Seputih-putihnya albino,
Hitam pula bayangannya
Seterang-terangnya sinar,
Gelap pula di baliknya
Hanya cahaya,
Yang sejati,
Menerangi tanpa henti,
Sepanjang masa.
Terlena
Aku adalah mahluk yang lemah
Yang mudah tergoda-goda
Oleh belai bual
Gelitik dan cubit
Terbuai-buai kesana kemari
Oleh genit ini dan itu
Mimpi angan dan ingin
Aku ini mahluk yang lemah
Yang mudah tergoda-goda
Oleh manis bibir
Dan lekuk tubuh
Terombang-ambing mencari
Ujung dari sebuah pelangi
Yang dihiasi berlian permata
Aih, apa daya...
Aku lemah melihat yang paling indah pada dirimu
Tatapan tajam yang melirik balik tanpa takut
Selayang pandang dalam satu momen
Beradu mata dengan sang serigala
Yang siap memangsa penggembala
Membuatnya menyerah penuh nestapa
Cawan pun akhirnya tumpah
Dan darah mengucur dari ujung-ujung jemari
Bagai tongkat dilahap rayap
Yang mudah tergoda-goda
Oleh belai bual
Gelitik dan cubit
Terbuai-buai kesana kemari
Oleh genit ini dan itu
Mimpi angan dan ingin
Aku ini mahluk yang lemah
Yang mudah tergoda-goda
Oleh manis bibir
Dan lekuk tubuh
Terombang-ambing mencari
Ujung dari sebuah pelangi
Yang dihiasi berlian permata
Aih, apa daya...
Aku lemah melihat yang paling indah pada dirimu
Tatapan tajam yang melirik balik tanpa takut
Selayang pandang dalam satu momen
Beradu mata dengan sang serigala
Yang siap memangsa penggembala
Membuatnya menyerah penuh nestapa
Cawan pun akhirnya tumpah
Dan darah mengucur dari ujung-ujung jemari
Bagai tongkat dilahap rayap
Lidah
Selama ini aku terus berkelana
Dalam perjalanan untuk mencari
Sesuatu yang bernama kebenaran sejati
Yang paling satu
Tapi aih, apalah gunanya aku berkeluh maupun berkisah
Dikala lidahku sendiri masih bercabang dua.
Aku hanya ingin bermandikan cahaya pertama
Yang putih merona, dengan sendu hangatnya
Aku rindu, pada ia, yang pertama dan terakhir
Aku bermimpi dikasihinya
Sayang, jiwaku kembali dilepas dari genggamannya
Dan mentari gembira membawaku kembali ke alam fana
Dalam perjalanan untuk mencari
Sesuatu yang bernama kebenaran sejati
Yang paling satu
Tapi aih, apalah gunanya aku berkeluh maupun berkisah
Dikala lidahku sendiri masih bercabang dua.
Aku hanya ingin bermandikan cahaya pertama
Yang putih merona, dengan sendu hangatnya
Aku rindu, pada ia, yang pertama dan terakhir
Aku bermimpi dikasihinya
Sayang, jiwaku kembali dilepas dari genggamannya
Dan mentari gembira membawaku kembali ke alam fana