Cerita Sederhana

Aku tidak tahu malam ini aku harus berbuat apa, yang jelas aku tidak pernah mengharapkan agar tulisanku ini dibaca. Tapi, tiba-tiba aku teringat akan sebuah peristiwa yang membuatku berpikir... setidaknya untuk hari itu, dan malam ini.

Mungkin ini bukan cerita yang penting, namun hati mengajak untuk menulis. Ini bisa dibilang sebuah cerita sederhana, sebuah cerita yang mungkin akan engkau lupakan nanti ketika selesai membacanya --- itupun jika diasumsikan engkau selesai membacanya. Yah, hitung-hitung aku tidak punya pekerjaan lain untuk saat ini, jadi marilah kita mulai saja...

Ketika itu, aku sedang berjalan-jalan dengan kedua temanku. Mengelilingi kota kembang hanya karena kita tidak memiliki sebuah aktifitas yang penting untuk dikerjakan, istilah lainnya bisa dibilang secara keren adalah 'membunuh waktu'. Padahal nyatanya waktu yang perlahan membunuh kita tanpa rasa sakit yang pasti.

Saat itu, aku duduk di belakang sendiri dan kedua temanku duduk di depan dan mereka asik bergunjing satu sama lain. Sedangkan aku, hanya menikmati pemandangan yang silih berganti sembari mencuri sesekali melihat bayangan diriku sendiri di kaca, menatap dalam-dalam ke arah mataku.

Setelah beberapa saat kita melakukan perjalanan bodoh itu, akhirnya kita bertemu dengan lampu merah di sebuah persimpangan jalan. Aku masih melihat bayangan diriku sendiri di dalam kaca dan mereka berdua masih sibuk bertukar cerita.

Namun, tiba-tiba sebuah pandanganku teralihkan kepada sebuah mahluk yang sedang asik melakukan hal yang aneh bersama majikannya. Seekor monyet yang memakai topeng boneka cantik sedang sibuk menarik gerobak kecilnya. Berlari kesana-kemari tanpa mengerti apa yang sedang ia lakukan (atau setidaknya aku mengiranya seperti itu).

Sayangnya sang majikan kembali menarik rantai monyet itu, sebuah rantai dari logam yang mulai berkarat dimakan perlahan oleh polusi asap. Majikan itu menghentakkan rantai itu dengan kerasnya hingga sang monyet berteriak, mungkin ia kesakitan... mungkin ia menikmatinya (lagi-lagi aku tidak tahu apa yang dirasakan oleh monyet itu).

Kemudian monyet itu melakukan aksi lain setelah menerima perlakuan majikannya, ia menaiki sebuah skuter kecil buatan tangan sang majikan. Sekarang ia mengayuh membentuk lingkaran sempurna, dan sang majikan masih terus menggenggam keras rantainya. Sembari meneriakkan berbagai macam perintah untuk sang monyet, atau mungkin kalimat-kalimat motivasi (aku masih tidak tahu apa yang monyet itu pikirkan maupun rasakan, aku juga tidak tahu kalimat apa yang diutarakan oleh sang majikan... aku hanya bisa menduga-duga).

Melihat hal itu, pikiranku terus melaju. Apa yang membuat monyet itu begitu sial? Diperlakukan semena-mena oleh sang majikan. Disuruh ini itu tanpa imbalan yang pasti. Hatiku miris melihatnya, namun tanganku enggan dan malas untuk menurunkan kaca mobil dan melemparkan receh.

Lalu, aku teringat bagaimana waktu aku kecil dahulu waktu aku pertama kalinya melihat pertunjukan topeng monyet. Waktu itu, tidak ada yang menampilkan jasa mereka secara gratis di persimpangan jalan-jalan besar, mereka hanya berjalan dari satu komplek perumahan ke komplek lainnya sembari menggoda anak-anak kecil untuk menyewa jasa mereka, dan aku masih ingat betul bagaimana aku tersenyum bahagia melihat aksi monyet ketika itu --- yang acap kali dipanggil dengan nama Susi, tidak peduli apakah itu monyet jantan atau betina ---, mengapa aku tidak bahagia waktu aku melihat pertunjukan yang serupa di persimpangan jalan saat itu? Apakah waktu memang bisa merubah segalanya? Atau memang aku yang perlahan-lahan sudah berubah menjadi monster tanpa hati dan wulas asih.

