Kluizenaar

Malam itu, setelah melewati hari penuh rutinitas tanpa suatu hal yang spontan. Ia membaringkan tubuhnya di kasur yang tersusun rapi sempurna, tidak ada satu kerutanpun. Bau harum wewangian sintetis memenuhi ruangan itu, mulai dari seprainya sampai dinding dan segala perabotannya. Seperti biasa sebelum tidur, ia melakukan kebiasaan yang sudah seperti ibadah. Membuka seluruh pakaian dan biarkan kasur dingin memeluknya dalam kesendirian. Kemudian memandang langit kamarnya yang putih, dinding kamarnya yang bersih dan tidak pernah mematikan lampu neonnya. Kehidupannya sebatang kara, bukan karena ia tidak mau berteman atau mencari kekasih... namun karena ia memilih begitu. Karena ia tahu menjadi sendiri tidaklah mudah dan melawan kesepian adalah hal yang paling sulit di dunia ini.

Kamarnya yang serba putih, bersih dan tersusun rapi sempurna namun sayang tidak ada sebuah jendela maupun ventilasi udara. Hanya itu yang ia mampu untuk dapatkan, ditengah persaingan kerja Ibukota yang sangat buas. Sebuah kamar kecil di lantai paling atas, posisinya tepat di area kumuh. Untunglah setiap malam semua warga disekitar sibuk melakukan aktivitas lain di bagian kota yang ramai, dimana semua potensi keuntungan yang selalu diimpikan namun susah untuk diraih.

Begitulah ia hidup, seperti dalam sebuah lembaga pemasyarakatan besar dan ia satu-satunya penghuni. Penjara kecil penuh rasa sepi.

Kluizenaar, itulah namanya. Matanya gelap, tanpa pancaran kesedihan sekalipun. Badannya bidang dan tegap, tubuhnya kurus karena hidup serba pas. Rambutnya bergelombang seperti ombak laut di malam hari, hitam... lapis demi lapis. Kulitnya hitam kelam seperti arang. Karena bentuknya yang serba hitam, Kluizenaar sangat cinta sekali kepada warna putih.

Pekerjaannya hanya sebagai karyawan kantor biasa saja. Prestasinya tidak baik dan juga tidak buruk. Hidupnya hanya seperti boneka, mati tidak mau... hidup juga enggan. Begitulah hari demi hari ia lalui. Sampai suatu saat Kluizenaar menempuh sebuah peristiwa yang mengubah hidup semunya selama ini. Sebuah peristiwa yang membebaskan dirinya dari hidup seperti pertapa palsu. Peristiwa yang paling dikenang olehnya seumur hidup.

--------

Hari itu, Kluizenaar melangkahkan kakinya pulang dari kantor. Melewati rute standar yang biasa ia lalui puluh ribuan kali, namun hari itu ada yang berbeda. Seorang pedagang kaki lima membuka lapaknya di trotoar yang penuh lubang. Di bawah pohon rindang, pedagang itu hanya bersantai sambil menampilkan semua komoditas yang ia miliki. Sungguh aneh pemikiran sang pedangan karena jalan itu adalah jalan yang sepi. Kluizenaar senang melewati jalan itu karena tidak terawat, meskipun jalan itu agak jauh dan memutar dari rute paling pendek antara kantor dan penjara kecilnya. Tapi yang paling penting... tidak ada seorangpun yang mengganggu langkah kaki Kluizenaar, hanya angin yang menari lembut dan dedaunan yang gugur senantiasa menemaninya.

Ia benar-benar kaget karena melihat seorang pedagang yang berjualan di rute kesendiriannya, sebuah hal diluar rutinitas yang berulang kali ia alami penuh rasa jenuh. Kluizenaar bukan seorang yang penakut, tapi juga bukan orang yang gampang penasaran. Namun entah kenapa di hari itu, Kluizenaar memutuskan untuk menyelidiki apa yang mungkin dijual oleh sang pedagang di sebuah tempat sepi. Perlahan-lahan ia berjalan mendekati lapak...

