Waktu terus mengejar kita, tapi kita yang senantiasa melupakannya. Jikalau umur rata-rata manusia modern adalah 100 tahun tentu ini hanya seporsi kecil yang tak akan menjadi masalah. Apakah ini takdir oleh setiap mahluk di dunia ini? Senatiasa lengah hingga malaikat kematian mengetuk ramah pintu jiwa kita nanti, entah 50 tahun mendatang, atau esok hari. Semoga saja kita semua beruntung.
Kalau diingat-ingat, sudah lama sekali hidup, sekaligus terasa baru saja kemarin segalanya terjadi. Tapi kebanyakan cuma habis di dalam institusi pendidikan, duduk di kelas, menghadap papan tulis, belajar, dapat nilai, lulus, lalu diulang lagi dan lagi. Apa ini esensi yang paling utama untuk menjadi manusia? Apa ini yang menjadi syarat prioritas untuk dapat berfungsi dalam sebuah peradaban? Pengolahan otak dan cara berpikir serta segala perilaku yang mengikuti kedua pondasi tersebut. Lalu kenapa masih banyak di luar sana yang berpendidikan tinggi namun melakukan hal-hal irrasional. Apakah pada kenyataannya pendidikan dan gelar tidak berbanding lurus dengan pengolahan otak dan cara berpikir. Belum lagi kalau faktor yang bernama "cinta" ikut berperan. Rasanya otak tak berdaya melawan hormon yang menyesatkan. Nafsu-nafsu manis yang berbuah dosa dalam setiap nafas kita. Kalau begini tak heran bahwa banyak sekali yang kehilangan arah dan lupa akan tujuan hidupnya.
Lalu apa itu sebuah tujuan hidup? Aih, jawabannya benar-benar sesuai dengan apa yang ada di nurani masing-masing, mencontek pun rasanya percuma. Waktu kecil dahulu, aku selalu ingat betul bahwa cita-citaku bukan menjadi pilot, bukan presiden, bukan dokter, bukan pengacara, bukan arsitek, tetapi menjadi seseorang yang akan dipanggil "bos". Kemudian masa berganti, jaman beralih, namun cita-citaku tetap sama, jadi "bos". Meskipun terkadang aku dipanggil bos, baik oleh teman-teman yang telah aku traktir maupun para tukang parkir - ketika memberi upah atas jasa palsu mereka untuk menjaga kendaraan milik kita. Kok, rasanya hidup begitu mudahnya? Apa benar itu yang dinamakan menjadi bos? Ternyata itu semua hanyalah bukanlah apa-apa, belum mencapai esensi murninya. Belum memahami lebih dalam lagi. Masih perlu banyak belajar lagi.
Tujuan hidupku cuma satu. Aku ingin menjadi kuat. Dari kecil aku selalu ingin jadi kuat, kalau bisa melebihi siapapun. Namun sayang, badan tidak bisa berotot karena malas mengangkat beban berat. Pintar pun juga rasanya bukan karena tidak pernah menjadi juara olimpiade matematika, bahkan berhitung sekarang lebih suka menggunakan kalkultor. Lalu kuat itu apa? Kalau dilihat dari perjalanan hidupku yang cepat dan masih (semoga tidak) pendek ini, sepertinya boleh dibilang aku semakin lama semakin kuat. Karena waktu kecil dahulu aku takut dengan banyak hal. Beberapa ketakutan yang masih kuingat adalah:
1. Takut dengan rumput.
Ya, rumput. Tumbuhan kecil yang menjadi pujaan di lapangan sepak bola. Bukan ilalang yang tinggi-tinggi. Karena pertama kali aku dengan kesadaran sendiri, telanjang kaki menginjak rumput dan merasa tertusuk waktu kecil dan mendapat hadiah berupa rasa geli yang mencuri segenap tenaga yang ada. Hingga awal sekolah dasar baru akhirnya ketakutan itu hilang. Entah mengapa. Aku lupa bagaimana cara melampauinya. Yang jelas begitu rasa takut itu hilang, siapa sangka aku malah mengikuti ekskul sepak bola dan berposisi menjadi penyerang. Malah sekarang aku benar-benar cinta akan rumput. Rasanya melihat mereka begitu mengilhami akan bagaimana sebuah organisme mampu tetap gigih untuk bertahan hidup meskipun diinjak berjuta-juta kali, bahkan terkadang mampu untuk berbunga.
