Ciuman Maut

"Bukan pipiku yang kau cium, melainkan jiwaku," Itulah kalimat pamungkas yang engkau lontarkan dari bibirmu. Dengan wajah lugu andalanmu dan mata itu --- berbinar bagaikan danau terpencil yang memantulkan bayangan mentari --- telah berhasil menyekap seluruh batin hina ini. Hanya dalam beberapa kedipan, aku terperangkap. Aku yang menyerang, aku yang kalah. Ah... bodoh! Senjata makan tuan.

Memori itu masih aku simpan baik-baik di ruangan spesial, tersembunyi di balik lipatan-lipatan otak yang paling dalam. Seandainya kenangan itu seperti sebuah gambar atau foto yang bisa kita simpan baik-baik, pelihara dalam almari lalu kunci rapat-rapat agar tidak hilang, lalu mengambilnya sesuka hati disaat yang tepat untuk bernostalgia... maka hidup akan jauh lebih mudah. Sayangnya pikiranku tidak berfungsi seperti itu, justru disaat-saat yang tidak tepat semua itu terulang kembali dalam benakku, sebuah film pribadi yang tidak jelas jadwal tayangnya. Siksaan yang menyenangkan. Ah... lagi-lagi aku memang bodoh!

Aku masih ingat sepotong puisi sampah yang aku berikan --- setelah engkau berhasil merampok jiwaku --- kepadamu tulus dengan hati gombal:
"Aku memiliki dua pipi,
dan hanya satu jiwa...

Engkau telah merebut semuanya,
mencambuk keduanya dengan telapak tanganmu,
dan merebut yang lain... tanpa modal dan usaha."
Dan engkau hanya tersenyum lucu. Aku yang bodoh? Atau memang racun itu manis? Aku tidak tahu. Aku hanya mengerti untuk berada di sisimu dan mengaitkan kasar dengan lentik, kepalanku dengan genggamanmu. Kebodohanku masih saja dipelihara baik-baik, terkunci rapat dalam almari yang entah aku lupa dimana letaknya.

Namun semalam, seperti biasanya... aku mencoba untuk mencuri kembali jiwaku, sembari mengambil alih batinmu. Sekali dayung dua pulau terlampaui dan dengan dayung itu aku menepuk dua burung sekaligus, mereka mati dan aku menyelam, minum air lalu mencari bangkai mereka untuk dijadikan piala dan tidak lupa untuk meninggalkan kencing.

Aku berusaha menyerang pipi empuk yang merah merona seperti bakpau hangat di hari yang dingin. Murah memang ciumanku, namun kebahagiaan tidak selalu harus memiliki harga selangit. Bukankah begitu, sayang?

Aku mengecup pipimu...
rasanya asin.

Itulah ciuman maut yang pertama kali aku berikan kepadamu kemarin. Ciuman yang mempertaruhkan segalanya dalam beberapa detik, namun... tetap senjata makan tuan dan cinta itu ternyata rasanya asin.