Lebih Baik Melupakan

Ini adalah sebuah tulisan, setelah salah satu posting teman di blog memacu diriku untuk mengingat kembali bahwa ada beberapa hal yang lebih baik dilupakan saja. Karena memang pada dasarnya aku ini orang sederhana, dan memiliki prinsip bahwa lebih baik melupakan saja daripada mesti repot-repot memaafkan.

Jadi begini ceritanya, alkisah 2 hari kemarin aku bertemu seorang teman lama yang sekarang masih berhubungan dengan --- mari kita sebut saja sebagai --- pihak ke tiga. Ini sebenarnya kisah lama, aku mempunyai hubungan baik dengan pihak ke tiga, dan aku sangat percaya dengannya. Sampai pada suatu saat aku dengan bodohnya terlalu percaya berlebihan, dan pihak ke tiga... bisa dibilang mengkhianatiku dengan mudahnya, tanpa memperhitungkan apa saja yang telah kita alami bersama.

Aku lalu mengintrospeksi diriku ini, apa yang aku lakukan dengan begitu salahnya sehingga menerima nasib buruk. Akhirnya aku menjadi orang yang lebih baik, setidaknya aku menganggap diriku begitu, lalu melupakan kasusku dengan pihak ke tiga itu. Namun setelah beberapa saat, dan bocoran dari beberapa pihak, serta ditambah lagi dengan investigasi olehku sendiri --- maklum aku ini skeptis, akhirnya aku tahu bahwa aku tidak melakukan sesuatu hal yang fatal, memang pihak ke tiga ini yang boleh dibilang sebagai orang brengsek. Tapi tak mengapa, toh itu semua sudah aku lupakan. Karena dendam memang selalu memakan pelan-pelan dari dalam, seperti api cemburu.

Hari itu, aku dan temanku minum kopi di salah satu kafe kopi dengan logonya yang hanya menggambarkan biji kopi dan di bawah logonya ada sebuah logo lagi berupa sepucuk daun teh. Tentu saja karena hari lebaran telah lama lewat dan aku tidak mendapat THR karena sudah dianggap besar di keluarga serta dividenku belum datang juga, akhirnya aku hanya mengambil sisa minuman orang lain dan menikmatinya, tapi itu cerita lain... maaf jadi melantur.

Kita bertukar kabar mulai dari teman-teman yang saling kita kenal, peristiwa-peristiwa apa yang telah kita alami masing-masing, dan segala omongan lain yang tidak jelas asal usul dan ujung akhirnya dimana. Sampai akhirnya temanku itu berkata:

"Eh, lo tau ga. Si itu kan kena penyakit. Kasian. Mau buru-buru kawin."
"Kok bisa? Perasaan sehat-sehat aja." Aku menjawab dengan menaikkan kedua alisku.
"Ya itu penyakitkan bisa muncul gitu aja."
"Serius lo? Tanpa ada penyebabnya? Masa sih?"
"Iye, beneran."
"Ga percaya gw, emang dokternya bilang apa?"
"Mana gw tau dokternya bilang apa, yang jelas itu jadi alasannya buat kawin nanti. Paling deket-deket ini."
"Kasihan ya, gw turut simpati. Salam aja kalo ketemu, dari gw gt. Semoga cepat sembuh."

Awalnya aku bersimpati, sedih sekejap, berusaha merasakan apa yang dideritanya. Kemudian aku dan temanku itu berpisah karena ia masih ada janji dengan temannya yang lain untuk bergaul bersama. Namun ketika aku kembali sendiri lagi, perlahan-lahan memori itu muncul kembali dan aku mulai merasa kesal. Tidak nyaman dan kembali mengutuk-ngutuk pihak ke tiga itu. Sampai akhirnya aku berani bilang bahwa Tuhan itu Maha Adil. Lalu aku tersenyum begitu lebarnya dari ujung telinga satu ke yang lainnya saat itu juga, sendiri duduk di sebuah kafe seperti orang gila. Aku sangat bahagia sekali mengetahui bahwa ternyata diriku masih jahat. Terima Kasih wahai Penyebab Awal.

Tahun silih berganti, namun beberapa hal masih tetap sama. Dan sebaiknya tetap begitu.


P.S. :
Ah... jadi lupa. Sekaligus aku mengucapkan minal aidin wal faidzin, mohon maaf lahir batin, baik yang disengaja atau hanya karena keisenganku belaka.