2. Takut dengan bunyi gerobak penjual kue putu.
Ini parah sekali kalau diingat-ingat ketakutan ini bukan bersumber dari diriku sendiri. Tapi karena pembantu rumah tangga waktu aku kecil dahulu - yang pura-puranya mengasuh diriku padahal kerjanya cuma mengobrol dan menggosip - merasa paling malas dan rusuh kalau aku sudah bawel, dan itu biasanya terjadi di sore hari tepat disaat penjual kue putu lewat depan rumah. Alhasil ada kalimat yang masih aku ingat hingga sekarang: "Diem dong, nanti diambil ama jin. Itu udah ada bunyi-bunyinya." Lalu bagaimana cara aku melampaui ketakutan ini? Kalau tidak ada malaikat penolong mungkin nasibku akan sama seperti pemain utama film The Raid yang takut dengan kerupuk, malaikat itu adalah ibundaku tercinta. Begitu beliau mengetahui kalau aku takut dengan bunyi-bunyian "nguuuung nguuuung nguuuuuuung" sialan itu, Mama langsung membawaku dan membelikan kue putu, ternyata rasa kue putu enak, manis. Sayang jalur karir pembantu rumah tanggaku yang itu tidak semanis kue yang aku makan sore itu.
3. Takut dengan air panas.
Kalau yang ini lebih ke trauma tepatnya. Waktu kecil, sekujur tubuhku pernah tersiram air mendidih dan alhasil sukses masuk ICU untuk beberapa bulan. Kira-kira umurku waktu itu baru 3 tahun. Lagi-lagi ini salah pembantu rumah tangga yang bisa-bisanya menuang air mendidih ke badanku, bukannya ke bak mandi. Harap dicatat bahwa oknum disini berbeda dengan oknum sebelumnya. Sayangnya sang oknum tersebut terkena amarah ayahanda yang mendidih, alhasil jalur karirnya pun sudah dipastikan kandas, lebih buruk dari bekas luka di sekujur tubuhku ini. Sungguh sangat tolol. Semenjak saat itu aku takut dengan air panas, lebih baik minum apa-apa yang dingin. Kalau wedang jahe bisa pakai es dan tidak dipaksa eyangku untuk mencoba hangat-hangat - panas lebih tepatnya - mungkin akan aku lakukan saat itu, tapi berhubung aku menghormati orang tua jadi tak bisa melawan. Mungkin hal itu juga yang akhirnya pelan-pelan menghilangkan traumaku. Ironis memang, harus dipaksa ternyata. Baru sekitar masuk sekolah menengah atas aku berani kembali memasak air dan memegang ceret. Semoga eyang di dunia sana beristirahat dengan tenang dan membaca tulisan ini dengan penuh senyum.
4. Takut dengan kegelapan.
Bukan gelap hati, gelap mata, gelap jiwa. Meskipun ketiga yang aku sebutkan tadi juga benar-benar menakutkan, bahkan setelah menulis ketiga itu tadi kok rasanya jauh lebih menakutkan lagi ya. Tapi yang dimaksud disini adalah kegelapan, tanpa cahaya, secara harfiah. Siapa sih yang tidak takut sama gelap waktu kecil? Main game Silent Hill dan Fatal Frame saja lebih enak kalau tidak sendirian. Begitu pula dengan menonton The Ring atau Ju-On, jangan harap untuk menatap layar sendiri kemudian mematikan lampu, cih! Tetapi terakhir kali, Paranormal Activity berhasil membuat bulu kudukku kembali berdiri. Aku melampaui ketakutan ini kalau tidak salah waktu kelas 3 SD terjadi mati lampu dan aku masih belum bisa tidur. Aku masih ingat betul tidur di kasur atas (menggunakan tempat tidur tingkat), rasanya waktu itu setiap mengintip ke jendela seperti ada sesuatu yang menatap balik. Akhirnya aku lebih memilih menatap langit-langit kamar kemudian kelelahan dan tertidur. Ternyata sama saja dengan menutup mata, otakku beradaptasi dengan baik.