Pikiranku terus melaju, mempertanyakan segala hal yang berkaitan dengan monyet itu dan majikannya. Seperti: Dari mana monyet itu? Apakah monyet itu ditangkap? Ataukah sang majikan memang generasi ke tujuh dari keturunan pelatih monyet yang ternama? Trik-trik apa saja yang sudah diajarkan? Sudah berapa tua monyet itu? Jikalau ini adalah sebuah usaha, apakah majikan itu memelihara sang monyet dengan baik (karena tentunya aku tahu betul, setiap pengusaha akan memelihara bisnisnya seolah memberi kasih kepada anak sendiri)? Apakah sang majikan masih akan hidup esok hari? Apakah majikan itu merasa dirinya keren sebagai pelatih monyet? Atau jangan-jangan monyet itu yang merasa indah dan cantik memakai topeng dan berpura-pura menjadi manusia?

Dan majikan monyet itu masih terus saja menarik-narik rantai penuh karat itu dengan keras memaksa sang monyet untuk melakukan hal-hal bodoh lainnya, dan monyet itu terus saja menggeram setiap kali rantainya ditarik (atau setidaknya begitu yang aku kira, karena dengan kaca mobil yang tertutup... suara dari luar samar-samar terdengar).

Aku melihat sebuah monyet dengan bulu yang usang, busik dari pangkal kepala hingga ujung ekornya. Perutnya yang kurus hingga tulang iganya menyembul keluar. Sedangkan sang majikan hanya memiliki sinar mata yang memancarkan kelesuan, tidak jauh dari paras sedih sang monyet (mungkin begitu, aku hanya bisa mengada-ngada... lagipula aku bukan monyet).

Pusing aku melihatnya, bingung. Siapa yang sebenarnya majikan siapa yang sebenarnya hamba? Jikalau monyet itu mati, akan jadi apa majikan itu kemudian? Dan jikalau majikan itu mati, akankah sang monyet kabur? Dan bagaimana nasibnya ketika ia bebas lepas di perkotaan? Sanggupkah ia bertahan hidup sebelum bedil tua menghantamnya kelak nanti ketika ia berkeliaran bebas dan mencuri? Atau mungkin bisa jadi seketika itu juga tiba-tiba datang seorang pria dengan kumis tebalnya memakai jas dan menawarkannya uang puluhan juta rupiah yang tersimpan rapi di dalam koper hitam? Aku tidak tahu. Titik.

Yang aku tahu, dunia tetap saja adalah sebuah tempat bodoh untuk bebas bermain. Oleh karena itu... jangan pernah menyesal!

Kepulan debu masih menari, monyet bodoh itu masih melakukan hal yang tak lagi menghibur, dan sang majikan hanya bisa menarik rantai terus menerus sembari menggaruk-garuk kakinya yang bertengger rapi dengan tangannya yang satu lagi. Susi, malang betul nasibmu . Betulkah ia malang? Aku hanya berdoa semoga saja perkiraanku salah semua.

Sayangnya 90 detik telah berlalu, lampu hijau terbit, dan aku hanya bisa mendengar suara klakson mobil yang bergemuruh kecil-kecil karena dua temanku masih asik mengobrol hingga lupa memperhatikan hal-hal penting lainnya.

Akhirnya, aku kembali dihantui dengan beberapa pertanyaan sederhana yang aku ingat hingga malam hari kala itu aku melihat monyet dan majikannya. Pertanyaan yang tidak absurd, pertanyaan yang bukan fantasi. Hanya pertanyaan sederhana yang penuh rasa ingin tahu dan tentu bagiku ini amat teramat sangat penting untuk diketahui jawabannya. Sudah pasti bukan sebuah pertanyaan tolol seperti siapa nama monyet itu, karena kemungkinan besar namanya Susi. Pertanyaan itu adalah:

"Hari ini... Susi sudah makan? Susi makan apa, ya?"