intinya lo cuma bisa ngontrol diri lo sendiri
10:58 PM
I know that.
10:58 PM
lo ga bs berharap merubah org lain, either you accept them or not
10:59 PM
Inilah kenapa lebih gampang sendirian.
10:59 PM
indeed, it is easier
but is it better?
11:00 PM
Tergantung definisi "better".
Which one is worth suffering for?
11:00 PM
ok, kita sederhanakan
lo lebih pilih ga punya org tua atau punya?
klo ga ada suffering, ga ada pleasure, that's how it works
11:02 PM
Ah, can't decide karena gue nggak merasakan bagian "nggak punya".
Kalo nggak punya orang tua tapi gue jadi Batman?
Punya orang tua tapi gue jadi kayak Engeline?
11:08 PM
interesting
take your time, ga perlu dijawab skrg jg
kalo pengalaman gw sih yg gampang blm tentu yg lebih baik
11:12 PM
Tapi bisa jadi kan ada orang yang merasa lebih baik berdua daripada sendiri?
11:31 PM
tentu
preferensi masing" aja
uda gede ini hahaha
klo gw si pilih bareng", sendiri tuh ga enak
11:37 PM
Gue pilih sendiri sih karena gue anaknya nggak mau berbagi sedikit pun.
Jadi ujungnya nyusahin.
11:39 PM
---
Chat pun berakhir, dari seorang wanita, kenalan lama. Ia mengeluhkan hubungan yang sedang dialaminya. Apakah dia tidak salah pilih orang untuk dicurhati? Me, of all the people in the world, she got a bad luck hahaha.
Malam minggu, long weekend, Jakarta sepi karena semua berbondong-bondong baris di dalam mobil menuju ke puncak, alibinya seperti biasa, untuk refreshing. Aku sendirian duduk di sebuah kursi minimarket, dekat balkon, sembari mengamati lampu jalan yang dikerubungi para laron. Aku pun meneguk teh tarik dalam kemasan botol, membalik badanku, kemudian melihat sekeliling, setiap meja dipenuhi pasangan, yang pria merokok, yang wanita memainkan smartphone mereka, membosankan, tipikal penghuni ibukota. Aku menghela nafas, kembali ke posisi semula lalu turut membuka smartphone-ku dan memainkan Clash Royale.
Aku pun terus berpikir tentang chat itu. Apakah aku sudah memberikan saran yang benar? Apakah aku sudah menjadi pendengar yang baik? Bagaimana mungkin aku bisa dengan lancar bilang kalau bersama-sama itu lebih enak? Padahal akhir-akhir ini aku lebih memilih untuk sendiri, tidak menjadi teman Ahok, Yusril maupun Sandi.
Akhirnya aku memutuskan untuk berjalan kaki mengelilingi area sekitar. Ini adalah salah satu ritual yang biasa aku lakukan untuk mengosongkan pikiran, dahulu ditemani asap nikotin yang manis, sekarang lebih sepi lagi.
Aku suka jalan kaki, terutama di malam hari, entah mengapa. Pernah aku pulang dari kantor, jam setengah 12 malam, selesai lembur kerja karena ada project yang terus menerus tertunda. Aku memutuskan untuk tidak langsung mencari angkutan pulang dan jalan kaki terlebih dahulu. Aku bertemu dengan seorang musisi jalanan yang memainkan saxophone-nya di jembatan penyeberangan. Aneh, malam hari tapi dia masih mencari receh, bukannya bergaul di cafe. Aku duduk dan mendengarkan permainannya. Selesai satu lagu, aku mengeluarkan selembar I Gusti Ngurah Rai dari dompet dan menaruh di atas topinya yang tergeletak di lantai, kita bertukar senyum, kemudian aku pulang dengan sedikit lebih bahagia.
Pernah pula aku jalan kaki pulang setelah menonton film di sebuah mall, jadwal midnight, aku lupa filmnya apa. Dua mall besar yang saling berseberangan, dihubungkan oleh dua jembatan, Utara dan Selatan. Mall yang pada setiap hari Sabtu & Minggu akan dipenuhi oleh anak-anak baru gede yang bisa membuat liur om-om girang tak berhenti. Di perempatan jalan aku melihat dua orang bocah, satu laki-laki dan satu lagi perempuan, mungkin umurnya sekitar kelas 3-4 SD. Pada jam segitu mereka masih sibuk menjajakan koran, benar-benar kota yang gila. Aku duduk sembari melihat mereka, mengira-ngira sudah berapa mobil yang lewat, sudah berapa koran yang terjual. "Sore Tugu Pancoran" karya Iwan Fals terus menerus terngiang dalam kepalaku.