5. Takut dengan tikus.
Sumpah, yang ini sebenarnya sampai sekarang masih menakutkan. Siapa sih yang tidak takut dengan binatang menjijikkan ini? Mau yang datang malam hari diam-diam mencuri sisa makanan di tong sampah maupun yang sedang ketiduran dengan nyenyaknya di gedung terhormat. Cuma perbedaannya kalau waktu kecil dulu aku tidak berkutik, sekarang minimal bisa melakukan perlawanan balik, naik ke atas kursi atau meja, atau memukul dengan "senjata" terdekat yang mampu diraih tangan. Atau bersabar esok harinya dan memasang racun tikus dan berdoa bahwa mereka semua cukup rakus dan bodoh untuk menghabiskannya. Karena perangkap kurungan besi ataupun lem tidak cocok untukku, melihat batang hidung mereka saja sudah membuat perutku komat-kamit. Lebih baik memberi hidangan terakhir kepada mereka dan biar tetangga berbeda kelurahan yang akan mengurusi bangkainya. Ingin rasanya memelihara ular. Tapi di rumahku yang ada hanya cicak. Ingin pula aku memelihara buaya. Namun keduanya adalah musuh berat "kanjeng ratu", aku pasti tidak dianggap anak kalau ketahuan memelihara kedua spesies itu. Karena bos besar - my father - pernah ingin memelihara reptil-reptil itu tetapi mendapat hadiah ancaman perceraian dari belahan jiwanya. Alhasil kami semua tidak berkutik, dan sampai sekarang perang melawan tikus-tikus itu belum selesai.
Sebenarnya masih banyak ketakutan-ketakutan lain yang saking menakutkannya aku sampai melupakannya, atau setidaknya pura-pura lupa. Dua setengah dekade ini kalau dilihat ke belakang rasanya aku sudah tumbuh dengan cukup. Tapi aku masih merasa belum kuat. Apa sih rasanya menjadi kuat itu? Maklum, aku bukan Usain Bolt yang bisa main kucing-kucingan dengan cheetah. Aku juga bukan Lee Changho yang dengan langkah-langkah sederhana dan hitungan yang tepat sehingga mampu menikam para lawannya. Aku juga bukan Mike Tyson karena aku tidak pernah memelihara burung merpati. Aku tidak dirasuki oleh rubah ekor sembilan dan belum belajar Rasengan, aku juga belum memakan buah iblis, serta zanpakuto rasanya tidak begitu berharga lagi sekarang. Aku belum pernah digigit laba-laba rekayasa genetik, aku belum pernah terkena radiasi gamma, aku tidak kenal dengan Alfred, aku juga belum mampu membuat Jarvis, setidaknya aku bermimpi untuk mengencani Diana, aih... jadi melantur, maafkan kebiasaan lamaku ini. Bagaimana ya caranya agar menjadi kuat? Biar waktu yang menjawabnya. Aku juga belum menyerah untuk menjadi "bos", menjadi tuan atas diriku sendiri, tidak ada kaitannya dengan orang lain, bukan julukan "bos"-nya yang aku cari.
Untuk saat ini aku sedang menghadapi tembok besar, tinggal bagaimana cara melampauinya. Caranya itu yang belum aku tahu. Karena ini tembok yang berbeda dengan sebelum-sebelumnya. Aku harus lebih rajin lagi untuk mencari. Untungnya aku percaya bahwa dalam setiap kesulitan akan ada 2 kemudahan sebagai gantinya. Dan dibalik setiap ketakutan ada kekuatan yang siap untuk kita renggut. Kegagalan adalah kesuksesan yang tertunda. Selama masih dipercaya dan dititipkan nafas ini aku hanya bisa berusaha sebaik-baiknya. Jadi teringat sebuah kalimat bagus yang pernah muncul di benak pikiranku dahulu kala, yang sesuai tema ini:
Kalau diingat-ingat, sudah lama sekali hidup, sekaligus terasa baru saja kemarin segalanya terjadi. Tapi kebanyakan cuma habis di dalam institusi pendidikan, duduk di kelas, menghadap papan tulis, belajar, dapat nilai, lulus, lalu diulang lagi dan lagi. Apa ini esensi yang paling utama untuk menjadi manusia? Apa ini yang menjadi syarat prioritas untuk dapat berfungsi dalam sebuah peradaban? Pengolahan otak dan cara berpikir serta segala perilaku yang mengikuti kedua pondasi tersebut. Lalu kenapa masih banyak di luar sana yang berpendidikan tinggi namun melakukan hal-hal irrasional. Apakah pada kenyataannya pendidikan dan gelar tidak berbanding lurus dengan pengolahan otak dan cara berpikir. Belum lagi kalau faktor yang bernama "cinta" ikut berperan. Rasanya otak tak berdaya melawan hormon yang menyesatkan. Nafsu-nafsu manis yang berbuah dosa dalam setiap nafas kita. Kalau begini tak heran bahwa banyak sekali yang kehilangan arah dan lupa akan tujuan hidupnya.