"Waah, bagus-bagus Pak barangnya! Bapak kenapa berjualan disini?"

"Hmm... jelas bagus. Semua ini adalah barang pilihan. Karena tidak ada tempat lain yang senyaman ini, aku sudah bertahun-tahun berkelana sambil menjual barangku untuk memenuhi satu suap nasi hari demi hari."

"Berapa satunya Pak?" Kluizenaar bertanya kepada sang pedagang sembari tangannya usil memilih-milih barang dagangan.

"Tergantung, Mas suka yang mana?"

"Saya suka yang itu. Sepertinya cocok untuk dipajang di kamar saya." Kluizenaar menunjuk sebuah lukisan yang aneh.

"Hooo, menarik. Mas yakin mau yang itu?"

"Ya, boleh saya membelinya?"

"Tentu."

"Berapa Pak?"

"Gratis untuk Mas, itung-itung penglaris."

"Beneran nih Pak?"

"Benar Mas, semoga lukisan itu membawa berkah untuk Mas."

"Terima kasih Pak! Saya pulang dulu, ingin cepat-cepat menggantung lukisan ini."

Kluizenaar senang sekali hari itu, senyumnya muncul. Mungkin dalam hidupnya bisa dihitung berapa kali ia tersenyum, bisa dihitung... dengan satu tangan. Buru-buru ia mulai membawa tubuhnya dengan cepat, pulang kembali ke kandang putih kecilnya.

Akhirnya ia sampai juga di kamar kecil penuh warna putih, tempat ia menyendiri dan melawan rasa sepi. Tanpa menunda, ia langsung mencari paku dan palu yang tersimpan di lemari putihnya. Palu yang unik berwarna putih, pakunya berwarna hitam. Tapi Kluizenaar memutuskan untuk mengecat paku itu menjadi putih terlebih dahulu, namun sayang ia tidak memiliki sekaleng cat... akhirnya ia menggunakan 'Tip-Ex' untuk menyulap paku hitam itu menjadi putih. Voila!

Tok tok tok, toktoktok, toktok! Bunyi palu putihnya menghantam paku yang telah bermandikan 'Tip-Ex', menembus dinding bersih penjara kecilnya. Kluizenaar sangat suka kerapian dan kesempurnaan, hasil pekerjaannya bahkan tidak membuat sebuah retakanpun di dindingnya. Lalu dengan hati-hati ia mulai menggantung lukisan itu, tepat di dinding seberang kasurnya. Meluruskannya lukisan itu agar terlihat rapi dan sempurna.

"Bagus juga lukisan ini. Sangat cocok untuk kamarku," Begitulah Kluizenaar mengeluarkan sebuah komentar setelah melihat dengan puas lukisan yang berhasil ia rampok dengan sopan dari sang pedagang. Sebuah lukisan yang aneh, menggambarkan sebuah jendela kayu dengan bingkai yang melintang seperti salib. Namun diluar jendela itu terhampar luas padang hijau nan asri dan langit biru penuh awan putih yang berarak.

--------

Malam harinya, seperti biasa ia melakukan ibadah sebelum tidur. Lampu neon putihnya masih bersinar penuh dan membara panas, Kluizenaar tidak pernah sekalipun mematikan lampu kesayangannya itu. Ia membuka seluruh helai benang yang melindunginya, lalu membaringkan tubuhnya di atas kasur yang dingin namun masih saja tetap penuh harum bunga-bunga kimiawi yang erat mendekam dalam serat-serat seprainya. Kemudian memandang sebentar lukisan barunya. Ia terseyum, pelan-pelan Kluizenaar menutup matanya dan mulai mencoba untuk tidur.

Setelah beberapa menit berlalu, Kluizenaar masih belum bisa menuju alam mimpi. Sungguh aneh! Padahal bukankah ibadah itu sudah ia lakukan ratus-ribuan kali, masihkah ia belum terbiasa? Tapi hari ini bukan seperti hari-hari biasa lainnya. Kluizenaar bingung, lalu intuisi miliknya menyuruh untuk mematikan lampu kesayangannya. Awalnya ia enggan, namun hari ini hari spesial... tidak ada salahnya untuk mencoba hal yang baru. Ia menggapai saklar lampu yang terletak di dinding samping kasurnya. Setelah mematikan lampu, Kluizenaar kembali terusik untuk memandang lukisan barunya. Mahluk bodoh, tidak tahukah bahwa manusia butuh cahaya untuk melihat.