Aku juga pernah melihat seorang gembel yang tertidur di halte, selimutnya terbuat dari karung beras yang sudah berwarna kecoklatan. Aku duduk di sampingnya dan melihat ekspresi wajahnya ketika ia tertidur. Waktu itu Jakarta sama seperti sekarang, musim hujan dan banjir dimana-mana. Aku tidak tahu apakah selimut itu bisa menghangatkannya atau tidak. Aku juga tidak tahu apakah ia bermimpi atau tidak. Aku hanya duduk di sebelahnya, mengamatinya, mungkin sekitar 5 menit, kemudian kembali melanjutkan perjalanan. Aku tidak mau mengusik istirahatnya, semoga saja ia tidak mati.
Banyak hal-hal menarik yang aku temukan ketika jalan di malam hari, selain ada tikus-tikus yang sibuk mengobrak-abrik tempat sampah. Sesekali ada juga kucing yang acuh berjalan dengan matanya yang bercahaya. Anjing pun tak mau kalah untuk menggonggong apabila mencium bauku yang numpang lewat. Ada pula tukang ronda yang membakar sampah sembari menonton televisi. Ada juga para pengusaha yang sedang membersihkan gerobaknya agar cepat bisa didorong pulang. Aku belajar banyak dari salah satu ritualku ini. Baik pada saat di Jakarta, maupun dahulu kala ketika kuliah di Bandung.
Setiap kali aku jalan kaki di malam hari, aku memikirkan banyak hal, mencari jawaban atas segala permasalahan yang ada. Anehnya, aku termasuk orang yang beruntung, karena jawabannya selalu ada dan muncul di waktu yang tepat. Terima kasih Tuhan.
Malam ini, aku pun berharap bisa menemukan jawabannya. Aku terus berjalan, mencium trotoar yang rusak dengan sol sandal usang milikku. Lebih dari 1 jam berlalu, sudah lewat tengah malam, posisiku telah jauh dari minimarket awal tadi, saat itulah aku melihat mereka di seberang jalan.
Seorang pria buta, mengetuk-ngetuk aspal dengan tongkat di tangan kirinya, sedangkan tangan kanannya menggandeng tangan sang pemimpin rombongan tersebut. Di belakangnya ada seorang wanita, berhijab, menggendong kantong kerupuk yang begitu banyak dengan tangan kirinya, sedangkan tangan kanannya memegang pundak sang pria, senasib sepenanggungan, hidup bersama tanpa cahaya.
Persamaan memang akan menciptakan hubungan yang lebih erat dibandingkan perbedaan. Aku memutuskan untuk diam dan mengamati mereka lebih lama.
Tiba-tiba sebuah motor melaju dengan cepat sekali dari arah berlawanan, membunyikan klakson, dan hampir menyerempet mereka, sungguh orang yang brengsek. Kalau pemimpin rombongan tersebut tidak sigap mengarahkan mereka untuk jalan bersama-sama lebih ke pinggir, niscaya kecelakaan sudah terjadi dan kerupuk-kerupuk itu sudah berserakan di jalan berubah menjadi makanan tikus. Keberaniannya patut dijadikan contoh.
Kamu tahu siapa pemimpinnya?
Seorang anak laki-laki kecil, mungkin umurnya sekitar kelas 1-2 SD, yang dengan riang berjalan di depan mereka. Aku pun mengasumsikan bahwa bocah itu adalah buah hati mereka --- ah tidak, mungkin lebih tepatnya bisa dibilang sebagai cahaya hati mereka. Bocah itu memiliki mata yang senantiasa bersinar, wajahnya berseri penuh senyum, padahal sudah malam sekali, bulan pun malas menyibakkan rupanya, tetapi langkah sang pemimpin tetap ringan ke sana ke mari. Aku pun malu dibuatnya.
Aku melanjutkan perjalanan pulang membawa oleh-oleh yang tak ternilai bersama sebuah senyum, masih ada esok hari.