Lalu apa itu sebuah tujuan hidup? Aih, jawabannya benar-benar sesuai dengan apa yang ada di nurani masing-masing, mencontek pun rasanya percuma. Waktu kecil dahulu, aku selalu ingat betul bahwa cita-citaku bukan menjadi pilot, bukan presiden, bukan dokter, bukan pengacara, bukan arsitek, tetapi menjadi seseorang yang akan dipanggil "bos". Kemudian masa berganti, jaman beralih, namun cita-citaku tetap sama, jadi "bos". Meskipun terkadang aku dipanggil bos, baik oleh teman-teman yang telah aku traktir maupun para tukang parkir - ketika memberi upah atas jasa palsu mereka untuk menjaga kendaraan milik kita. Kok, rasanya hidup begitu mudahnya? Apa benar itu yang dinamakan menjadi bos? Ternyata itu semua hanyalah bukanlah apa-apa, belum mencapai esensi murninya. Belum memahami lebih dalam lagi. Masih perlu banyak belajar lagi.
Tujuan hidupku cuma satu. Aku ingin menjadi kuat. Dari kecil aku selalu ingin jadi kuat, kalau bisa melebihi siapapun. Namun sayang, badan tidak bisa berotot karena malas mengangkat beban berat. Pintar pun juga rasanya bukan karena tidak pernah menjadi juara olimpiade matematika, bahkan berhitung sekarang lebih suka menggunakan kalkultor. Lalu kuat itu apa? Kalau dilihat dari perjalanan hidupku yang cepat dan masih (semoga tidak) pendek ini, sepertinya boleh dibilang aku semakin lama semakin kuat. Karena waktu kecil dahulu aku takut dengan banyak hal. Beberapa ketakutan yang masih kuingat adalah:
1. Takut dengan rumput.
Ya, rumput. Tumbuhan kecil yang menjadi pujaan di lapangan sepak bola. Bukan ilalang yang tinggi-tinggi. Karena pertama kali aku dengan kesadaran sendiri, telanjang kaki menginjak rumput dan merasa tertusuk waktu kecil dan mendapat hadiah berupa rasa geli yang mencuri segenap tenaga yang ada. Hingga awal sekolah dasar baru akhirnya ketakutan itu hilang. Entah mengapa. Aku lupa bagaimana cara melampauinya. Yang jelas begitu rasa takut itu hilang, siapa sangka aku malah mengikuti ekskul sepak bola dan berposisi menjadi penyerang. Malah sekarang aku benar-benar cinta akan rumput. Rasanya melihat mereka begitu mengilhami akan bagaimana sebuah organisme mampu tetap gigih untuk bertahan hidup meskipun diinjak berjuta-juta kali, bahkan terkadang mampu untuk berbunga.
2. Takut dengan bunyi gerobak penjual kue putu.
Ini parah sekali kalau diingat-ingat ketakutan ini bukan bersumber dari diriku sendiri. Tapi karena pembantu rumah tangga waktu aku kecil dahulu - yang pura-puranya mengasuh diriku padahal kerjanya cuma mengobrol dan menggosip - merasa paling malas dan rusuh kalau aku sudah bawel, dan itu biasanya terjadi di sore hari tepat disaat penjual kue putu lewat depan rumah. Alhasil ada kalimat yang masih aku ingat hingga sekarang: "Diem dong, nanti diambil ama jin. Itu udah ada bunyi-bunyinya." Lalu bagaimana cara aku melampaui ketakutan ini? Kalau tidak ada malaikat penolong mungkin nasibku akan sama seperti pemain utama film The Raid yang takut dengan kerupuk, malaikat itu adalah ibundaku tercinta. Begitu beliau mengetahui kalau aku takut dengan bunyi-bunyian "nguuuung nguuuung nguuuuuuung" sialan itu, Mama langsung membawaku dan membelikan kue putu, ternyata rasa kue putu enak, manis. Sayang jalur karir pembantu rumah tanggaku yang itu tidak semanis kue yang aku makan sore itu.
