Bukan Tipe

Tengah malam, di sebuah restoran ibukota yang terletak persis seberang hotel ternama, ditemani rintik hujan.

"Bang, saya pesen mie Aceh satu sama lemon tea," dia memesan dengan suara kecilnya.
"Kalo saya pesen cane susu aja plus es teh tawar," aku turut menggenapi.
"Kamu tau, pria itu berusaha mendekati aku lagi. Mungkin aku akan dijadikan ade-adeannya."
"Oh begitu ya, bagus dong nambah kakak."
"Tapi bosan tau kena sister zone terus! Memang salahku apa?"
"Siapa suruh punya badan kaya gitu dan perangai yang melengkapi. Lagi pula nanti juga bisa berubah dari ade jadi apa gitu kek. Memang dia tipemu?"
"Gak juga sih."

Beberapa saat berlalu.

"Ini mie Aceh-nya sama lemon tea," pramusaji restoran itu tersenyum sambil menaruh makanan kami di meja, mungkin karena diam-diam ia mencuri dengar pembicaraan kami. "Kalo yg ini cane susu dan es teh tawar, sudah semua ya?" dan senyumnya belum sirna.
"Sudah Bang, makasih," aku cepat-cepat menjawab supaya ia lekas pergi.

Lalu kami mulai menikmati hidangan-hidangan tersebut. Beberapa kali aku meliriknya, melihat ia mengulum mie tersebut dengan mulut mungilnya, kadang-kadang nafasnya berubah menjadi terengah-engah karena rasa pedas.

Memang paling enak itu makan bersama seseorang, apa serunya makan sendiri? Tapi bisa jadi semua ini hanya khayalanku karena bumbu rahasia umum semua restoran Aceh yang bersaing di metropolitan.

"Kalo aku tipemu bukan?" aku berusaha melanjutkan.
"Kamu apalagi. Punggungmu kurang lebar."
"Hahahaha, sial! Punggungku memang belum lebar, terima kasih. Semoga semua karmaku sudah terbayar tuntas."
"Karma apa? Kamu percaya karma?"
"Tentu saja, apa yang kamu tanam itu yang kamu tuai. Hanya sebuah karma masa lalu. Aku malas membicarakannya." 
"Kamu melantur seperti dosen pembimbing skripsiku."
"Aku tidak kuat iman kalau jadi dosen hehehe."
"Brengsek."
"Jadi pria itu gimana?"
"Ya biasa lah, tarik ulur, smooth, lancar. Tampaknya dia profesional, tapi membosankan karena kebanyakan membicarakan pekerjaan. Dia ternyata begitu orangnya."
"I see, strategi yang menarik. Selama kamu bisa jaga diri seharusnya tidak ada masalah. Toh kamu juga yang mengerti batasan kamu sendiri."
"Aku tuh mau pacaran, tapi ga mau serius dulu."
"Kamu percaya ga kalau pacaran itu adalah step awal sebelum pernikahan?"
"Ya percaya sih."
"Lalu kalau pacarannya ga serius, mau menikah dengan serius? Bisa ya? Hasil bukannya ditentukan dari niat awalnya? Woman's logic."
"Berisik ah!"
"Relax, no need to be furious," aku menyeruput es teh tawarku yang sudah mau habis.
"Aku tuh takut kalau bahagia, nanti kebahagiaanku hilang."
"Kamu aneh ya, kita kan ga bisa bahagia terus selamanya. Justru itu yang membuat hidup menarik. Kalo ada bunga yang terus menerus mekar sepanjang tahun tanpa layu seumur hidupnya, bunga itu pasti akan membosankan, dan tak ada nilainya."
"Ya mungkin aku yang aneh, makanya aku di sini sekarang, menenamimu makan."

Hujan pun reda, kami menggadaikan hasil keringat kami dan mulai melangkah pulang, menjelajahi trotoar yang dipenuhi bau hujan. Terkadang dia memegang lengan bajuku, takut tertinggal. Terkadang aku yang menengok ke belakang, takut dia yang tiba-tiba hilang.

Sampai di rumahnya, aku disambut oleh sang Ibu dengan senyum yang tak kalah manisnya. Buah memang jatuh tak jauh dari pohonnya.

"Malam Tante," sopan santun beraksi.
"Malam, yuk ke atas sama-sama."
"Eh jangan naksir emak gw ya!" dia memotong.
"Emang emak lo cantik kok!" aku membalas sembari bercanda. "Terima kasih Tante, di sini saja cukup, sebentar lagi saya pulang," aku menambah basa-basi.
"OK kalau begitu Tante duluan ya."
"Baik Tante."

Aku dan dia duduk di sebuah sofa. Aku membuka aplikasi smartphone-ku dan memesan jemputan.

"Stelah kupikir-pikir, mungkin ada benarnya juga. Punggungku masih kurang lebar, dan berkat perkataanmu tadi, aku kembali diingatkan, dadaku kembali dilapangkan. Sudah saatnya aku melebarkan punggungku," aku menghela nafas panjang.
"Memang buat apa melebarkan punggung?"
"Supaya aku bisa jadi tipemu."
"Bohong."
"Hahaha, engga deng."
"Jadi buat apa dong? Biar lebih banyak lagi orang yang ngomongin kamu di belakang kamu?"
"Tidak sedangkal itu juga sih, dan sudah cukup banyak juga, toh aku tak peduli."
"So, what for?"
"Supaya aku bisa memunggungi dunia."
"Not bad for a snobbish reason, at least you're not faking it."

Dan malam pun berlalu, jemputanku datang dan dia kembali ke kamarnya. Biar roda waktu yang melanjutkan cerita ini.