaga kosan yang menciptakannya. Tapi sebagian besar peran sebagai Tuhan bagi sang kukang juga sudah hampir terpenuhi. Jikalau si penjaga kosan itu pintar dan belajar biologi sebagai hobinya lalu menjadi ilmuwan gila, kemudian menciptakan kloning kukang tersebut dan memeliharanya dengan cara yang sama, bisakah si penjaga kosan disebut sebagai Tuhan? Apabila jawaban terakhir dari pertanyaan di atas adalah 'ya' dan 'bisa', maka siapa yang menciptakan si penjaga kosan tersebut?

Hal ini sangat membuat diriku berpikir terus menerus dan bertanya. Mengapa Tuhan menaruh kita di ujung bimasakti di planet terpencil? Mengapa Tuhan memberikan kita waktu yang sedikit di Bumi ini? Jauh lebih sedikit dibandingkan umur bunda bumi tercinta.

Semua itu masih belum mungkin terjawab sepenuhnya, sampai para homo sapiens benar-benar memahami bagaimana mereka bisa berada dalam posisi ini --- sebuah penempatan yang terkesan acak namun sebenarnya itu semua adalah bagian dari sebuah rencana besar yang meliputi seluruh jagad raya.

Setelah beberapa saat, akhirnya kukang tersebut berhasil kabur dari kandang kayunya. Ternyata ia mengunyah jeruji itu pelan-pelan setiap malam satu per satu, menelannya dan mengubahnya menjadi kotoran hingga akhirnya ia mampu menyelinap keluar menuju kebebasan. Keluar menuju sangkar yang lebih besar lagi dengan tanah yang hijau dan langit yang biru. Nama kukang itu Igor, sedangkan si penjaga kosan tampaknya sangat kecewa karena sibuk tertidur lelap setiap malam sehingga lupa untuk mengawasi peliharaannya.