3. Takut dengan air panas.
Kalau yang ini lebih ke trauma tepatnya. Waktu kecil, sekujur tubuhku pernah tersiram air mendidih dan alhasil sukses masuk ICU untuk beberapa bulan. Kira-kira umurku waktu itu baru 3 tahun. Lagi-lagi ini salah pembantu rumah tangga yang bisa-bisanya menuang air mendidih ke badanku, bukannya ke bak mandi. Harap dicatat bahwa oknum disini berbeda dengan oknum sebelumnya. Sayangnya sang oknum tersebut terkena amarah ayahanda yang mendidih, alhasil jalur karirnya pun sudah dipastikan kandas, lebih buruk dari bekas luka di sekujur tubuhku ini. Sungguh sangat tolol. Semenjak saat itu aku takut dengan air panas, lebih baik minum apa-apa yang dingin. Kalau wedang jahe bisa pakai es dan tidak dipaksa eyangku untuk mencoba hangat-hangat - panas lebih tepatnya - mungkin akan aku lakukan saat itu, tapi berhubung aku menghormati orang tua jadi tak bisa melawan. Mungkin hal itu juga yang akhirnya pelan-pelan menghilangkan traumaku. Ironis memang, harus dipaksa ternyata. Baru sekitar masuk sekolah menengah atas aku berani kembali memasak air dan memegang ceret. Semoga eyang di dunia sana beristirahat dengan tenang dan membaca tulisan ini dengan penuh senyum.
4. Takut dengan kegelapan.
Bukan gelap hati, gelap mata, gelap jiwa. Meskipun ketiga yang aku sebutkan tadi juga benar-benar menakutkan, bahkan setelah menulis ketiga itu tadi kok rasanya jauh lebih menakutkan lagi ya. Tapi yang dimaksud disini adalah kegelapan, tanpa cahaya, secara harfiah. Siapa sih yang tidak takut sama gelap waktu kecil? Main game Silent Hill dan Fatal Frame saja lebih enak kalau tidak sendirian. Begitu pula dengan menonton The Ring atau Ju-On, jangan harap untuk menatap layar sendiri kemudian mematikan lampu, cih! Tetapi terakhir kali, Paranormal Activity berhasil membuat bulu kudukku kembali berdiri. Aku melampaui ketakutan ini kalau tidak salah waktu kelas 3 SD terjadi mati lampu dan aku masih belum bisa tidur. Aku masih ingat betul tidur di kasur atas (menggunakan tempat tidur tingkat), rasanya waktu itu setiap mengintip ke jendela seperti ada sesuatu yang menatap balik. Akhirnya aku lebih memilih menatap langit-langit kamar kemudian kelelahan dan tertidur. Ternyata sama saja dengan menutup mata, otakku beradaptasi dengan baik.
5. Takut dengan tikus.
Sumpah, yang ini sebenarnya sampai sekarang masih menakutkan. Siapa sih yang tidak takut dengan binatang menjijikkan ini? Mau yang datang malam hari diam-diam mencuri sisa makanan di tong sampah maupun yang sedang ketiduran dengan nyenyaknya di gedung terhormat. Cuma perbedaannya kalau waktu kecil dulu aku tidak berkutik, sekarang minimal bisa melakukan perlawanan balik, naik ke atas kursi atau meja, atau memukul dengan "senjata" terdekat yang mampu diraih tangan. Atau bersabar esok harinya dan memasang racun tikus dan berdoa bahwa mereka semua cukup rakus dan bodoh untuk menghabiskannya. Karena perangkap kurungan besi ataupun lem tidak cocok untukku, melihat batang hidung mereka saja sudah membuat perutku komat-kamit. Lebih baik memberi hidangan terakhir kepada mereka dan biar tetangga berbeda kelurahan yang akan mengurusi bangkainya. Ingin rasanya memelihara ular. Tapi di rumahku yang ada hanya cicak. Ingin pula aku memelihara buaya. Namun keduanya adalah musuh berat "kanjeng ratu", aku pasti tidak dianggap anak kalau ketahuan memelihara kedua spesies itu. Karena bos besar - my father - pernah ingin memelihara reptil-reptil itu tetapi mendapat hadiah ancaman perceraian dari belahan jiwanya. Alhasil kami semua tidak berkutik, dan sampai sekarang perang melawan tikus-tikus itu belum selesai.