Namun apa yang terjadi? Ternyata lukisan itu bersinar. Kluizenaar takut bahwa ia sedang menempuh sebuah ilusi dalam mimpi, lalu ia mengusap-usap matanya dan kembali membuka kedua kelopaknya yang hitam legam. Lukisan itu masih bersinar dengan misterius! Hari ini memang hari yang spesial, Kluizenaar memutuskan untuk mengangkat tubuhnya dari kasur dan mendekati lukisan itu. Dengan seksama ia melihat kedalam lukisan itu, sebuah jendela dan di belakangnya penuh pemandangan hijau nan asri dan langit biru yang mendamaikan. Lagi-lagi Kluizenaar terkejut, ia melihat awan yang ada di dalam lukisan itu menari-nari ditiup angin. Begitu pula dengan rumput-rumput hijau yang ada bersama di dalamnya. Sekali lagi Kluizenaar mengusap matanya untuk memastikan bahwa ini bukan ilusi belaka.

Setelah kembali membuka kedua kelopaknya yang hitam legam, ternyata apa yang ia lihat masih sama. Lukisan itu masih bersinar, rumput dan awan masih bernari dengan riang di dalamnya. Seolah angin-angin menjaga dan memelihara mereka semua.

"Lukisan yang ajaib! Hari ini memang spesial, aku sungguh beruntung," Kluizenaar berbicara dengan batinnya sendiri, toh ia tidak punya teman tidur.

Penuh rasa penasaran, Kluizenaar mulai menyentuh lukisan ajaib tersebut. Jemarinya mulai merasakan tekstur lukisan tersebut. Tidak terasa seperti cat minyak, setelah meraba ia yakin betul bahwa tekstur bingkai jendela itu adalah kayu dan pemandangan di dalamnya seolah terhalang sebuah kaca.

Dengan telunjuknya ia mulai menekan lukisan itu dengan pelan karena takut untuk merusak sebuah keajaiban yang baru saja ia miliki, sebuah rampasan dari sang pedagang yang murah hati. Kriiiieettt! Bunyi jendela tua terbuka dengan mudah, hanya dengan sebuah dorongan kecil dari telunjuknya yang hitam... untunglah kuku Kluizenaar tidak berwarna hitam.

Ia merasakan angin yang memelihara alam dibalik lukisan itu menerpa wajahnya. Ia merasakan sebuah kedamaian yang luar biasa. Bau rerumputan, udara yang sejuk memenuhi benak pikirannya. Meskipun tubuhnya telanjang, ia tidak merasakan secuil dingin pada kulitnya.

Kluizenaar memutuskan untuk mencoba merogoh masuk ke alam lukisan tersebut, ia mengangkat satu kakinya dan mulai masuk... lalu mengangkat kakinya yang satu lagi. Sekarang ia telah berada di sebuah alam yang aneh namun menentramkan. Sebuah alam di balik lukisan ajaib.

--------

Kluizenaar sangat senang, ia merasa sudah berada di tempat yang dijanjikan oleh Tuhan. Sebuah surga. Dimana semuanya sangat damai dan menentramkan. Ia berlari-lari telanjang bulat seperti Adam tanpa ditemani Hawa. Kemudian berbaring di atas rerumputan hijau nan empuk --- jauh lebih empuk daripada kasurnya yang rapi dan dipenuhi bau sintetis wewangian kimiawi bunga-bungaan --- lalu mulai memandang awan yang berbaris rapi di lautan udara biru.

"Ini surga, begitu menyenangkan," Kluizenaar berbicara dengan benaknya sendiri toh tidak ada seorangpun di alam ajaib ini.

