Selamat Pagi

Sekarang para bintang dan bulan sedang bersembunyi. Di luar sana begitu kelam dan dingin. Aku di sini hanya berdiri menatap lewat jendela namun yang terlihat hanyalah bayanganku sendiri dengan raut muka yang samar, aku memeluk kegelapan.

Sungguh menakjubkan ketika malam bisa membuat kita berubah sesaat. Ia bisa menyulap dengan pandainya, tak seperti waktu yang berjalan santai kemudian menepuk pundak kita dari belakang dan mengatakan semuanya sudah terlambat, yang tersisa hanyalah penyesalan.

Hujan yang begitu derasnya membuat semua anak Adam semakin melindungi kewarasan mereka sendiri dibalik selimut hangatnya masing-masing. Ya, malam ini langit meneteskan air matanya tanpa henti, membasahi bunda bumi yang perlahan-lahan mendekati kematian.

Suatu ketika pernah terjadi badai besari di Ibukota. Pohon-pohon besar nan perkasa tumbang penuh malu. Kotoran-kotoran muncul, berenang bebas di tengah jalan raya. Papan-papan reklame bengkok, putus asa menunggu nasib akan kehancurannya. Kala itu, aku dengan anehnya memutuskan untuk melihat suasana indah itu di balkon. Entah setan apa yang riang gembira menggandeng tanganku saat itu hingga aku bisa terjebak dalam kebodohan yang mendamaikan.

Adalah hal yang luar biasa ketika sesaat sebelumnya suasana begitu tenang dan tentram. Lalu tanpa adanya aba-aba peringatan, semuanya berubah 180 derajat, bahkan sebelum engkau sempat untuk mengedipkan mata. Rintik-rintik gerimis yang menjatuhkan diri mereka suka rela menghujam kepada genting dan menghasilkan bunyi melodis, bertransformasi menjadi ganas bak anjing gila yang tersesat tak tahu arah jalan pulang. Menampar seluruh pori-poriku yang tak mampu bersembunyi di balik sebalut kain, berlaku semena-mena bagai peluru yang menyambuk beramai-ramai menyiksa mangsanya. Semua karena angin yang berhembus perlahan merubah perangainya. Ia menari dengan liar dan ganasnya, seperti jago merah yang melahap lapar semua pemukiman rapat di kota terkutuk ini.

Kala itu, untuk membuka salah satu kelopak mata saja sulit. Namun aku tetap berdiri, dengan suhu tubuh yang semakin menurun. Gigi-gigi geraham mendecak penuh nafsu. Jemari mulai mengkerut dengan penuh kecut. Sekarang situasinya hampir sama dengan saat itu, cuma berbeda sedikit saja, hanya lebih lama, dan lebih sedikit berbahaya.

Aku bertanya-tanya kepada diriku sendiri. Bagaimana nasib para kelelawar nakal yang sedang mengembangkan sayap petualangan mereka dalam menghadapi situasi malam hari ini? Bagaimana nasib sarang semut yang ada di halaman belakang rumahku? Dan berjuta macam pertanyaan lain. Hingga pada akhirnya, sebuah pertanyaan lama yang sangat sakral kembali muncul untuk menghantui imajinasi. Pertanyaan yang dari dahulu menampakkan wujudnya di tiap-tiap kesempatan kritis seperti ini. Pertanyaan yang menetapkan bentuknya --- kalimatnya hanya itu-itu saja, kata penyusunnya juga hanya itu-itu saja --- tidak pernah mau mengubah sedikitpun wujudnya. Namun jawabanku, seiring dengan roda jaman yang memacu laju, selalu berubah dan beradaptasi tergantung pada kondisi. Pertanyaan itu adalah: "Mengapa hujan turun tidak merata?"

Untuk saat ini, sang jawaban memilih jalan cepat dan singkat. Hujan memang tidak pernah turun merata karena itulah keadilan yang sejati. Hukum alam yang paling murni, keadilan pertama yang tercipta di bumi. Sampai kapan pun, rintik-rintik hujan itu akan terus menenggelamkan koloni semut yang bernasib sial. Membasahi sayap-sayap kelelawar yang murung hingga patah. Menghanyutkan pikiran dan logika.

Tetapi tenang saja, di dalam sini masih belum berubah. Hatiku masih hangat, jiwaku masih menyala. Mataku masih berbinar, menanti mentari untuk --- semoga saja --- bangun sekali lagi dari Timur. Dan hujan ini masih setia berperang melawan keinginanku.

Sayang sekali wahai sang hujan. Malam ini aku tidak mengalah. Api abadi bukan hanya sekedar julukan. Biar waktu yang menjawab semuanya. Asal jangan ia meniup hingga padam dan tersenyum lalu bilang bahwa semuanya telah selesai.