Sebenarnya masih banyak ketakutan-ketakutan lain yang saking menakutkannya aku sampai melupakannya, atau setidaknya pura-pura lupa. Dua setengah dekade ini kalau dilihat ke belakang rasanya aku sudah tumbuh dengan cukup. Tapi aku masih merasa belum kuat. Apa sih rasanya menjadi kuat itu? Maklum, aku bukan Usain Bolt yang bisa main kucing-kucingan dengan cheetah. Aku juga bukan Lee Changho yang dengan langkah-langkah sederhana dan hitungan yang tepat sehingga mampu menikam para lawannya. Aku juga bukan Mike Tyson karena aku tidak pernah memelihara burung merpati. Aku tidak dirasuki oleh rubah ekor sembilan dan belum belajar Rasengan, aku juga belum memakan buah iblis, serta zanpakuto rasanya tidak begitu berharga lagi sekarang. Aku belum pernah digigit laba-laba rekayasa genetik, aku belum pernah terkena radiasi gamma, aku tidak kenal dengan Alfred, aku juga belum mampu membuat Jarvis, setidaknya aku bermimpi untuk mengencani Diana, aih... jadi melantur, maafkan kebiasaan lamaku ini. Bagaimana ya caranya agar menjadi kuat? Biar waktu yang menjawabnya. Aku juga belum menyerah untuk menjadi "bos", menjadi tuan atas diriku sendiri, tidak ada kaitannya dengan orang lain, bukan julukan "bos"-nya yang aku cari.
Untuk saat ini aku sedang menghadapi tembok besar, tinggal bagaimana cara melampauinya. Caranya itu yang belum aku tahu. Karena ini tembok yang berbeda dengan sebelum-sebelumnya. Aku harus lebih rajin lagi untuk mencari. Untungnya aku percaya bahwa dalam setiap kesulitan akan ada 2 kemudahan sebagai gantinya. Dan dibalik setiap ketakutan ada kekuatan yang siap untuk kita renggut. Kegagalan adalah kesuksesan yang tertunda. Selama masih dipercaya dan dititipkan nafas ini aku hanya bisa berusaha sebaik-baiknya. Jadi teringat sebuah kalimat bagus yang pernah muncul di benak pikiranku dahulu kala, yang sesuai tema ini:
"Apa yang membuat para pelari marathon bisa mencapai garis finish?"
"Tentu saja karena mereka terus berlatih." (Setidaknya inilah jawabanku satu setengah dekade silam, ya, karena aku masih muda dan lugu.)
Tetapi kalimat pertanyaan dan jawabannya akan aku ganti untuk sekarang dan selanjutnya, bunyi barunya adalah:
"Apa yang membuat para pelari marathon mampu mencapai garis finish?"
"Karena mereka tidak berhenti melangkah... karena mereka tidak pernah berhenti melangkah."
Terima kasih karena anda cukup kuat untuk membaca tulisanku hingga paragraf ini. Aku berikan penghargaan yang paling dalam dari lubuk hatiku untuk anda. Kemudian perbolehkan aku untuk bertanya:
"Apa tujuan hidup anda?"
"Apakah anda sudah merasa kuat?"
Akhirnya aku tutup saja tulisan ini dengan sebuah doa, karena aku tahu aku masih lemah dan tak berdaya di hadapan rencana besar Sang Pencipta. Terima kasih kepada Yang Maha Segalanya, atas semua pengalaman ini, dan berikanlah aku lebih banyak kesulitan lagi yang dengan seizin-Mu nanti aku akan mampu melampauinya. Amin.