Setelah beberapa saat memandang langit, lagi-lagi ia dikejutkan oleh sebuah hal yang aneh. Ia melihat seekor burung putih yang berdansa bersama para awan di langit. Kluizenaar sangat mencintai warna putih, seketika itu juga ia memutuskan untuk bangun dari posisinya dan mulai mengejar burung putih itu.

"Burung merpati, kah? Burung dara, kah? Burung merpati pasti... ah bukan burung dara mungkin..." Kluizenaar mengobrol dengan pikirannya sendiri sambil berlari mengikuti burung putih itu.

Akhirnya burung putih itu hinggap di sebuah ranting pohon besar, bertengger melepas lelah setelah dansa yang dilakukannya bersama para awan. Kaaak Kaaaak Kaaak Kaakaaakk! Bunyi kicau burung putih itu.

"Wow, ternyata burung gagak putih. Kok bisa? Aku kira semua gagak warna hitam." Lagi-lagi Kluizenaar berbicara dalam hatinya sendiri.

Dengan takjub ia mulai memandang keanehan itu, atau lebih tepatnya sebuah kejaiban. Dengan matanya yang gelap namun tajam, ia melihat burung gagak putih itu jauh lebih bersih daripada hujan salju. Bulu-demi bulunya tidak ada setitik debu yang menempel. Tetapi yang lebih memukau baginya adalah mata burung gagak putih itu, berwarna biru... murni sebening telaga danau.

Burung gagak itu kembali terbang mengitari pohon besar yang ada di depan Kluizenaar. Secepat kilat burung itu menukik tajam, terbang diam beberapa detik di muka pemuda hitam tersebut. Lalu kembali melayang masuk ke dalam lubang di batang pohon besar itu.

Kluizenaar baru tersadar bahwa di batang pohon maha besar itu terdapat sebuah pintu kayu dengan lubang kecil tepat di tengahnya. Karena rasa cintanya akan warna putih, Kluizenaar memutuskan untuk kembali mengikuti burung gagak putih itu... untuk masuk ke dalam batang pohon.

Pelan-pelan ia mendorong pintu kayu itu, dengan telunjuk hitamnya dan sebuah dorongan kecil. Kriiiieeek. Bunyi kayu tua yang sama persis ketika ia mendorong jendela sebelumnya.

Di dalam batang pohon itu, sebuah ruangan sangat besar penuh warna putih. Ribuan kunang-kunang menyinari tempat itu, seperti jutaan bintang bersinar di malam yang cerah.

"Kemari wahai pemuda, tidak perlu takut." Suara lembut menyapa kedatangan Kluizenaar.

Ia pelan-pelan mendekati sumber suara itu, sebuah sinar keemasan. Akhirnya setelah lebih mendekat lagi, seketika itu juga Kluizenaar melongo. Ia melihat sebuah mahluk yang belum pernah dilihat seumur hidupnya, sebuah mahluk yang paling indah.

Seorang wanita dengan empat sayap capung dan mengenakan kebaya yang dijahit dari benang emas. Kulitnya putih seperti susu, rambutnya panjang dan lurus. Berwarna putih seperti untaian halus benang perak. Menyilaukan namun memaksa mata Kluizenaar yang gelap untuk terus memicing ke arah wanita itu.

"Halo, apa yang membuatmu datang kemari wahai pemuda?"

"Aku tidak tahu, intuisiku mungkin. Aku hanya mengikuti burung gagak putih tadi yang terbang masuk kesini."

"Oh, lalu intuisimu bilang apa saat ini?"

"Aku tidak tahu, sepertinya sudah mati melihat keajaiban demi keajaiban yang ada di alam ini."

"Hoo begitu ya, lalu menurutmu ini tempat apa?"

"Aku juga tidak tahu pasti, yang jelas aku merasa damai dan nyaman di sini. Aku kira hanya aku sendiri yang ada di alam ini."

"Hahaha, naif sekali. Aku sudah tinggal di alam ini... entah semenjak kapan."

"Apakah kamu tidak merasa kesepian?"

Wanita itu terdiam sejenak, lalu meneteskan air mata. Kluizenaar baru sadar saat itu juga ia telah menyakiti hati wanita tersebut, namun yang lebih penting lagi ia begitu takjub melihat mata wanita itu. Mata yang biru, murni seperti telaga danau, persis sama dengan mata gagak putih yang diburunya tadi.

"Yah sesekali, namun apa daya."

"Ah... maaf, aku tidak bermaksud. Pertanyaan yang bodoh. Kemana perginya gagak putih tadi?"

"Coba tebak!" Wanita itu kembali ceria dan tersenyum.

"Ah... tidak mungkin." Kluizenaar masih dipenuhi rasa tidak percaya.

"Masih belum belajar juga semenjak tiba di alam ini? Apa yang tidak mungkin?"

"Benar juga."

"Apa yang kamu cari wahai pemuda?"

"Kedamaian... mungkin."

"Benar kamu ingin rasa kedamaian seperti ini."

"Tentu."

"Sendiri, atau berdua bersamaku?"

"Aku... lebih memilih untuk bersamamu."

"Bagus! Kalau begitu cium aku sekarang!" Wanita itu memerintah Kluizenaar. Memperlakukan seorang pemuda hitam bagaikan seorang anak kecil bau kencur.

"Haaa, boleh?"

"Aku tidak akan menawarkannya untuk kedua kali."

Lalu Kluizenaar mencumbunya dengan penuh nafsu, bibir mereka saling mengulum dan lidah mereka saling terkait. Rasanya seperti waktu berhenti. Kluizenaar menutup matanya untuk menikmati momen indah ini.

--------

Kluizenaar membuka matanya, namun apa yang terjadi... ia terbaring di atas kasur putih miliknya yang masih saja rapi dan dipenuhi wewangian bunga-bunga kimiawi. Lukisan itu masih menggantung di dindingnya. Kluizenaar sangat senang meskipun hanya sebatas mimpi, begitu pikirnya. Lalu ia perlahan-lahan mendekati lukisan itu.

Lagi-lagi ia terkejut. Kluizenaar melihat bahwa lukisan itu telah berubah. Sekarang di balik jendela itu bukan pemandangan rerumputan dan awan saja namun ada sebuah pohon besar dengan pintu tepat di tengah batangnya, sebuah lubang kecil tepat di tengah pintu itu dan sebuah gagak putih bertengger santai di dahan pohon maha besar itu. Kluizenaar tersenyum...

Ia memutuskan untuk memulai hari ini sebagai hari yang lebih spesial lagi, dengan riang ia langsung beranjak keluar kamar menuju beranda untuk menghirup udara pagi. Namun apa yang dilihatnya?

Langit-langit hitam, perkotaan terbakar penuh lautan api. Bola-bola api melayang jatuh bebas menghantam daratan.

"Apakah aku masih bermimpi?" Kluizenaar masih saja berbicara dengan dirinya sendiri.

"Tidak! Kamu tidak bermimpi."

"Hah! Dimana aku sekarang?" Kluizenaar kaget, namun jantungnya lebih kaget lagi karena ada seseorang yang mampu membaca pikirannya dan menjawab.

"Lihat ke kanan!"

Kluizenaar menengok ke kanan, ia melihat sebuah mahluk dengan delapan pasang sayap putih. Berbusana serba putih dan udara di sekelilingnya tampak bersinar keemasan.

"Dimana aku sekarang? Tempat apa ini?"

Mahluk itu hanya tersenyum, lalu mengibaskan lebar-lebar seluruh sayapnya... seperti burung kolibri yang bersiap akan lepas landas dan terbang diam di langit. Seluruh angin yang dihembuskan mahluk itu membuat debu-debu berterbangan, debu emas yang berkilau seperti matahari senja.

Mahluk itu mulai untuk terbang dan mendekati Kluizenaar. Kemudian ia membisikkan sebuah kalimat kepada Kluizenaar...



"Selamat datang kawan, ini surga."



Mahluk itu tersenyum kemudian terbang secepat kilat lalu menghilang, hanya meninggalkan jejak berupa debu-debu emas.

Catatan: Ditulis untuk memenuhi Janji Jumat 23 April 2009.